Perempuan dan Perdagangan Manusia

Judul               : Jamila dan Sang Presiden

Tahun              : 2009

Sutradara         : Ratna Sarumpaet

Kemiskinan membuatnya terjerat dalam lubang gelap perdagangan manusia. Ayahnya menghantarkan ia pada dunia pelacuran, bersama dengan anak-anak lain yang diperdagangkan. Tak ada pendidikan, keluarga, bahkan teman. Hanya seorang diri melihat kejamnya perdangan manusia. Sindikat yang mencengkramnya, konspirasi yang menguburnya dalam stigma, dan negara yang lantang meneriakkan kemanusian justru membisu di muka keadilan.

Film yang disutradarai oleh Ratna Sarumpaet ini menceritakan kisah hidup seorang Jamila yang harus divonis mati karena membunuh seorang menteri bernama Nurdin. Nurdin yang merasa kecewa karena direndahkan oleh Jamila, melakukan penyerangan dengan menodongkan pistol ke arahnya. Namun secara tak terduga senjata tersebut justru berbalik arah mengenai tubuh Nurdin. Oleh karena berbagai stigma yang diarahkan kepadanya oleh berbagai ormas, pengadilan pun mengambil keputusan untuk menghukum mati Jamila. Walaupun demikian, Jamila menolak untuk meminta maaf dan memohon ampunan kepada presiden. Hal itu dilakukan untuk menjaga martabatnya sebagai perempuan. Alur cerita sebagian besar terfokus pada sosok Jamila sendiri dengan latar penjara. Dalam memperkuat karakter tokoh, alur cerita tidak dibuat secara paralel, tapi secara regresi (flashback), kemudian menyatukan antara masing-masing plot-plot hingga membentuk suatu keutuhan cerita yang membentuk karakter tokoh.

Tokoh utama Jamila dalam film ini diperankan oleh Atiqah Hasiolan Roda, seorang berwajah tirus dengan rambut panjang terurai panjang. Ia seorang muslim yang idealis kritis terhadap Tuhannya. Sikapnya tegas dan acuh. Ia tidak peduli apapun tentang dunia di luar dirinya. Ia hanya ingin keadilan tanpa meruntuhkan martabatnya sebagai perempuan. Kematian adiknya di dunia perdagangan manusia merupakan titik balik kehidupannya, dan keluar dari dunia perdagangan manusia. Ia melakukan perlawanan dan aktif sebagai aktifis kemanusiaan.

Sayangnya, dalam film ini ada sebagian plot cerita yang terlihat tidak beraturan. Selain itu banyaknya alur regresi yang disajikan dalam film ini hanya untuk menunjukan kesuraman kehidupan tokoh utama di masa lalu. Alur cerita berjalan begitu cepat dikarenakan durasi waktu yang hanya sekitar kurang lebih 90 menit, sehingga banyak detail cerita yang terlewatkan, misal detail toko ayahnya Jamila, serta bagaimana Jamila masuk dalam dunia perdagangan manusia.

Di luar kekurangan tersebut, sang sutradara justru semakin lihai dalam membentuk konflik batin pada tokoh utama. Dialognya dibuat tanpa basa-basi, dengan kritik yang jelas dan tajam. Seperti ketika tokoh utama berdialog mengenai kesucian yang masih ia pertanyakan, “Ibu berbicara padaku tentang kesucian dan harga diri. Aku di sini di tengah kegelapan yang pekat yang tanpa ujung, kesucian yang seperti apa, dan harga diri yang bagaimana.”Atau ketika ia bergumam dalam batin yang jengah terhadap ormas-ormas Islam yang melakukan stigma dan menuntut agar ia dihukum mati, namun dalam batinnya ia menolak untuk distigma sebagai orang yang bersalah. “Menilai kasus menteri Nurdin sebagai kasus moral, sebuah forum pemuda berlatar agama berjanji akan mengerahkan masanya untuk memastikan Jamilah dijatuhi hukuman mati. Kalau saja mereka tahu apa yang membuat nasibku seperti ini.”

Sang sutradara menyajikan film ini sebagai suatu realita yang memang tak perlu dipungkiri terjadi di Indonesia. Kemiskinan adalah penyebabnya, hingga anak-anak di bawah umur harus terjerat dalam dunia perdangan manusia, khususnya perempuan yang seringkali menjadi korban atas kekejaman manusia dan eksploitasi seksual yang hidup dalam budaya patriarkhi. Film ini juga menjadi kritik tajam bagi pemerintahan Indonesia, karena seperti yang tercatat oleh International Organization For Migration (IOM), bahwa perdangan manusia di Indonesia menyentuh angka 7.193 orang korban yang telah terindikasi, 82% diantaranya adalah perempuan, dan 18% adalah laki-laki. Hal itu menyebabkan Indonesia menduduki posisi pertama dalam kasus perdangan manusia.

Walaupun sedikit usang karena telah dirilis sejak tahun 2009, film ini adalah sajian yang menunjukkan realita dari kemuraman kondisi bangsa Indonesia, yang walaupun telah merdeka selama 70 tahun, masih menjadi salah satu negara yang gagal dalam memberantas kasus perdagangan manusia. (Arieo Prakoso)

Skip to content