Memihak dan Membina PKL

Peradaban manusia adalah peradaban kota. Kota akan selalu didatangi manusia, sementara desa cenderung ditinggalkan. Prediksi Bank Dunia, 68% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan pada 2025. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi makin mempertajam konflik keruangan (spasial). Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah kasus konflik spasial di perkotaan yang dilematis. PKL, yang jamak menggunakan fasilitas umum, melakukan aktivitasnya untuk mencari rezeki. Di sisi lain, pengguna jalan atau pejalan kaki juga berhak menggunakan fasilitas umum secara aman dan nyaman.

Dilema ini bisa dilerai dengan memahami akar masalah PKL yakni keberpihakan spasial. Mereka inilah yang menginginkan legalitas lahan tapi modalnya terlampau kecil untuk bersaing dengan pemodal besar di pasar lahan perkotaan yang sudah sangat liberal. Disinilah kewajiban pemda melindungi rakyatnya. PKL juga harus diberi lahan by design atau by system. Pemerintah daerah (Pemda) harus menampung mereka sejak level pembahasan peraturan. Ada dua strategi merealisasikan keberpihakan spasial.

Pertama, membuat peraturan zonasi PKL dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Bila Pemda masih dalam proses penyusunan RDTR, segera rumuskan zonasi PKL. RDTR bersifat sangat fleksibel karena memuat zonasi teks dan gambar. Zona PKL pada zonasi gambar bersifat pendukung aktivitas bagi zona-zona lain. Misal, zona ruang terbuka hijau atau permukiman disisipkan zona PKL. Sedangkan, zonasi teks mengatur tempat mana saja yang diperbolehkan untuk PKL beserta aturan teknisnya.

Kedua, pemanfaatan jalan. Masa lalu jalan adalah ruang publik. Masa depan jalan pun harus kembali ke ruang publik. Koridor jalan yang lapang memungkinkan menjadi ruang ekonomi, selain fungsi utamanya untuk kendaraan. Strategi ini perlu memperhatikan konsep waktu. Apakah pemanfaatan jalan sebagai ruang ekonomi dilakukan tiap hari, tiap malam, seminggu sekali, atau sebulan sekali. Pelaksanaan car free day di akhir pekan yang memberikan ruang jualan patut dipertahankan kalau perlu di-perda-kan. Mengingat UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, juga sudah mengatur penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsi jalan.

Realisasi dua strategi di atas memiliki tantangan tinggi berupa penyediaan infrastruktur pembuangan sampah/limbah PKL, terkhusus kuliner. Sehingga Pemda juga harus mengkonsep manajemen pengambilan dan pembuangannya.

Selain itu, ada dua strategi yang bersifat manajerial. Pertama, membentuk tim khusus PKL. Tim ini bekerja untuk membina dan meriset. Mungkin tiap Pemda ada yang sudah punya, hanya ada sisi pembinaaan yang belum diperhatikan yakni masalah estetika desain visual. Merujuk pada Urban Design Process karya Hamid Shirvani, masalah tersebut termasuk dalam elemen signage (penandaan). Banyak alat peraga seperti gerobak atau tenda yang ditampilkan oleh PKL kurang estetis. Mulai dari komponen bentuk, komposisi warna, hingga pemilihan font (tipografi). Masalah ini sangat potensial dibina untuk meningkatkan estetika atau keunikan lanskap perkotaan. Tak menutup kemungkinan, pelanggan PKL pun akan makin meningkat karena tergoda dengan alat peraga yang menarik. Selanjutnya, hal riset. Secara umum, menurut penulis, riset yang dilakukan birokrasi di Indonesia masih kurang. Dasar Pemda melakukan penataan PKL tidak cukup dengan data mutakhir yang berisi identitas, lokasi, jenis, modal, dan waktu usaha. Data itu wajib diolah dan dikaji dengan berbagai variabel hasil pengamatan di lapangan. Riset PKL ini penting agar bisa menelurkan kebijakan yang makin terukur.

Kedua, menggelar acara kreatif di area relokasi PKL secara rutin. Bisa konser musik, olahraga, festival/pameran kesenian. Strategi ini untuk mendatangkan “semut” atau keramaian.

Tak kalah penting, peran media massa membentuk opini publik. Media massa bisa membentuk opini bahwa tujuan penertiban untuk mendidik PKL. Mereka harus paham ada hak orang lain dalam menggunakan fasilitas umum yang harus dihargai. Usaha penertiban PKL, yang menggunakan fasilitas umum, tak bisa dicap sebagai anti kemanusiaan atau melanggar hak asasi.  Tiap orang tidak bisa menuntut hak secara penuh karena ada hak orang lain yang harus dihargai juga. PKL juga harus dididik menghargai lingkungan. Jamak ditemui PKL membuang sampah/limbah sembarangan. Pemerintah jelas tidak boleh membiarkan perilaku masyarakat yang cenderung merusak lingkungan.

Terlepas dari perilaku PKL yang belum patuh aturan, kita juga patut apresiasi bahwa mereka sesungguhnya pengusaha gigih yang lahir dari kompetisi hidup yang tinggi di perkotaan. Kontribusinya terhadap siklus perekonomian juga tidak kecil. Bahkan, perguruan tinggi dengan kurikulum kewirausahaan pun belum tentu mampu melahirkan pengusaha segigih mereka. (Muhammad Hanif Alwasi – Mahasiswa Aristektur 2010/Redaktur Artistik LPM HIMMAH UII Periode 2013-2014)

Skip to content