Tantangan Relokasi Permukiman Rawan Bencana

Bencana alam membuat kita untuk terus berbenah diri. Siklus alam tidak pernah salah, hanya manusia yang kadang kurang bersyukur. Manusia yang diberi akal oleh Allah harus mengoptimalkan potensi tersebut, salah satunya dalam perencanaan tata ruang. Adanya  perencanaan tata ruang yang baik, dapat membantu kita memetakan lokasi mana yang aman untuk pembangunan atau yang rawan bencana.

Salah satu fungsi lokasi, yakni permukiman penduduk, harus direncanakan secara teliti. Permukiman sebaiknya dibangun pada lokasi-lokasi yang jauh dari sumber bencana. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa manusia tidak bisa selalu membangun permukiman yang jauh dari sumber bencana (Sadana, 2014 : 93). Hal ini karena pengetahuan dasar masyarakat tentang lingkungan masih rendah, serta penegakan tata ruang yang sangat lemah.

Membiarkan permukiman rawan bencana terus berkembang bukanlah sikap bijak. Adanya permukiman di daerah rawan bencana akan meningkatkan aktivitas manusia yang berpotensi melipatgandakan probabilitas bencana. Bila bencana telah terjadi, ada anggaran besar yang harus dikeluarkan pemerintah. Hal ini terus berulang setiap tahunnya. Kejadian-kejadian seperti ini tidak bisa hanya disikapi secara pasrah. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah berani mengambil kebijakan relokasi permukiman secara tegas.

Meyakinkan masyarakat merupakan tantangan yang harus terus diupayakan oleh pemerintah agar relokasi dapat direalisasikan. Tidak semua masyarakat mau direlokasi karena apriori terhadap kebijakan pemerintah. Meskipun terkadang masyarakat telah berpartisipasi dalam perencanaan relokasi, namun masih ada yang kembali ke lokasi asal mereka. Faktor-faktor berupa kedekatan sumber ekonomi, ketersediaan infrastruktur pendukung, aksesibilitas ke fasilitas umum dan sosial, harus matang direncanakan agar masyarakat yakin bahwa dengan relokasi tersebut kualitas hidup mereka akan membaik.

Namun, tantangan terbesar dari permasalahan ini sebenarnya adalah kepentingan politik dari pemimpin. Sekalipun kebijakan relokasi masih apopulis, pemimpin harus tegas dan arif dalam merelokasi permukiman warga. Jangan hanya takut kehilangan suara pemilu lantas tidak berani ambil kebijakan. Ujung-ujungnya lingkungan yang akan semakin rusak.

Pemimpin daerah harus sadar bahwa relokasi tidak semata-mata untuk mengurangi risiko bencana. Lebih dari itu, relokasi dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan alam. Tak bisa dipungkiri, adanya bencana alam dikarenakan kepentingan aktivitas manusia memanfaatkan ruang, yang kadang tidak sadar cenderung merusak alam. Jadi, setelah proses relokasi selesai, penting untuk melakukan pelestarian alam secara terencana. Sebisa mungkin meminimalkan kegiatan manusia di lokasi tersebut.

Oleh karena itu, permukiman lain yang rawan bencana patut direncanakan untuk direlokasi. Eksekutif dan legislatif daerah harus satu visi saat masuk masa revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Revisi RTRW harus bisa memetakan kawasan mana yang akan digunakan sebagai tempat relokasi permukiman. Tentu pemilihan kawasan itu dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Selanjutnya, lakukan sosialisasi ke masyarakat yang akan direlokasi. Target waktu relokasi harus bisa diukur sebelum prediksi bencana datang.

Memang relokasi bukanlah kebijakan murah, mengingat relokasi tidak sekedar pindah rumah, namun juga menghidupkan kembali sistem sosial-ekonomi masyarakat. Meskipun begitu, relokasi permukiman rawan bencana sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Membangun atau mengembangkan permukiman harus terukur dan rasional. Tidak bisa hanya dengan dasar kebiasaan umum atau keturunan. Kuncinya ada pada penegakan tata ruang. Tata ruang harus menjadi panglima demi terwujudnya lingkungan yang berkelanjutan. (Muhammad Hanif Alwasi – Mahasiswa Aristektur 2010/Redaktur Artistik LPM HIMMAH UII Periode 2013-2014)

Skip to content