Aksi Sederhana, Awal Perubahan

Judul buku      : Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan, Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia

Penulis             : Steve Crawshaw dan John Jackson

Penerjemah      : Roem Topatimasang

Penerbit           : INSIST Press

Tebal               : 262 Halaman

Tahun terbit     : 2015

“Semua yang dibutuhkan oleh setan untuk menang adalah orang-orang baik tidak melakukan apa-apa.” [Edmund Burke]

Buku yang terdiri dari 15 bagian ini merupakan terjemahan dari judul aslinya”Small Acts of Resistance: How Courage, Tenacity, and Ingenuity Can Change the World yang terbit pada tahun 2013 di Amerika Serikat. Tiap bagiannya memuat beberapa kisah yang datang dari berbagai penjuru dunia dan terbagi berdasarkan tema perlawanan terhadap penindasan yang berbeda-beda. Kisah yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya bahkan hampir terhapus dari catatan sejarah. Kisah yang memuat sikap kolektif rakyat maupun perseorangan yang menyatakan perlawanan sesuai konteks ceritanya masing-masing. Hal menarik justru terlihat dari perlawanan mereka melalui tindakan-tindakan kecil yang justru di kemudian hari menginisiasi perubahan besar.

Aksi ‘lava la bandera’ (cuci bendera) yang dilakukan rakyat Peru misalnya (hal 16). Tindakan ini mereka lakukan sebagai perlawanan terhadap presiden Peru, Alberto Fujimori pada tahun 2000. Fujimori terlibat skandal korupsi yang melibatkan kepala intelijen Peru, Vladimiro Montesinos. Presiden yang sudah berkuasa lebih dari saru dasawarsa ini juga dianggap bersikap otoriter. Maka dari itu, setiap hari Jumat di Bulan Mei tahun 2000, sejak siang hingga pukul 3 sore ribuan orang mulai berkumpul di Plaza Mayor, pusat ibukota Peru, Lima, untuk mencuci bendera nasional merah-putih-merah mereka. Gerombolan khalayak itu ingin mempertunjukkan bahwa Peru, dan bendera nasionalnya sudah sangat kotor.

Para penguasa menanggapi aksi massa itu dengan ancaman dan tekanan. Vladimiro menyebut aksi massa tersebut adalah ‘penyakit kanker’ dan mengusulkan agar para pelaku pencucian bendera nasional itu ditindak sebagai teroris. Bukannya semakin berkurang, aksi lava la bendera justru menjalar ke seluruh negeri. Ratusan ribu warga ikut ambil bagian. Lima bulan setelah aksi dimulai, Fujimori akhirnya menyatakan pengunduran dirinya melalui faksimile ketika masih menghadiri pertemuan Asian Pasific Economic Coorporation di Jepang. Tak hanya itu, belakangan Fujimori terbukti memerintahkan pasukan pembunuh militer, La Colina, untuk melakukan pembantaian yang menewaskan 25 orang ketika dirinya menghadapi gerilyawan sayap kiri di tahun 1990-an. Karenanya, pada tahun 2009 Alberto dijatuhi hukuman penjara 25 tahun atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama masa pemerintahannya.

“Suatu ritual yang kami, rakyat Peru, tak akan pernah melupakannya,” tulis harian La Republica mengabadikan aksi tersebut. Siapa yang mengira bahwa aksi sesederhana mencuci bendera ini akan membuat malu seorang presiden. Kisah-kisah dalam buku ini juga menceritakan bahwa perlawanan bisa dilakukan melalui berbagai sarana. Didier Drogba, pesepakbola asal Pantai Gading contohnya. Dirinya memanfaatkan sepak bola sebagai peluang agar rakyat Pantai Gading bergandeng tangan kembali pasca konflik sipil yang berkepanjangan dengan menginisasi pertandingan Kualifikasi Piala Asia Afrika 2008 (hal 32).

Contoh lain, corat-coret (grafiti) bertuliskan ‘[KULIT] HITAM’ atau ‘HANYA [UNTUK KULIT] PUTIH’ menghiasi dinding atas Anjungan Tunai Mandiri Bank Barclays pada tahun 1984. Gerakan ini diinisiasi oleh mahasiswa Oxford serta beberapa mahasiswa universitas lain di Inggris sebagai sikap mereka terhadap keterlibatan bank tersebut dengan rezim apartheid di Afrika Selatan (hal 22).

Hal yang mengesankan dari buku setebal 262 halaman ini terletak pada subjek yang terhimpun dalam kisah-kisahnya. Tindakan-tindakan perlawanan mereka murni atas kehendak mereka sendiri. Ketika tindakan mereka justru membawa perubahan besar di kemudian hari, mereka hanya mengatakan kalau mereka telah berbuat apa yang seharusnya diperbuat serta dari apa yang mereka punya. Tak ada perasaan heroik ataupun pamrih dari sebuah tindakan kecil.

Jika dikontekstualisasikan dengan Indonesia, mari kita mengingat 9 petani Rembang yang saban hari mengecor kakinya di depan Istana Negara. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas pembangunan pabrik semen yang telah merebut lahan pencaharian mereka di Pegunungan Kendeng. Berkaca dari kisah perlawanan dalam buku ini semakin meyakinkan kita bahwa apa yang mungkin mustahil terealisasi justru bisa saja terjadi. Beberapa di antara mereka berhasil mewujudkan perubahan yang mereka perjuangkan. Bagi mereka yang lain, perubahan masih menantang di depan karena tindakan-tindakan kecil perlawanan bukan hanya menyangkut masa lalu dan masa kini melainkan tentang masa depan.

Saya pribadi kurang sepakat dengan pemilihan beberapa kisah dalam buku ini karena jelas nampak liberal. Hal itu mungkin disebabkan oleh keberpihakan penulis ataupun pemilihan sumber utama dalam penggarapan buku ini. Terlepas dari itu semua, seperti yang dikatakan Roem Topatimasang, buku ini mengisyaratkan gabungan tiga kekuatan kolektif yang terhimpun sehingga penting untuk dipahami dengan baik khususnya bagi para pegiat gerakan-gerakan sosial. Kekuatan itu yaitu keberanian, ketegaran dan kecerdikan. Panjang umur perlawanan!

 

Skip to content