Mengkritisi Politik Pengupahan Lewat Diskusi Perburuhan

Himmah Online, Yogyakarta – Rabu, 7 Desember 2016, Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia (LPM HIMMAH UII) mengadakan diskusi publik dengan tema “Buruh dan Dinamika politik Pengupahan”. Diskusi diisi oleh Kinardi selaku Sekjen dari Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Restu dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) dan Mukmin Zakie selaku dosen Fakultas Hukum UII ini.

Fahmi Ahmad Burhan sebagai moderator memaparkan bahwa buruh sangat dekat dengan kita, karena tidak menuntut kemungkinan sebagai mahasiswa, kita juga nantinya bisa menjadi buruh.

Tak hanya itu, latar belakang diskusi diadakan juga berbalik pada tuntutan para buruh yang melakukan aksi dan penolakan terhadap Upah Minimum Kerja (UMK) Kota Yogya. UMK saat itu dirasa terlalu rendah, yaitu hanya berkisar Rp 1.452.400. Angka tersebut ditetapkan gubernur Yogyakarta pada 1 November lalu dan mengacu pada Undang-Undang (UU) Pengupahan No. 78.

Mulai dari definisi buruh sendiri, Mukmin Zakie, perwakilan dari akademisi menyampaikan bahwa pekerja itu hanya ada dua, yaitu pegawai negeri sipil yang tunduk pada aturan UU Aparatur Sipil Negara dan pegawai bukan negeri (buruh) yang masuk dalam aturan UU No. 13 Tahun 2003. Dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan, hukum terkait pengupahan semakin dilayakkan setiap tahunnya.

Sedangkan terkait pengupahan, Mukmin menerangkan bahwa hal tersebut sudah tertulis dalam perjanjian kerja. Bagi seorang buruh, upah adalah hal penting. Semboyan mereka ialah kerja kecil, tapi mendapat upah besar. Berbanding terbalik dengan pengusaha yang menginginkan upah seminimal mungkin, tetap mendapatkan hasil yang besar.

Menurut Mukmin karena adanya dua paradigma yang bertolak belakang ini, setelah reformasi ditetapkanlah Keputusan Menteri tentang Upah Minimum Regional (UMR). Penentuan UMR hanya dilihat dari kebutuhan fisik minimum seperti kebutuhan hidup layak. “Kebutuhan hidup layak menurut saya adalah kebutuhan jasmani dan rohani, tetapi jika melihat UMR saat ini hanya mampu memenuhi kebutuhan jasmani saja,” tuturnya.

Besarnya UMR tersebut ditentukan oleh Dewan Pengupahan yang terdiri dari pengusaha, pemerintah dan buruh. Selain itu ada beberapa hal yang mempengaruhi UMR, seperti komponen hidup layak yang baru tercapai puluhan dari 60 komponen dan indeks harga kebutuhan pokok di setiap daerah.

Kinardi selaku perwakilan dari pekerja menjelaskan bahwa persoalan terkait buruh tidak hanya soal aturan dan upah secara akademis, namun baik dosen maupun mahasiswa harus memiliki pemikiran yang skeptis terkait ilmu pengetahuan yang baru. Sehingga para akademisi dapat ikut dalam gerakan buruh layaknya serikat buruh seperti dahulu.

Serikat buruh atau pekerja bukan hanya ada hari ini saja melainkan sudah sejak sebelum Indonesia merdeka. “Besarnya serikat buruh tidak lepas dari bagaimana intelektual kampus mampu membongkar ilmu yang didapat dan membawanya keluar kampus,” jelasnya.

Menurut Kinardi, para buruh kini tidak mendapatkan jaminan rumah, hari tua, maupun pensiunan sehingga setelah mereka tidak mampu untuk bekerja maka mereka akan dianggap seperti sampah dan dibuang.

“Dulu, serikat buruh sangat didukung dan didorong oleh para intelektual sehingga mampu berdiri sebagai sebuah serikat. Di negara maju seperti Korea dan Jepang, gerakan buruh maju karena dorongan dari intelektual kampus yang juga ikut dalam gerakan buruh tersebut. Sehingga, persoalan yang dilontarkan oleh buruh tidak hanya persoalan perut saja melainkan juga terkait idealisme mereka,” tegas Kinardi.

Terkait politik pengupahan yang ada di Indonesia, Kinardi menuturkan bahwa terdapat tiga hal yang diperlukan sebuah negara ketiga untuk berkembang yaitu, Sumber Daya Alam, upah yang murah dan aturan yang bisa tunduk pada pemudanya.

Baginya, buruh merupakan pekerja yang spesial karena aturan yang mengikat sudah sangat detail. Politik upah murah di Indonesia terjadi akibat kapitalisme pengusaha, sehingga yang seharusnya keuntungan itu menjadi hak buruh justru malah disimpan untuk pengusaha itu sendiri.

Ketika politik pengupahan dimanifestasikan menjadi sebuah Peraturan Presiden (PP) Nomor 78 Tahun 2013, maka hal ini tidak lepas dari politik dan ekonomi. PP Nomor 78 lahir karena dalam nawacita Jokowi terdapat paket kebijakan ekonomi, sama halnya di masa orde baru yang menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita).

Adanya PP NO. 78 menjadikan patokan penetapan UMR dilihat dari kenaikan inflasi dan pertumbuhan secara nasional. Padahal sebelumnya, keputusan pemberian upah didiskusikan antara pengusaha dan pekerjanya. Ujung-ujungnya, serikat buruh merasa rugi dan mengajukan pembatalan diterapkannya PP No. 78 ke Mahkamah Agung.

Dan saat sistem hukum sudah mampu dikendalikan, maka yang terjadi adalah pengusaha akan semakin berkuasa, pemerintah mendapat pajak yang sedikit dan buruh semakin tertindas. “Per 1 Januari 2014, buruh baru bisa mendapatkan hak pensiun sedangkan pegawai negeri sipil sudah mendapatkannya sebelum itu. Hal ini dianggap tidak wajar karena tidak ada negara manapun yang tidak memberikan hak pensiun untuk pekerja,” tutur Kinardi.

Restu, anggota dari FPBI menanggapi bahwa sebenarnya rencana merevisi aturan pengubahan sudah ada sejak rezim Susilo Bambang Yudhoyono tetapi gagal, baru di rezim Jokowi ini berhasil disahkan.

“Dari ke 13 paket kebijakan nawacita Jokowi, intinya cuma satu, memperlancar arus modal,” tegasnya. Krisis kapitalisme yang dimulai sejak tahun 2008 menjadi alasan ditetapkan aturan pengupahan. Sehingga pemerintah mampu menarik investor untuk menanamkan modal dengan upah pekerja yang murah.

Menurut Restu, kebijakan ekonomi di rezim Jokowi lebih parah dibandingkan dengan rezim Soeharto, di rezim Soeharto negara masih mampu mengawal kebijakan ekonomi yang diterapkan. Di zaman Soeharto, orang berusaha untuk memperbaiki. Namun di zaman reformasi, justru timbul persaingan antar pemodal yang merugikan masyarakat.

Selain itu, Restu juga menanggapi terkait penetapan UMR yang dilihat dari tingkat inflasi. Di mana tingkat inflasi setiap daerah yang berbeda berpengaruh pada kenaikan UMR setiap tahunnya. “Kenaikan UMR setiap tahunnya tidak lebih dari 10% dilihat dari inflasi dan kenaikan harga. Sedangkan untuk kebutuhan hidup layak dilakukan survei setiap lima tahun sekali,” ujar Restu.

Setelah semua pembicara menyampaikan materinya, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Nurcholis Ainul Rafiq Tri, peserta diskusi sekaligus Pimpinan Umum LPM HIMMAH UII, menanyakan seberapa besar daya tawar buruh kepada pemodal khususnya di Jogja.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Restu mengatakan bahwa pekerja di Yogya tentu tidak bisa disamakan dengan pekerja yang berada di wilayah Industri. Hal itu tergantung oleh karakter pekerja. Pekerja yang merantau dari Jogja ke luar Jogja, atau pekerja yang berasal dari daerah rantauan dan bekerja di Jogja, akan lebih berani dibandingkan dengan pekerja pribumi yang juga bekerja di tempat asalnya ini. “Pekerja asli Jogja tersebut cenderungnya adalah anak lulusan Sekolah Menengah Pertama/Atas yang jika dikeluarkan dari tempat kerjanya, mereka masih bisa ikut dengan orang tuanya,” terang Restu.

Selanjutnya, Zikra Wahyudi selaku peserta yang juga staf Jaringan Kerja LPM HIMMAH UII menanyakan tentang definisi dari buruh dan tentang variabel apa yang perlu ditambahkan agar buruh bisa mengoptimalkan upah yang didapat.

Mukmin menjawab, “Disini terdapat penghalusan kata karena asal dari buruh itu sendiri sebenarnya adalah kuli. Tetapi penghalusan kata yang diterapkan tidak mempengaruhi upah yang didapatkan,” jawabnya.

Melanjutkan apa yang disampaikan Mukmin, Kinardi menjelaskan bahwa terkait pengupahan, yang sering disalahgunakan oleh pengusaha adalah pemberian gaji per minggu bukan per bulan. Padahal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, gaji dapat diberikan setiap bulan, mingguan atau bahkan harian.

Moch. Ari Nasichuddin, peserta diskusi yang merupakan alumnus UII menanyakan peran akademisi terhadap gerakan buruh, serta seperti apa pola gerakan buruh khususnya di bidang digital. Mukmin mencoba menjawab bahwa mahasiswa yang membentuk suatu gerakan atau forum untuk memperjuangkan hak buruh adalah contoh peran dari akademisi yang dapat terlihat. Namun dengan berkembangnya fasilitas ditambah semakin sibuknya para akademisi, justru semakin mengurangi kepekaan dari akademisi dalam melihat permasalahan yang ada.

Di akhir acara, moderator diskusi, Fahmi yang juga Pemimpin Redaksi LPM HIMMAH UII menyimpulkan bahwa sampai kapanpun jika kapitalisme masih ada maka pertentangan antara kaum pemodal dengan pekerja juga akan selalu terjadi. Daya tawar buruh pun tergantung dari seberapa kuat gerakan buruh itu sendiri dalam meningkatkan daya tawar mereka.

Skip to content