Masih Relevankah Lembaga Mahasiswa?

Saya masih teringat mempertanyakan hal ini kepada beberapa calon legislatif fakultas yang sekarang sedang menjabat di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII), tempat saya kuliah saat ini. Dari segala jawaban yang saya terima tidak ada satupun jawaban yang mampu mendekati makna arti kata relevan tersebut sebagaimana mudahnya pengucapan kata tersebut bagi mereka di luar sana.

Memahami sistem lembaga Keluarga Mahasiswa (KM) UII, terdapat keunikan tersendiri di dalam pengaturan kekuasaannya. Di mana sistem otoritasnya terpisah dari badan rektorat, menggambarkan corak yang tidak ada duanya dengan lembaga kemahasiswaan selevel universitas lain yang ada di Indonesia. Sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh mahasiswa, dan dikembalikan lagi kepada mahasiswa. Bagaimana arah geraknya diatur dalam konsepsi Garis Besar Haluan Keluarga Mahasiswa (GBHKM), serta identitasnya dijelaskan kembali dalam Peraturan Dasar Keluarga Mahasiswa (PDKM) dan kita sebut sebagai Student Government (SG).

Pada PDKM Bab IV Pasal 8, setidaknya terdapat tujuh pokok usaha yang perlu diperjuangkan bagi organisatoris-organisatoris lembaga yang berada dalam naungan KM UII, di antaranya yaitu: (1) Internalisasi nilai-nilai keislaman, (2) Meningkatkan rasa kekeluargaan antar anggota KM UII, (3) Membentuk pola pembinaan dan pengembangan mahasiswa yang terpadu, (4) Mengembangkan pola regenerasi yang intensif dalam KM UII, (5) Menanamkan dan/atau menumbuhkan pemikiran serta penalaran kritis berbasis keilmuan, (6) Meningkatkan peran serta mahasiswa dalam pengembangan mutu akademik sesuai bidangnya, dan (7) Menampung, mengarahkan dan menyalurkan kepedulian mahasiswa terhadap persoalan-persoalan kemahasiswaan dan sosial. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah hal tersebut benar-benar diperjuangkan? Atau hanya sekedar bualan politis, ambisi individu ataupun kelompok tertentu? Bagaimana bisa kita melihat hal tersebut benar-benar diperjuangkan ataupun memberikan dampak nyata ?

Setidaknya dalam setiap triwulan sekali, setiap mahasiswa UII yang masih belum menutup yudisiumnya diharuskan untuk membayarkan dana kemahasiswaan melalui mekanisme pembayaran tagihan SPP. Jumlah dari biaya kemahasiswaan ini beragam di setiap angkatan. Angka ini merupakan salah satu hasil putusan para pimpinan dewan ketika melaksanakan Sidang Umum (SU) yang dilaksanakan tiap tahunnya. Penentuan anggaran tersebut hanyalah berdasarkan model inkremental atau dengan menyesuaikan jumlah mahasiswa yang masuk setiap tahunnya.

Namun mahasiswa justru jarang mempertanyakan kembali timbal balik apa yang mereka dapatkan dari pembayaran dana mahasiswa tersebut, ataupun bagaimana mekanisme penetapan dan pertanggungjawaban dana mahasiswa tersebut dilakukan. Hal ini perlu menjadi pertanyaan pula terhadap rektorat. Apakah rektorat mengetahui untuk apa dan ke mana tepatnya dana kemahasiswaan tersebut dialokasikan oleh lembaga mahasiswa? Atau rektorat sekedar menyetujui dengan alasan tidak ingin mengganggu gugat independensi SG? Jika kita kaji lebih dalam, pihak rektorat sebenarnya memiliki kemampuan menekan setiap lembaga mahasiswa untuk melakukan pertanggungjawaban keuangan yang layak, karena dana tersebut disalurkan oleh rektorat kepada komisi III (bidang Administrasi Keuangan) Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas (DPM U), baru dialokasikan kembali kepada unit organisasi di setiap level universitas maupun fakultas.

Ataupun jika pertanggungjawaban tersebut ada dalam Forum Aspirasi dan Laporan Hasil Kinerja (FORLASLAK) DPM U, kenyataan yang ada ialah proses pelaporan tersebut hanya diketahui dan diikuti segelintir mahasiswa. Kebanyakan mereka ialah orang-orang yang berada dalam lembaga tertentu dan memiliki kepentingan masing-masing. Sedangkan orang-orang yang tidak memiliki kesempatan berlembaga atau ikut dalam organisasi, tidak dapat mengakses informasi tersebut. FORLASLAK sendiri merupakan forum pemaparan laporan hasil kinerja kepada seluruh anggota KM UII yang sekurang-kurangnya diadakan satu kali dalam tiga bulan di setiap periode kepengurusan.

Hal ini memunculkan pertanyaan pertama saya bahwa masihkah kita dapat mempercayai lembaga mahasiswa UII saat ini? Masih relevankah keberadaan lembaga mahasiswa mengatur pengelolaan dana dan sistem SG kita saat ini? Menilik lebih dalam, setidaknya terdapat tiga faktor yang menurut saya menjadi penyebab mengapa relevansinya lembaga mahasiswa kita mulai pudar.

Pertama, tidak adanya model evaluasi yang layak untuk menilai kinerja lembaga. Satu-satunya model pengawasan dan evaluasi yang diwajibkan bagi para organisatoris lembaga ialah membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) per periodik. Namun hal ini perlu dipertanyakan kembali. Sudahkah LPJ tersebut disusun dengan standar yang tepat? Atau setidaknya ada pengkajian lebih lanjut terkait seberapa tepat model penyusunan LPJ lembaga saat ini dapat menilai pencapaian usaha ataupun kegiatan lembaga. Sehingga mampu memberikan timbal balik bagi perbaikan tata kelola lembaga (baik dari segi keuangan dan non keuangan) ke depannya. Sudahkah pula anggota-anggota legislatif kita memiliki standar yang layak untuk menentukan hal tersebut? Bahkan formulasi layak pun sepertinya belum menjadi pembahasan mendalam dalam ketentuan di PDKM UII.

Selain itu upaya kaderisasi yang dijalankan pun belum memiliki parameter serta model dokumentasi yang dapat dipenuhi. Hal ini dapat dilihat bahwa hasil pencapaian individu selama ini hanya berbasis pada hal-hal umum seperti absensi, kesopanan, kedisiplinan, keaktifan dan faktor lain, yang menurut saya masih terdapat kesenjangan di dalamnya. Contohkan pada penilaian perilaku harian & ketika mengikuti kegiatan, masih dinilai secara umum dengan indikator-indikator tadi. Upaya dalam proses kaderisasi ini utamanya gagal disebabkan karena tidak adanya kajian yang tepat untuk menganalisa permasalahan yang ada sekaligus parameter yang sesuai untuk membentuk mahasiswa yang ideal seperti yang dicitakan.

Kedua, masih kurangnya kebijakan yang konkret untuk mendukung pencapaian usaha jangka panjang, baik dari segi pengelolaan keuangan ataupun non keuangan.  Dari segi keuangan, seharusnya pengelolaan dan pelaporan keuangannya perlu ditransparansikan kepada publik mahasiswa. Hal ini tentu karena kita sebagai mahasiswa perlu mengetahui untuk apa dan seberapa besar manfaat yang kita dapatkan setelah membayarkan dana kemahasiswaan tersebut, ataupun juga membantu dalam proses alokasi.

Namun adakah hal tersebut sudah dipenuhi? Bahkan untuk standar keuangan pun belum ditetapkan. Satu-satunya kebijakan keuangan hanyalah membuat laporan pengeluaran dan penerimaan kas (pasca kegiatan), yang mana pembahasan laporan tersebut terhenti pada SU, dan sulit diakses karena tidak terpublikasi secara terbuka.

Model pelaporan keuangan yang ada pun belum mampu menggambarkan pencapaian atas tujuan usaha KM yang mana dapat mendukung pencapaian dalam usaha jangka panjang secara mudah. Pelaporan yang dibuat secara periodik pun tidak lain hanyalah sebuah formalitas, terkadang berbelit dan cenderung seperti pengulangan rincian kegiatan, bukan dari perbandingan indikator dan target.

Salah satu kelemahan lainnya dari model pelaporan keuangan yang telah ditetapkan oleh lembaga KM UII ialah bahwa pelaporan tersebut tidak bersifat berlanjut. Belum ada pemisah antara pengeluaran beban biaya dan aset pada aturan dalam konstitusi lembaga. Bahkan dapat dipastikan jika dibandingkan dengan standar terapan seperti Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan Ikatan Akuntan Indonesia, penggunaan istilah aset dalam konstitusi PDKM pun dapat dianggap telah usang dan justru tidak pernah dibahas kembali relevansinya.

Model pengelolaan keuangan yang belum strategis ini juga yang pada akhirnya menyebabkan adanya dana abadi yang tidak jelas keberadaannya. Dana abadi merupakan dana sisa lembaga yang terkumpul di periode-periode sebelumnya yang selalu bertambah setiap periode. Sayangnya, jumlah dan penggunaannya tidak terpublikasi dengan baik ataupun dapat diakses secara terbuka kepada khalayak umum. Tidak pernah dipaparkan, diketahui, ataupun dibahas di hadapan publik mahasiswa.

Kebijakan menumpuk dana tersebut juga saya rasa tidak tepat. Ilustrasikan seperti ini, manakah yang lebih efektif antara menyimpan dana abadi tersebut di bank untuk digunakan sewaktu-waktu (dalam keadaan mendesak), dengan mengalokasikannya untuk kepentingan yang terarah seperti membangun selter penanggulangan bencana atau pabrik jas almamater. Jika pun diperlukan dana cadangan, maka perlu terlebih dahulu untuk menjelaskan definisi dan fungsi dana abadi tersebut, serta berapa jumlahnya yang harus dialokasikan setiap periode.

Dengan melakukan manajemen keuangan atas dana tersebut bukan tidak mungkin bahwa pengelolaan yang lebih efektif dan efisien dapat tercapai dan memberikan manfaat lebih besar bagi pengelolaan lembaga mahasiswa ke depannya. Maka penting bagi legislatif untuk mengkaji, mendefinisikan, hingga mengatur tata cara pengelolaan dana abadi tersebut karena hal ini belum konkret dijelaskan dalam PDKM.

Kemudian jika melihat dari segi pengaturan garis dan fungsi di tingkatan fakultas, kita dapat menemukan adanya perbedaan pola garis yang berbeda dalam tata pemerintahan mahasiswa. Contohnya antara FE dengan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP). Garis pada Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FTSP dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)-nya ialah garis instruksi, sedangkan antara LEM FE dengan HMJ-nya bergaris koordinasi. Pengaturan garis-garis fungsi ini sebenarnya berguna memastikan organisasi yang berada pada satu naungan lembaga kemahasiswaan, memiliki dan mengimplementasikan strategi berdasarkan satu tujuan bersama.

Namun adanya perbedaan pola garis di dalam pemerintahan lembaga mahasiswa FE akhirnya menimbulkan permasalahan tersendiri dalam mengatasi konflik. Salah satunya saat menyikapi acara musik salah satu HMJ FE yang terpaksa harus dibubarkan karena terjadi tidak sesuai dengan nilai-nilai islami. Atau kasus terbaru yang terjadi Januari 2017silam. Sebanyak tiga orang mahasiswa UII tewas ketika mengikuti salah satu kegiatan mahasiswa di alam bebas. Kejadian tersebut menggambarkan bahwa, pola pemerintahan (fungsi pengawasan) yang ada tidak mampu berjalan sebagaimana tujuannya. Padahal utamanya, pencapaian satu tujuan bersama itu harus dikedepankan. Upaya-upaya tersebut juga harus didukung dari komitmen setiap organisasi yang berada dibawah nya untuk menjalankan amanat tertinggi demi pencapaian tujuan bersama yang telah ditetapkan.

Satu-satunya perbaikan kebijakan yang dilakukan oleh legislatif mahasiswa kita tidak lain hanyalah ketika melaksanakan SU, yaitu seputaran ambiguitas bahasa yang bahkan terkadang semantiknya pun tidak semuanya dipahami oleh setiap anggota. Ketika SU diadakan, tidak terlihat persiapan yang memadai sebagai bekal setiap anggota yang akan menjadi legislatif agar memiliki kompetensi minimum sesuai dengan bidang yang akan diampunya. Tetapi yang ada justru berujung pada perebutan jabatan posisi penting saja. Sedangkan pihak-pihak yang merasa tidak puas dan kecewa akan cenderung menghilang dalam kepengurusan. Tidak jarang pula perbedaan pendapat dalam SU mengakibatkan para anggota lembaga tidak hadir dalam SU KM UII. Kalaupun menurut mereka penetapan kebijakan itu penting dan perlu membutuhkan setiap masukan yang ada, lalu kenapa masih ada absen dalam SU?

Ketiga, sebab konservatisme dan inkompetensi. Ada tendensi sikap yang cenderung mempertahankan segala hal yang telah lampau dan usang. Di tambah ketidakmampuan  anggota legislatif maupun eksekutif secara keseluruhan dalam pengambilan keputusan untuk penyelesaian masalah-masalah yang ada. Kecenderungan bahwa dalam pemilihan pimpinan-pimpinan yang berada pada posisi penting dilakukan berdasarkan dengan sistem kontrak politik maupun musyawarah yang berujung pada penyelesaian voting. Tidak adanya proper test maupun keterbukaan kepada publik mahasiswa berkaitan dengan latar belakang para pemimpin kita tersebut menjadi penyebab hal ini dapat terjadi. Selain itu, ketidak pedulian mahasiswa untuk memilih, apatisme, hingga sentimen antar organisasi juga menjadi penyebab bagaimana lembaga kita bisa menjadi seperti ini.

Sebagai contoh, pemilihan ketua dalam sebuah perhimpunan mahasiswa maupun organisasi setingkat universitas masih sangat dipengaruhi alumninya yang telah lama lulus. Semestinya, pengambilan keputusan ditetapkan berdasarkan musyawarah bersama antar anggota aktif, bukan dengan orang-orang yang berada di luar lingkaran organisatoris yang hanya dikenal sebagian para pemimpin-pemimpin utama ataupun para anggota organisatoris yang memiliki jabatan penting. Peranan aktif atas penyelesaian tersebut seharusnya berasal dari anggota aktif dan untuk kemanfaatan bersama. Bukan hanya dari anggota yang memiliki peranan modal atau jasa yang terkadang sempat meninggalkan permasalahan masa lalu dengan organisasi lain. Hal ini secara tidak langsung dapat memunculkan sentimen tanpa dasar antar organisasi lain

Jadi kita kembali ke pertanyaan awal, masih relevan kah lembaga KM UII? Apakah keberadaan lembaga kemahasiswaan kita benar-benar masih diperlukan? Jawabannya kembali pada setiap nurani kita. Siapkah kita mengambil keputusan berani meskipun berbeda untuk mengubah hal-hal tersebut? (M. Yusuf – Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UII Angkatan 2013)

Skip to content