Kambing Hitam

1. Rojali berkata …

Pagi-pagi betul Rojali sudah menyalakan motornya. Suara motor tahun 2010 itu agak sember dengan knalpot yang sudah tidak orisinal. Motor dikeluarkan dari lorong kos agar tidak mengganggu penghuni lain yang kebanyakan masih tidur.

Don, aku udah berangkat ke stasiun. Keretaku berangkat jam lima pagi ke Jakarta. Owh ya, kunci kamar ada di atas pintu. Kalau butuh apa-apa di kamar ambil aja. Oke, doakan aksi bela agamaku lancar. Maaf kalau ada salah ke kamu. Ini nomor ibuku kalau ada apa-apa 0998876543. – Rojali

Rojali merasa wajib mengikuti aksi Bela Tuhan di Jakarta. Perkataan orang yang ia sebut Cina tempo hari tentang salah satu surat di Al-Quran sungguh menyinggung. Terlebih orang yang bilang jangan mau dibohongi memakai surat dalam Al-Quran itu juga menjabat sebagai pemimpin daerah. Keyakinannya diperkuat oleh kegiatan sehari-hari di kampus sebagai anggota lembaga kemahasiswaan Islam. Keyakinannya seakan meledak saat setiap khutbah jum’at materi yang dibawakan pun menyerukan untuk “membela Tuhan”.

“Permisi mas, ikut aksi di Jakarta juga?” Kata Rojali pada teman satu kursinya di kereta yang berpakaian serba putih.

“Iya mas, mas juga?” jawab pria bertubuh gempal.

“Geh mas, owh ya Rojali,” kata Rojali sambil mengelus bulu janggut yang mulai tumbuh.

“Sapto mas. Kita memang harus hajar habis-habisan tu orang. Kalau perlu turunin dari jabatannya. Pemimpin kok omongannya enggak dijaga.”

“Sepakat mas, Islam jangan mau dihina seperti ini. Kita harus bela Tuhan walaupun sampai mati. Masa kita kalah di negara yang mayoritas Islam? Mereka itu orang asing di sini.”

“Iya, tamu kok macam-macam. Memang dari awal sudah enggak benar mas. Namanya pemimpin ya harus Islam. Kalau sudah kayak gini gimana coba?”

“Nah itu, pemimpin ya harus Islam. Buat aksi ini aku bela-belain buat nguras tabungan mas. Enggak apa-apa lah, namanya juga “jihad.”

Obrolan berlanjut sampai tiba di Stasiun Senen Jakarta. Pertemuan di kereta dilanjutkan ke Masjid Istiqlal untuk bertemu dengan massa aksi yang lain. Rojali menemukan saudara baru.

Esoknya aksi berjalan ramai. Ada anggapan ini aksi terbesar setelah 98. Semua massa menuju berbagai titik kumpul yang telah ditentukan. Tentu saja termasuk Rojali dan Sapto.

“Eh itu itu, Habib sudah datang. Itu di atas mobil,” kata Sapto.

“Iya, emang keren beliau. Kalau habib itu keturunan Arab ya?” tanya Rojali.

“Kayaknya si, tapi beda lah walaupun keturunan Arab sama keturunan Cina. Arab itu sudah kaya saudara buat kita. Jadi bukan asing lagi.”

Aksi semakin ramai. Ada perasaan yang mengganjal Rojali. Dia melihat di atas mobil bersama habib yang menjadi orator ada Ahmad Danus si musisi, Gam Zon si orang legislatif. Sejenak Rojali bertanya dalam hati.

“Sejak kapan ni orang-orang rutin mengkaji Al-Quran? Bukan apa-apa si, aneh aja tiba-tiba nongol langsung jadi orator juga. Tapi kan yang penting mereka kan enggak nyanyi atau kampanye. Eh tapi nyanyi kan gak harus bersuara, kampanye juga kan enggak harus teriak-teriak. Ah terserah lah, namanya juga orang Islam harus bersatu.”

Rojali melanjutkan aksinya tanpa memikirkan hal itu lagi.

Memang akan selalu ada pembenaran atas apa yang dilakukan dengan argumen apa pun. Walaupun mengada-ada. Sementara itu di kosan, Doni, temen satu kosnya kelaparan karena uang bulanan yang belum dikirim selama setahun.

 

2. Omen dan Mamut berkata …

Jalanan Jakarta, khususnya daerah Monumen Nasional (Monas) berubah menjadi putih. Massa yang berpakaian serba putih terlihat mengular di jalan-jalan. Ada yang mengklaim 2 juta, 4 juta sampai 7 juta massa yang berkumpul saat itu. Terlihat ada yang swafoto, membagikan makanan, bercengkrama sesama aksi massa serta aktifitas lain. Semarak.

Dari luar gedung lantai sembilan tak jauh dari Monas, Omen dan Mamut sedang bekerja mengelap kaca seperti biasanya. Mereka hanya memandang aksi di bawahnya dengan datar.

“Ada aksi Bela Tuhan tu Men,” ujar Mamut tanpa melihat Omen sembari tetap mengelap jendela.

“Buset, Tuhan dibela? Melebihi Tuhan ya mereka,” Kata Omen sambil terkekeh.

“Maksudnya?”

“Ya gini dah, kemarin tetangga elu yang tua itu didatengin orang bank kan? Mereka mau nyita buku karena doi enggak bisa bayar hutang bank kan? Nah elu kemarin bela dia, Ape alesan elu bela tu tetangga?”

“Ya karena gue merasa doi saat itu lemah, jadi musti dibela.”

“Nah itu, berarti kalau orang Bela Tuhan, berarti doi?”

“Menganggap Tuhan lemah?”

“Bukan gue ya yang bilang. Hati-hati elu, ntar giliran elu yang didemo,” Omen kembali terkekeh.

“Eh tapi gue bingung, kenapa ya orang bank kemarin nyitanya malah buku, padahal ada kulkas atau motor?”

“Nah ini nih, gue tanya sekarang kulkas bisa bikin pinter enggak? Atau motor bisa bikin pinter enggak? Buku baru bisa bikin pinter. Kan antek penguasa yang busuk takut sama orang pinter, tapi pinter yang bener. Mangkanya dulu banyak buku terutama buku sejarah yang dibakar. Si penguasa waktu itu enggak mau rakyat tahu sejarah yang sebenarnya.”

“Owh gitu ye, membaca adalah melawan kalau gue lihat di Instagram,”

“Sadap.”

Omen dan Mamut kembali terdiam sejenak. Mereka beranjak ke lantai atasnya untuk melanjutkan membersihkan jendela.

“Eh tapi gimana si, memangnya ayat yang diperdebatin itu isinya memang nyuruh kalau pemimpin itu harus Islam ya?” Tanya Mamut.

“Gimana ya Mut, gue enggak begitu suka sebenarnya ngomongin agama kaya gini. Soalnya kalau diskusi agama banyak orang yang enggak mau lihat permasalahan secara keseluruhan Mut. Misal gini, ada satu persoalan yang menjadi perdebatan. Gue setuju misal salat subuh pakai qunut tapi ada yang enggak setuju. Nah gue cuma nyari hadist atau apapun itu yang bakal memperkuat argumen gue. gue enggak nyoba nyari penguat argumen lawan diskusiku. Dan gitu sebaliknya.”

“Owh gitu. Emang apa salahnya kalau gitu?”

“Ya enggak salah, Cuma kan jadi mandek diskusinya Mut.  Apalagi kalau ngajinya lewat Facebook, hadeh. Sama kadang suka sebel kalau ada orang yang bilang enggak ada ayat atau hadits yang bilang kaya gini atau gitu. Pertanyaan gue, emang elu paham segala jenis tafsir Al-Quran. Apa elu hafal semua hadist yang ada di muka bumi. Elu enggak pernah nemu haditsnya bukan berarti enggak ada kan?”

“Berarti kita harus rendah hati ya, harus secara komprehensif memandang permasalahan.”

“Ceileh, dapat dari mana tu kata?”

“Instagram dong.”

“Owh ya, kemarin waktu lagi beres-beres kamar si Bos, gue lihat Al-Quran kebuka di surat Ali Imron. Nah enggak sengaja gue baca terjemahannya di ayat tujuh, kira-kira isinya kalau di Al-Quran itu ada dua tipe ayat. Yang pertama itu ayat yang dia jelas dan mudah dipahami. Nah kita disuruh buat berpedoman pada ayat-ayat yang itu.”

“Yang satunya?”

“Yang satunya itu ayat yang dia punya beberapa arti, sulit dipahami, atau istilahnya mutasyabbihat. Nah orang-orang yang hatinya condong ke kesesatan mereka mengikuti ayat-ayat yang itu untuk mencari-cari fitnah dan takwilnya. Padahal takwilnya hanya Allah yang tahu.”

“Kalau ayat yang dipermasalahin para aksi massa termasuk ayat yang mana? Punya berapa arti dan susah dipahami enggak?”

“Halah, berlagak enggak tau aja elu.”

“Mmmmmh pusing ah. Sekarang takut mau ngomong agama. Salah ngomong langsung didemo. Kan serem.”

Obrolan tentang aksi pun berhenti. Kembali ke obrolan seputar hutang, masalah keluarga dan masalah rakyat kecil pada umumnya.

 

3. Zulkipar berkata …

Zulkipar merasa gagah berdiri di atas mobil di tengah-tengah jutaan aksi massa “Bela Tuhan”. Sudah berpuluh kali dia memimpin aksi. Tapi kali ini adalah yang terbesar. Tidak ada perasaan takut untuk dipenjara karena rusuh seperti aksi-aksi yang dia pimpin sebelumnya. Apabila ada yang menangkapnya pastilah jutaan rakyat itu akan mengamuk. Junjungannya dinodai.

Zulkipar mengenakan jubah putih dengan sorban dilingkarkan ke kepala. Sebagai orang keturunan Arab, penampilan seperti itu seakan sebagai keharusan dan penanda bahwa garis keturunannya dekat dengan nabi. Zulkipar merasa bangga, dahulu Organisasi Masyarakat (Ormas) bentukannya menjadi yang paling dibenci, sekarang berubah menjadi yang paling diagungkan. Penjaga kemurnian Al-Quran.

Mempunyai massa banyak bukan barang gampang, perlu berbagai strategi dan biaya tentunya. Untung akhir-akhir ini banyak orang tajir, punya media dan bule yang suka nyokong setiap agenda yang diadain Ormasnya. Simbiosis mutualisme kalau orang bilang. Zulkipar dapat massa dan pengaruhnya, si penyokong dapat posisi atau menggulingkan orang yang dia enggak suka.

Namun agak susah rupanya apabila ada permintaan dari si penyokong yang dia juga Cina, misal dia ingin mencalonkan diri jadi Gubernur atau Presiden. Pada aksi ini sering didengungkan kalau orang Cina itu asing, harus dimusuhi dan kafir. Kalau misal tiba-tiba ormasnya mendukung si orang Cina penyokongnya ini, apa kata masyarakat? Munafik jadinya.

Zulkipar juga berharap si orang Cina penyokongnya ini jangan sampai terkena kasus. Akan susah dan tercoreng citranya sebagai “Pembela Islam” apabila mendukung si Cina asing dan kafir itu.

Lamunan Zulkipar terganggu saat disentuh salah seorang di belakangnya, Gam Zon. Dengan nada datar Gam Zon berbisik,  “Beberapa kawan kita sudah ditangkap oleh polisi, untungnya si donatur utama belum ketahuan. Hati-hati, jangan gegabah ke depannya.” Zulkipar terdiam, namun massa semakin kencang berteriak menyerukan nama Tuhan.

 

4. Sarwono berkata …

“Tolong kondisikan agar aksi jangan rusuh. Buat citra sebaik mungkin kalau ini memang benar-benar orang Islam yang punya inisiatif untuk aksi,” kata salah seorang Jendral kepada bawahannya.

“Siap pak.”

“Tolong jangan gegabah juga, beberapa rekan kita sudah tertangkap. Jaga jarak dan pantau terus yang lainnya. Kita sudah punya massa yang banyak, walaupun tidak bersenjata, orang yang fanatik buta dengan agama lebih berbahaya. Instruksi selesai. Laksanakan.”

“Siap pak. Laksanakan.”

Sarwono si Jendral kembali memperhatikan Bapak—panggilannya kepada presiden—yang sedang berdiskusi dengan beberapa menteri di ruang utama istana negara. Tak lain dan tak bukan sedang membicarakan aksi Bela Tuhan yang tak jauh dari istana. Sarwono menghampiri Bapak dan memberikan laporan keamanan.

“Sejauh ini aman pak. Tentara tidak ada yang membawa senjata. Namun saya pastikan tidak akan ada kerusuhan pada aksi ini.”

“Strategi baru ya? Kenapa tidak membawa senjata?” kata Bapak.

“Kita memberikan kepercayaan kepada massa bahwa mereka pasti bertanggungjawab dan kita adalah sahabat mereka.”

“Baik, tolong kondisikan. Dan satu lagi cari siapa dalang aksi ini.”

“Siap pak,” ujar Jendral dengan senyum yang dia sembunyikan.

Sarwono meninggalkan Bapak dan menemui rekannya yang sama-sama Jendral. Jendral yang ditemui Sarwono tampak gelisah dan memberi tanda agar Sarwono menemuinya di luar. Di teras lantai dua mereka berhenti dan saling menatap was-was. Dari teras itu bisa terlihat massa aksi Bela Tuhan yang menjalar itu.

“Kita perlu lebih banyak lagi doktrin di media sosial dan ceramah di masjid Jendral,” ujar Jendral itu kepada Sarwono.

“Apa yang anda cemaskan?” jawab Sarwono memandang massa aksi.

“Beberapa waktu kemarin ada wartawan asing mewawancarai para jendral dan purnawirawan. Dia sepertinya mulai mengetahui rencana kita untuk makar.”

“Sa .. ,” omongan Sarwono terpotong.

“Lebih parahnya, ada purnawirawan yang keceplosan terkait rencana ini. Memamg dia sudah bilang kalau itu off the record. Namun kalau si wartawan mau, pasti bisa saja dibuka.”

“Ha ha ha ha.”

“Kenapa anda tertawa pak?”

“Jangan terlalu difikirkan. Rakyat sudah terlanjur percaya pada kita. Itu tidak akan berbahaya. Apalagi wartawan asing. Buat saja isu orang asing yang mencoba memecah NKRI. Beres.”

“Tapi … ,” kali ini giliran Sarwono yang memotong perkataan rekannya.

“Dan, dan yang penting adalah jaga citra si orator aksi itu. Jangan sampai terkena kasus atau apapun  Dia boneka dan kartu As kita.”

“Baik pak, kalau menurut anda seperti itu.”

“Kita sangat diuntungkan dalam hal ini. Untung si Gubernur itu salah ngomong, jadi kita bisa pakai dalih itu untuk mengumpulkan massa. Melihat seberapa besar kekuatan kita untuk makar.”

“Iya pak, memang paling gampang memprovokasi orang Islam di Indonesia. Seperti yang tadi anda bilang pakai saja isu kafir, cukong, asing dan ini itu yang akan merusak syariat pasti mereka langsung emosi dan mau berbuat apapun.”

“Iya, tapi jangan lupa juga jasa satu boneka kita juga si donatur itu. Kasih saja dia jabatan yang enggak terlalu vital pasti sudah senang,” Sarwono sambil tertawa lebar.

“Tapi terus terang saya tidak membayangkan kalau massanya bakal sebanyak ini pak. Kalau dipikir-pikir kekuatan orang Islam di Indonesia besar juga ya pak.”

“Iya, saya juga berfikir seperti itu,” Sarwono mendadak termenung.

“Pak.”

“Kenapa?”

“Bagaimana misal massa yang besar ini sudah tahu rencana kita dan apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian mereka balik menyerang kita.”

Beberapa saat mereka terdiam. Agak lama. Sarwono dan rekannya berfikir keras.

“Setelah ini, minta kepada Bapak agar anggaran pertahanan dinaikkan. Laksanakan.”

“Siap. Laksanakan.”

Skip to content