Perdebatan Semesta

Gagasan tentang waktu dan alam semesta merupakan topik yang tak pernah selesai diperdebatkan oleh kalangan ilmuwan dan filsuf. Penemuan kosmologi bahwa alam semesta tidak kekal abadi adalah hal yang menajubkan pada abad ke-20. Namun, gagasan awalnya justru hampir tenggelam karena para ilmuwan sampai dasawarsa ke-3 abad ke-20 tidak tertrarik dengan hal tersebut. Baru setelahnya para ilmuwan baru mulai tertarik membahas ide tentang alam semesta yang memiliki awal dan akan berakhir pada suatu waktu.

Tulisan ini akan membahas dengan singkat dua isu filosofis yang cukup kuno namun kontroversial di dalam fisika. Pertama, perihal problem ruang-waktu dan kedua, perihal mekanika kuantum. Dua hal ini dipilih karena persoalan ruang-waktu mewakili struktur “skala besar” alam semesta. Sedangkan mekanika kuantum menyangkut mikroskopisnya. Keduanya berujung di pertanyaan mengenai alam semesta itu sendiri.

Dari Galileo hingga Newton

Pada dasarnya fisika merupakan sebuah penyelidikan tentang alam. Itu menyangkut hal-hal yang pada mulanya merupakan pertanyaan-pertanyaan metafisika dan epistemologi. Namun dalam perkembangannya, pertanyaan itu beralih pada pengenalan materi dan perubahan materi. Di ranah perkembangan ilmu pengetahuan, Descartes berhasil menggagas “alam mekanistik”.

Pembuktian filsafatnya memang masih di sekitar hubungan Aku-Dunia-Tuhan yang kental bernafas skolastik. Namun Tuhan hanya diperlukan untuk menjamin hubungan Aku dan Dunia. Selebihnya alam bekerja sendiri ibarat jam raksasa yang mendapat penalaran matematiknya lewat karya Galileo, serta penjelasan hukum-hukumnya melalui teori universal gravitasi Newton.

Selama ribuan tahun, Aristoteles berhasil membuat magnum opus nya tentang kosmos tetap eksis. Sampai akhirnya Newton menemukan hukum mekanika. Hukum yang menyebabkan sebutir apel jatuh dari pohon itu, ternyata sama dengan hukum yang mengatur peredaran bulan mengelilingi bumi.

Karenanya, runtuhlah kosmos Aristoteles yang selama lebih dari seribu tahun membelah kawasan alam semesta mejadi kawasan duniawi yang fana dan kawasan spritual yang abadi. Newton berhasil mengejawantahkan kosmos menjadi model matematika yang memperoleh keabsahannya melalui pengukuran dan pengamatan.

Jauh sebelum Newton merumuskan teori-teorinya, para ilmuwan dan filsuf telah lama melakukan perdebatan filosofis yang tak kunjung padam hingga hari ini. Sebuah perdebatan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman epistemik tentang ilmu pengetahuan.

Perdebatan panjang ini memunculkan dua kubu: Di kubu realisme berdiri Galileo yang memandang sistem tata surya Copernicus sebagai deskripsi ontologis alam. Sedangkan kubu anti-realisme yang membaiat gereja dan diwakili oleh Kardinal Bellarmino, berpendapat bahwa seluruh sistem itu hanyalah instrumen matematika yang ditemukan untuk kepentingan kalkulasi dan prediksi astronomis.

Bagi Galileo, aspek terpenting dari gagasan Copernicus yaitu kebenaran ilmiah harus disampaikan sekalipun bertentangan dengan ajaran Gereja. Sedangkan bagi Bellarino, konsep Copernicus harus dilihat sebagai sarana intelektual yang tidak berhubungan dengan kebenaran.

Copernicus sendiri menyadari bahwa gagasannya adalah sesuatu yang kontroversial. Terbukti gagasannya baru dipublikasikan setelah ia meninggal. Dalam kata pengantar bukunya, Copernicus de Revolutionibus, Andreas Osiander berpihak kepada Bellarmino.

Perdebatan panjang yang berakhir dengan pengucilan Galileo dan pelarangan ajaran-ajarannya selama lebih dari 250 tahun ini berlanjut sampai ke Berkeley. Mereka mengkaji pemikiran Newton dengan tekun. Berkeley mengakui bahwa teori ilmiah memberi manfaat praktis. Tetapi itu tidak menjamin bahwa teori dapat menunjuk langsung ke maujud fisika ataupun metafisika.

Di belakang pernyataan Berkeley, tersembunyi kekhawatiran akan kekuasaan ilmu pengetahuan yang mampu menyaingi agama, kalau saja hasil ilmu dan penafsiran oleh para “free-thinkers”-nya tidak ditolak. Di dalam keberhasilan ilmu terdapat, “Bukti kekuatan daya pikir manusia untuk mengungkap rahasia-rahasia alam tanpa pertolongan wahyu Tuhan.”

Perdebatan Ruang-Waktu

Perdebatan mengenai ruang-waktu telah menjadi isu sentral di dalam bahasan epistomologi sejak abad ke-17. Pertanyaan mengenai eksistensi Ruang dan Waktu membawa dua tokoh besar, Isaac Newton dan Gottfried Leibniz, ke dua sisi yang saling bersebrangan.

Agar bisa “hadir”, Leibniz menganggap waktu membutuhkan objek sebagai persyaratan. Waktu merupakan kumpulan semua hubungan temporal di antara kejadian-kejadian. Argumennya sederhana, jika tidak ada manusia yang melakukan sesuatu, maka masa lalu dan masa kini tidak akan tercipta. Tidak ada waktu yang independen dari kejadian. Sedangkan ruang adalah kumpulan semua hubungan spasial antar objek. Tidak ada ruang yang berdiri sendiri.

Berkebalikan dengan Leibniz, Newton menganggap ruang dan waktu seperti sebuah kontainer besar yang bisa dimasuki apa saja. Karena sifatnya sebagai kontainer, maka ruang dan waktu tetap ada meski objek di dalamnya tidak ada. Newton memandang ruang dan waktu secara realis lebih daripada sekedar hubungan spasial dan temporal. Ruang dan waktu bersifat otonom dan absolut.

Di dalam bukunya yang berjudul Principia, Newton menulis, “Absolute space, in its own nature, without regard to anything external, remains always similar and immovable.” Waktu yang absolut merupakan kontinum satu dimensi yang mengalir satu arah ke masa depan. “Time was absolut, too flows equitably and without relation to anything external.

Immanuel Kant mengamini pendapat Newton tersebut. Kant mempertahankan argumen tentang ruang dan waktu yang belaku secara objektif namun mengeliminasi sifat realnya. Dalam persepektif Kant, ruang dan waktu adalah struktur dalam benak subjek yang dipergunakan untuk mengamati dunia dan menata gejala. Pendapat ini mendominasi ranah fisika dan filsafat hingga hari ini. Pendapat ini juga dianut Rene Descartes, John Locke, Spinoza, dan Thomas Hobbes.

Tantangan konsep ruang dan waktu muncul lagi bersama kelahiran teori relativitas yang diajukan Einstein pada dasawarsa ketiga abad ke-20. Einstein mencoba untuk menjalin antara ruang, waktu, dan materi menjadi lebih erat. Ruang dan waktu menjadi paduan ruang-waktu.

Einstein berpendapat, tak ada satu pun kegiatan di semesta yang tidak melibatkan keduanya secara langsung. Distrubusi materi yang terejawantahkan di dalam gravitasi akan mempengaruhi ruang dan waktu. Gravitasi menjadi sifat yang melengkapi struktur ruang dan waktu.

Problem filosofis paling mendasar yang dibawa oleh fisika kontemporer menyangkut pelajaran bahwa ruang dan waktu bukanlah sekedar arena tempat pertunjukan alam semesta dipentaskan, tetapi bagian dari pementasan itu sendiri.

Mekanika Kuantum

Dalam mekanika kuantum, kritik epistemologi memainkan peran yang penting menyangkut proses pengukuran sebuah sistem fisika. Ini karena unsur visual lenyap sehingga ibarat hanya berurusan dengan pengukuran matematis dan pengukuran atas objek-objek yang tak teramati secara langsung. Pengukuran menjadi unsur yang amat penting bukan hanya untuk mendapatkan hasil akhir seperti dalam fisika klasik. Namun juga karena proses pengukuran itu sendiri berperan di dalam kemungkinan realitas terbentuk.

Jantung revolusi mekanika kuantum sekaligus salah satu problemnya yang paling mendasar terletak dalam “Prinsip Ketakpastian Heisenberg.” Prinsip ini menyatakan bahwa betapa pun cermatnya kita merancang sistem observasi, kita tidak akan pernah dapat mengetahui dengan pasti kondisi sebuah sistem kuantum. Sehingga tidak mungkin pula memprediksi perangai sistem tersebut. Padahal di dalam fisika klasik, kemampuan prediksi inilah yang menjadi salah satu kekuatan dan keberhasilan penerapannya.

Situasi eksperimental di dalam sebuah sistem kuantum dinyatakan oleh fungsi “kebolehjadian.” Fungsi itu dalam pandangan Heisenberg, merepresentasikan kecenderungan kejadian-kejadian dan pengetahuan kita mengenai kejadian-kejadian; bukan sebuah kejadian pada suatu saat.

Fungsi ini dengan demikian, menggabungkan elemen objektif dan elemen subjektif. Elemen objektif berkaitan dengan pernyataan mengenai peluang hasil yang akan dicatat. Elemen ini sepenuhnya bebas dari faktor pengukuran. Elemen subjektif berkaitan dengan pengetahuan tentang sistem yang diukur.

Heisenberg menerjemahkan ketakpastian itu sebagai keterbatasan kemampuan kita untuk mengetahui serentak harga pasti dua perilaku yang saling berkaitan dari sebuah sistem. Dengan perkataan lain, persoalannya adalah persoalan epistemologis.

Mengenal Alam Semesta

Dalam pandangan fisika akhir-akhir ini, problem tentang ruang dan waktu maupun dunia kuantum sebetulya sedikit terbelakang. Meskipun demikian problem ini penting menjadi contoh untuk pendekatan terhadap problem alam semesta secara keseluruhan.

“Alam semesta” ini adalah alam semesta menurut sudut pandang fisika. Tetapi bukan semata-mata merupakan hasil interpretasi data ataupun perluasan data. Alam semesta adalah suatu wilayah teratur proses-proses dan objek-objek, sejauh dapat dipahami melalui teori-teori fisika. Di sinilah timbul perbedaan interpretasi.

Jika keseluruhan alam semesta dipahami sebagai pengetahuan mengenai alam semesta yang hanya hadir karena melekat bersama model-model yang dikonstruksikan oleh subjek, maka objektivitas tidak bisa lain kecuali merupakan sifat alam semesta yang dipahami. Dengan perkataan lain, ini adalah objektivitas dalam melihat ilmu pengetahuan sebagai kegiatan.

Pengetahuan empiris objektif mengenai alam semesta yang dimiliki oleh komunitas keilmuan, pada satu tahap penyelidikan akan terpenuhi ketika proses penyelidikan keilmuan tersebut berhasil menyingkirkan ketakpastian subjektif dan mencapai kemantapan keyakinan keilmuan. Objektivitas mengurangi masukan a priori subjektif sampai tinggal sedikit mungkin, melalui kesepakatan intersubjektif.

Apakah lalu kita akan memperlakukan model-model fisika melulu sebagai model yang tidak berhubungan dengan realitas? Ini pertanyaan dengan jawaban bersayap tergantung posisi epistemik yang menjawabnya.

Namun apapun jawaban itu, kita perlu cukup cermat untuk membedakannya dari relativisme epistemologis. Dalam proses pemerolehan pengetahuan, realitas ontologis (alam semesta) mengalami stratifikasi: lapisan ontik (realitas alam yang sudah ada jauh sebelum manusia ada) dan lapisan epistemik (pengetahuan tentang realitas itu, yang merupakan kegiatan manusia).

Mengenali kerja ilmu pengetahuan adalah mengenali pada aras mana teori bekerja. Mengenali cara kerja ilmuwan akan membuat kita mengerti mengapa mereka sangat berhati-hati ketika berbicara tentang “kebenaran alam semesta.” Model alam semesta bukan replika, apalagi fotocopy alam ontik. “Alam Semesta” bisa lebih gemuk atau lebih kurus daripada alam semesta.

Serial Laporan Khusus:

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya
Skip to content