Menyesal Jadi Anak Persma

Sekitar empat tahun yang lalu saya bergabung dengan organisasi pers mahasiswa (persma) salah satu kampus di Yogyakarta. Organisasi yang menurut beberapa golongan mahasiswa dianggap “wah”. Anggota ersma dianggap tahu segala informasi yang sedang ada di Indonesia baik secara tersurat maupun tersirat. Persma juga terkesan organisasi yang konsisten dalam memperjuangkan para kaum tertindas. Menyuarakan yang tidak punya suara. Contohnya perampasan tanah dari petani, konflik lahan untuk pabrik atau hotel serta isu-isu sosial lainnya. Tak jarang organisasi media ini juga turun ke jalan melakukan aksi. Tujuannya sama, menyuarakan yang tidak punya suara. Rakyat tertindas.

Masuk tanpa mengerti apapun tentang media ataupun persma, saya belajar menyesuaikan ritme internal organisasi ataupun dengan sesama persma lain. Ada pola yang hampir seragam terutama terkait produk. Persma umumnya memiliki tiga produk yaitu majalah, buletin dan online. Waktu terbitnya beragam, umumnya majalah setahun sekali atau setahun dua kali. Buletin satu bulan sekali atau dua bulan sekali. Online lebih fleksibel dalam menerbitkan tulisan. Bisa sehari sekali, bisa juga tidak ada sama sekali. Bisa juga rutin dua atau tiga hari sekali tapi bisa juga sebulan tidak ada tulisan yang diunggah sama sekali.

Sangat menyenangkan berkegiatan meliput berita untuk ketiga produk tersebut. Dimulai dari observasi isu, rapat redaksi membahas isu dan rubrik, observasi lanjutan, reportase, menulis, editing dan terbit. Ada beberapa tingkat kesulitan dalam tiga produk tersebut. Majalah adalah produk yang dalam proses biasanya paling berat. Hal itu dikarenakan isu yang tingkatnya regional atau nasional dan disajikan dalam laporan yang mendalam. Buletin lebih ringan karena isu yang diangkat adalah isu internal kampus. Online juga lebih ringan dibandingkan dengan majalah dari segi fleksibiltas jenis berita.

***

Suatu kali saya menghadiri launching majalah salah satu persma di Yogyakarta. Acara tampak meriah oleh sesama persma dan organisasi pergerakan. Terlihat raut muka lega dan berseri terutama oleh si pemilik hajat acara tersebut. Memang seperti ada adat tak tertulis di mana majalah selesai seakan sudah mengerjakan salah satu “rukun” persma.

Setelah acara usai dan mendapat salah satu majalah yang baru saja di-launching tersebut, saya kembali ke kantor organisasi saya. Setelah membaca beberapa tulisan yang ada pada majalah—dua dari belasan tulisan yang ada di majalah—saya taruh majalah itu. Setelah diperhatikan ternyata masih banyak juga majalah persma saya yang belum terdistribusikan dan menumpuk di lemari. Dan jangan-jangan majalah yang sudah terdistribusi pun nasibnya sama dengan majalah yang baru saya dapat tersebut. Dibaca beberapa tulisan kemudian diletakkan tanpa dibaca lagi.

Tidak tahu apa alasannya majalah persma selalu menjadi bahan basa-basi sesama anggota persma saat bertemu. “Sudah sampai mana majalah?” “Apa tema majalah tahun ini?” Tapi selalu berulang, majalah terkadang hanya sebagai cinderamata sesama persma. Saat kunjungan sesama persma contohnya, seringkali ada sesi bertukar produk persma. Terkait dampaknya? Saya tidak tahu.

Ada pula hal-hal yang megganjal terkait majalah persma. Permasalahan pembiayaan percetakan majalah juga menjadi kendala. Dampaknya majalah persma hanya didistribusikan terbatas dan pada kalangan tertentu. Kalangan tersebut biasanya sesama persma, Organisasi pergerakan, birokrat pemerintahan—entah sampai atau tidak, kalau sampai entah dibaca atau tidak—dan sisanya baru kepada mahasiswa kampusnya—di beberapa kampus justru uang cetak berasal dari uang mahasiswa. Melihat jalur distribusi ini seakan ada istilah “dibuat sendiri, diedit sendiri, dibaca sendiri”.

Majalah persma seringkali menjadi “beban” yang mau tidak mau harus ada setiap periode. Ada stigma kegagalan dalam periode apabila tidak bisa menerbitkan majalah sama sekali. Namun setelah terbit entah seberapa berdampak isi pemberitaan terhadap masyarakat terutama birokrat yang sering menjadi sasaran kritik.
Pernah suatu ketika saya dan tim mengerjakan buletin—memang bukan majalah, namun sama dalam esensi cetak—terkait suatu isu. Kami ingin mencoba mencetak hanya sedikit dan lebih memviralkan melalui online. Mungkin kebetulan isu yang diangkat saat itu sedang jadi bahasan nasional sehingga buletin berjumlah 500 tersebut habis. Namun yang lebih baik responnya adalah di online yang mana pembaca sudah mencapai 2.500 dalam dua bulan.

Saya tidak tahu alasan mengapa majalah cetak masih dipertahankan sampai saat ini. Ada beberapa argumen bahwa dalam majalah proses liputan, tulisan dan pengeditannya lebih ketat sehingga produk yang dihasilkan bagus dari segi jurnalistik. Kalau memang itu alasannya mengapa tidak menerapkan standar itu pada pemberitaan di online? Hal tersebut sebagai alternatif dari media online “abal-abal” yang entah siapa susunan redaksinya. Atau ada juga argumen bahwa majalah adalah identitas persma sejak dahulu. Sebenarnya yang menjadi identitas persma itu majalahnya atau alternatif pemberitaannya? Bukankah orang yang selalu membanggakan masa lalu berarti tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan untuk saat ini?

***

Hal yang paling sering saya lakukan saat awal bergabung dengan persma yaitu meliput aksi. Aksi apapun, terutama yang dilakukan sesama aktivis. Aksi dilakukan sebagai bentuk upaya memberi tekanan kepada birokrat agar mengkaji kebijakan yang sudah, sedang atau akan dilakukan. Aksi juga suatu upaya untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa ada permasalahan di sekitar kita. Namun lagi lagi ada hal yang menurut saya aneh. Dari sekian aksi yang saya lihat masa aksi hanya dari orang atau organisasi yang “itu-itu saja”. Apabila ada penambahan pun jumlahnya sedikit. Apa ada yang salah?

Sebagai orang yang kurang begitu paham dunia aktivis dan pergerakan, saya merasa permasalahan tersebut bisa menjadi serius. Apabila para masa aksi yang hanya “itu-itu saja” kemudian apabila anggotanya habis, habislah itu aksi. Permasalahan serupa juga terjadi di persma. Anggota yang tertarik bergabung dengan persma semakin sedikit. Kalaupun banyak yang bergabung yang mampu bertahan sampai akhir tidak mencapai setengahnya. Memang kuantitas tidak hanya satu-satunya ukuran keberhasilan tapi juga tidak bisa diacuhkan.

Ada beberapa alasan yang mungkin menyenyebabkan peminat persma menurun. Pengemasan persma yang kaku sepertinya menjadi alasan terbesar. Implementasi semangat pergerakan yang biasanya dianut oleh persma terlihat sudah mulai usang. Aksi jalanan, tulisan dengan bahasa berat, diskusi berat, dan menjauhi orang-orang “hits”. Saya sepakat bahwa hal yang saya sebut sebelumnya penting. Namun pengemasan produk dan kegiatan persma yang menurut saya perlu disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini. Berapa sih orang yang datang ke diskusi yang sedari awal sudah diperlihatkan tema-tema yang berat? Atau berapa sih orang yang mau baca tulisan dengan judul yang sudah sangat sulit dimengerti, khususnya untuk masyarakat yang masih asing dengan dunia pergerakan?

Hal-hal pergerakan yang dibungkus saklek seperti di atas akan aman apabila sasarannya juga untuk orang yang tertarik tentang hal itu dan sudah akrab dengan dunia “kekirian”. Tapi apakah hanya mengandalkan orang-orang yang sudah “sadar” itu sudah cukup? Bukankah lebih penting “menyadarkan” orang yang belum “sadar” yang sering dibilang anak “hits” itu? Saya menganalogikan diskusi dan tulisan pergerakan yang pengemasannya berat itu seperti kegiatan memberi makan. Misal diskusi dan tulisan tentang pergerakan itu suatu makanan dan disuapkan kepada orang yang sudah bisa makan dan suka makanan itu—sesama orang pergerakan—maka akan kurang efektif. Karena walaupun tidak disuapi makanan mereka akan mencari makanan sendiri. Justru yang perlu disuapi adalah orang yang belum bisa makan dan belum suka makanan itu. Tentunya dengan banyak vareasi, dibuat bentuk yang lucu, diolah dengan berbagai macam cara agar si orang tersebut tertarik.

Kalau kata Pramoedya Ananta Toer tanggungjawab orang terdidik itu mendidik. Ya ini salah satu caranya. Orang yang sudah “sadar” akan pentingnya pergerakan dan tetek bengeknya juga harus “menyadarkan” orang lain. Tidak kehilangan suatu identitas apabila persma mulai mengemas dirinya agar semakin menarik. Bagaimana caranya? Tentunya orang yang bergerak di bidang pergerakan lebih tahu daripada saya yang hanya anak persma abal-abal. Tapi kalau boleh memberi contoh, tirto.id adalah bentuk “persma” yang bagus di antara media konvensional lain. Pengemasannya menarik namun tidak meninggalkan semangat kaum pergerakan.

Dan setelah beberapa bulan meninggalkan kegiatan persma karena telah lulus kuliah, saya menyesal ikut persma. Ya, saya menyesal hanya mengikuti cara-cara lama yang saya dapat dari para senior. Apakah menurut saya cara para senior saya salah? Tidak. Tepat untuk jaman mereka.

Saya menyesal tidak berani menggunakan pengemasan yang lebih diterima oleh masyarakat saat ini. Asal semangatnya tetap sama tidak masalah kan? Dan saya menyesal tidak mengusulkan untuk menghentikan produksi majalah dan buletin persma dalam bentuk cetak. Semua ini ditulis oleh orang yang tidak paham kegiatan aktivis pergerakan namun dekat dengan kegiatan itu. Yang dekat saja masih tidak paham apalagi orang-orang yang jauh dari dunia pergerakan?


 

Serial Laporan Khusus:

Skip to content