Dunia Bagaikan Bola Kaki

Pagi-pagi buta, Bogel yang biasanya ngopi kali ini ia melakukan aktivitas sosial yang jarang dilakukannya yakni: menyapu. Sudah dua belas bulan, teras dan halaman depan rumahnya ia abaikan, ia masa bodohi. Berbagai macam jenis kotoran bergelimpangan. Tahi ayam, tentu saja yang mendominasi. Sudah banyak tetangga yang menasihati untuk dibersihkan. Malahan ada yang diam-diam mau membersihkan, Bogel mempergoki lalu ia usir.

Ia ambil sapu ijuk dan sapu lidi. Ajaibnya, hidayah besar sedang menyelimuti Bogel kali ini. Bogel paham fungsi dari masing-masing sapu. Sapu ijuk untuk menyapu teras, sedangkan sapu lidi untuk membersihkan halaman/pekarangan. Lazimnya, ia salah memfungsikan alias terbalik menggunakan.

Usai dirasa bersih, Bogel duduk di teras rumahnya. Ia istirahatkan tubuh kurusnya. Saat sedang dalam posisi menyandarkan tubuh, ia berpandangan bahwa seperti inilah hidup. Bila kotor cukup dibersihkan. Life is simple. Bagi Bogel, hakikatnya manusia sudah mengerti keseimbangan berpikir, keseimbangan bertindak, keseimbangan dalam mengelola hidup. Karena manusia sudah dilengkapi dua teknologi internal yang sangat canggih, yaitu akal dan hati. Hanya saja, nafsu dan syahwat mengaburkan keseimbangan-keseimbangan tersebut. Nafsu dan syahwat membuat hijab atau dinding yang menutupi cahaya dari-Nya. Nafsu dan syahwat lama-kelamaan menutupi kebenaran sejati.

Di sela-sela perenungan. Matahari mulai mengintip. Burung-burung kecil beterbangan. Awan-gemawan yang terkena pantulan cahaya matahari menjadi pernak-pernik cantik di langit. Bogel menyeruput, kopi yang ia seduh sebelum mengerjakan kerja sosial alias menyapu. “Sedapnya,” ucap Bogel usai seruputan pertama. “Semoga kopi Sumatera ada di surga,” sambungnya sambil terkekeh.

Bukanlah Bogel kalau hidup tidak menghayati sesuatu. Bukankah manusia pada hakikatnya pasti merenungkan suatu hal. Mengamati berbagai fenomena alam dan sosial. Belajar dari begitu banyak peristiwa-peristiwa kehidupan di sekitarnya. Manusia pasti menemukan hikmah-hikmah untuk taraf kemuliaan dirinya sebagai manusia. Kalau hidup sekedar mengikuti nafsu dan syahwat, itu binatang namanya.

“Gel, apo gawe (sedang apa) kau?” teriak Manmun dari kejauhan.

Bogel kaget. Hampir saja ia gagal menyesap isapan kedua. Seandainya gagal dan kopinya tumpah, Manmun harus bertanggung jawab. “Kau ini ngejuti bae,” Bogel mengomel.

Bukannya merasa bersalah lalu meminta maaf, Manmun malah cekikikan. “Gel, kapan terakhir kau urus rumahmu ini?” tanya Manmun. “Tumben-tumbennya bersih,” sambung Manmun dengan nada ejek.

“Ah berisik. Sini singgah kudai (dulu).”

“Aku ada kerjaan, Gel.”

“Sejak kapan kau ada kerjaan? Pengangguran sok sibuk!”

“Nah, betul kau! Aku memang sok sibuk! Biar ibuku berhenti mengomel.”

“Sudah kubilang dari dulu, mestinya kau terima tawaran Wak Karmin untuk kerja di bengkelnya.”

“Sudahlah Gel. Itu kisah lama. Jangan kau ungkit lagi. Menyesal itu boleh tapi tak seluruhnya boleh disesali.”

Bogel cekikikan. “Sini singgah sebentar, aku sudah siapkan kopi spesial untuk kau, Mun,” timpal Bogel.

Manmun akhirnya luluh. Dari dulu ia memang sulit menolak tawaran, ajakan dari kawannya itu. Meski sering berdebat bahkan menjurus ke adu bogem, mereka tahu cara mencairkan suasana tegang nan panas di antara mereka.

Pagi yang sejuk mulai menghangat. Hawa-hawa panas mulai menggeser kesejukan pagi. Manmun ikut menyandarkan tubuh gempalnya ke dinding. Ia seruput perlahan secangkir kopi yang baru saja diseduh kawannya itu. “Kopi buatan kau memang juara, kawan,” kata Manmun. “Begitulah kalau setiap aktivitas diniati dengan cinta, Mun,” timpal Bogel. Semua aktivitas, baik yang diprioritaskan dan yang di-nomor dua-kan harus diawali dengan bismillah. Semua yang berlangsung di seluruh alam semesta ini berasal dari-Nya dan wajib kita kembalikan pada-Nya.

Manmun melongo mendengar perkataan Bogel. Melongonya Manmun bukan sembarang melongo. Melongonya Manmun adalah metode khusus dari cara ia menyimak. Manmun menyimak dengan seksama apa yang kawannya katakan. Diurainya sedikit demi sedikit. Pelan-pelan ia cerna. Manmun tahu betul, apa yang dikatakan kawannya itu sangat penting untuk bekal kesadaran dirinya sebagai makhluk ciptaan.

“Gel, kenapa orang yang punya kekuasaan itu rakus?”

“Maksudmu?”

“Dari ciri-cirinya mereka tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Padahal mereka itu orang terdidik.”

Bogel tersenyum. “Enggak kayak kita ya?”

Manmun tertawa bahak. Hampir saja ia menendang cangkir kopi di sebelahnya. “Kenapa ya, Gel? Mereka itu sudah kaya. Nyicip kekuasaan sudah. Anehnya, tetap saja korupsi.”

“Mereka lupa jati diri, Mun.”

“Aku belum paham.”

“Kalau mereka sadar bahwa mereka itu manusia, enggak mungkin korupsi.”

“Makudnya manusia seharusnya kontinu mulia, Gel?”

“Betul. Apalagi mereka terdidik dan mestinya itu sudah terasah lama.”

Manmun kembali menyeruput kopinya. “Nanti mereka yang korupsi, maling, memanfaatkan kekuasaan, jabatan, pangkat akan malu sendiri. Bahwa yang mereka lakukan itu semu, bukan kesejatian dari hidup,” kata Bogel pada Manmun.

Manmun menambah tegukan kopinya. Matanya membelalak hingga biji matanya kelihatan besar. Perkataan-perkataan Bogel membuat dirinya terjebak keheranan. Seakan-akan alam semesta membuat persengkokolan agar ia memilih jogging track ke arah rumah Bogel. Padahal, biasanya ia memilih lapangan sepakbola untuk aktivitas paginya itu. Manmun bersyukur. Peristiwa yang ia lalui dan alami pagi kali ini pasti tersimpan pesan dan makna. Menghayati untuk merangkum peristiwa pagi ini membuat cangkir yang ia pegang hampir saja jatuh.

“Gel, dunia yang kau lihat ini bagimu bagaikan apa?”

“Kenapa timbul pertanyaan itu?”

“Bukan apa-apa. Aku sedang memikirkannya saja.”

“Bagaikan bola kaki, Mun. Kadang-kadang ia kumainkan, aku giring ke sana-ke mari, aku tendang-tendang. Kadang-kadang ia kuselipkan di bawah dipan atau kutaruh di atas lemari pakaian.”

Usai mendengarnya, Manmun pamit pulang

 

Penulis: Mahasiswa Teknik Elektro 2012/Pemimpin Umum LPM Profesi FTI UII 2015-2016

Skip to content