Melatih Keberanian dengan Bertemu “Dosen”

HIMMAH Online, Kampus Terpadu – Setiap tahun Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) melaksanakan kegiatan penyambutan mahasiswa baru melalui Ajang Orientasi Ta’aruf Akbar (Aorta). Sebagai fakultas kesehatan, FK UII memiliki salah satu rangkaian acara bernama mortui vivos docent (MVD) dalam orientasinya. Nama ini diambil dari frasa latin yang berarti “the dead teach the living” atau orang mati mengajarkan yang hidup, apabila dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Salah satu kegiatan dalam acara MVD adalah memasuki laboratorium anatomi yang di dalamnya terdapat kadaver. Kadaver merupakan mayat manusia yang diawetkan untuk menjadi bahan belajar anatomi.

Muhammad Maulana Malik sebagai Ketua Panitia Aorta 2017 menjelaskan bahwa setiap tahun memang selalu ada acara berkunjung ke laboratorium anatomi untuk berhadapan dengan kadaver. Hal ini bertujuan agar melatih mental mereka dan menghormati kadaver sebagai sumber ilmu. “Kita mendidik supaya besok kalau jadi dokter tidak takut dan mengenalkan bahwa kadaver itu juga sebagai dosen kita,” tutur Maulana.

Agenda berkunjung ke laboratorium—biasa disebut sebagai tour lab—memang selalu diadakan oleh panitia Aorta, namun pada tahun ini tour lab mencakup semua laboratorium yang ada. Sementara di tahun sebelumnya, tour lab hanya diisi dengan mengunjungi laboratorium anatomi saja.

Menurut Maulana, memasuki laboratorium anatomi merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh mahasiswa baru. Peserta akan dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memasuki laboratorium. Satu kelompok terdiri dari lima orang, masing-masing orang akan berhadapan satu kadaver dengan didampingi panitia. Adapun tugas yang diberikan ialah menemukan dan mengambil jarum pentul di dalam tubuh kadaver.

Salah satu peserta Aorta 2017, Natasha Latifa, merasa kebingungan ketika ia mendapat penjelasan bahwa ia akan dipertemukan dengan “dosen”. Panitia juga memberi pesan kepada peserta agar selalu mengucapkan salam kepada “dosen”. Sesaat kemudian, Natasha baru memahami bahwa “dosen” yang dimaksud adalah kadaver. Saat gilirannya berhadapan dengan “dosen”, ia merasa kaget, gugup, dan merinding. Hal ini ia rasakan karena Natasha berhadapan dengan kadaver yang sudah tidak utuh.

“Saat saya kebingungan mencari jarum pentul di kadaver, saya melihat ada benang. Saya kira itu pentulnya, tapi ketika saya tarik malah kulit kadaver semakin terbuka,” papar Natasha. Melihat kulit yang semakin terbuka, Natasha memutuskan untuk tidak menarik benangnya lebih lanjut. Akhirnya ia tidak berhasil menemukan jarum pentul untuk memenuhi tugas dari panitia.

Meski demikian, Natasha mengaku ia tidak mendapat teguran apa pun “Saya hanya diwawancara tentang mau gimana ke depannya di FK UII ini. Tidak ada menanyakan apakah berhasil dapat jarum atau tidak,” jelas Natasha.

Humaira Madina Liza Lubis memiliki perasaan yang sama dengan Natasha saat akan bertemu dengan “dosen”, bahkan ia sempat mengira akan bertemu dosen secara literal. Perasaan takut muncul ketika Maira mengetahui “dosen” yang dimaksud ialah kadaver, tetapi ia mencoba untuk memberanikan diri. Sayangnya, Maira pun bernasib sama seperti Natasha. Ia tidak berhasil menemukan jarum pentul.

“Saya tidak dapat jarumnya, tapi memang tidak ada konsekuensi yang harus saya tanggung dari panitia. Mungkin panitia hanya ingin kami berani karena kami akan mempelajarinya di keseharian,” jelas Maira. Menurut Maira, kata “dosen” adalah kata terbaik untuk mendeskripsikan kadaver, sebab berkat tubuhnya lah mahasiswa kedokteran dapat belajar banyak hal.

Natasha merasa memasuki laborotarium anatomi, berhadapan dengan kadaver, dan mencium aroma formalin merupakan hal yang sangat mengesankan. Ia berharap untuk selanjutnya ia tidak lagi gugup saat berhadapan dengan “dosen” di kemudian hari.

Harapan lain datang dari pernyataan Maulana. Ia berharap rangkaian acara ini dapat menumbuhkan semangat sebagai dokter. Hal yang terpenting adalah agar mahasiswa baru FK dapat menghormati “dosen” mereka.

Skip to content