Persinggungan Agama dalam Sebuah Roman

Judul: Kambing & Hujan, Sebuah Roman

Penulis: Mahfud Ikhwan

Tahun terbit: 2015

Penerbit: Bentang Pustaka

Tebal : 373 halaman

Kalau kamu sudah mengetahui kisah cinta dari novel ataupun film antara Hamid dan Zainab dalam Di Bawah Lindungan Ka’bah atau kisah Hayati dan Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, maka kamu tak akan kaget dengan roman asmara antara Miftahul Abrar dan Siti Fauziyah dalam novel Kambing & Hujan ini.

Kisah mereka tak banyak berbeda dengan roman-roman dalam novel dan film lain, dua muda-mudi yang saling mencintai namun terbentur perseteruan. Cukup klise, namun sepertinya kebanyakan orang tak pernah bosan dengan roman seperti itu.

Jika Di Bawah Lindungan Ka’bah bercerita soal Hamid, seorang yatim, yang harus menghadapi bapak Zainab yang sudah dianggapnya bapak sendiri karena sudah membiayai ia sekolah; pada Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cinta Zainuddin kandas dan lamarannya ditolak karena dianggap bukan orang Minang tulen oleh keluarga Hayati; maka dalam roman Kambing & Hujan, Mif—panggilan Miftahul Abrar—yang bapaknya, Iskandar, merupakan imam masjid utara yang condong ke aliran Islam pembaharu harus menghadapi Fauzan, bapak Zia—panggilan Siti Fauziyah—yang adalah imam masjid selatan dengan pemikiran condong ke Islam tradisional.

Meskipun begitu, kisah Mif dan Zia berakhir bahagia. Keduanya mendapat restu orang tua mereka dan menikah.

Tidak seperti Hamid dan Zainab yang sama-sama meninggal sambil berharap kisah cinta mereka akan tersambung di akhirat. Apalagi seperti Zainuddin yang harus kehilangan Hayati untuk kedua kalinya, saat ditinggal nikah dan ditinggal selamanya lantaran kapal yang ditumpangi Hayati tenggelam di dasar samudera.

Mif dan Zia bertemu pertama kali di bus arah Surabaya. Mereka berdua duduk bersebelahan dan memulai pembicaraan. Setelah pertemuan itu, Mif memulai mengirimi Zia surel. Mif yang sedang menempuh kuliah di Yogyakarta menyempatkan waktu untuk mengunjungi Zia yang kuliah di Surabaya, begitu pula sebaliknya. Sampai akhirnya mereka mulai menjalin hubungan asmara di sebuah perpustakaan milik gereja di Yogyakarta.

Ketika Mif dan Zia memutuskan untuk melanjutkan asmara mereka ke jenjang yang lebih serius, mereka meyadari apa yang mereka hadapi; keluarga dan lingkungan mereka. Saat keduanya berbicara dan meminta restu pada bapak mereka, barulah terbongkar sebuah persahabatan masa kecil antara Iskandar dan Fauzan. Hampir setengah bagian awal novel menceritakan persahabatan Iskandar dan Fauzan, tempat dan guru mengaji mereka serta konflik yang terjadi di desa mereka sampai akhirnya mereka berdua saling mendiamkan satu sama lain.

Munculnya Anwar, keponakan Mif dan Zia, seakan menjadi juru kunci hubungan mereka. Pada salah satu bagian konflik di akhir novel ini, Mif bertengkar denngan Fuad—kakak Zia—di balai desa. Pada kesempatan itu Anwar mengumpulkan kedua bapak mereka.

“Dan, apa salahnya berbeda? Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda, manusia juga berbeda-beda; beda rupa, suku, golongan, bahasa. Jadi, tidak ada yang salah menjadi berbeda. Dan, mereka memang menjadi dua orang yang berbeda. Tapi, karena apa yang kalian lakukan—atau apa yang kalian tidak lakukan—anak-anak kalian jadi dua anak yang berbeda sekaligus ingin saling melenyapkan,” ucap Anwar seperti dalam halaman 338.

Perbedaan aliran dalam beragama sekarang seringkali dijadikan sumber masalah yang terjadi dalam masyarakat. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, politik maupun ketimpangan ekonomi punya pengaruh paling besar sebagai akar permasalahan dari berbagai konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia. Namun, mengapa pemuka agama selalu menceramahi umatnya bahwa golongannya ialah yang paling benar dan menafikan golongan yang lain?

Novel Kambing & Hujan tidak dapat memberi jawaban itu. Karena ia hanya sebuah fiksi. Tetapi dari cerita Iskandar dan Fauzan, kita dapat belajar mengenai konteks dan sejarah persinggungan dalam berbeda pandangan beragama.  Pada novel ini, aliran yang bersinggungan adalah dua aliran Islam yang terafiliasi dalam dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Aliran Islam pembaharu yang datang belakangan serta resistensi kelompok tradisionalis menjadi sejarah dan peradaban Islam di desa tersebut. Tentu dibungkus dalam sebuah roman antara Mif dan Zia.

Menariknya, penulis mencoba membeberkan bagaimana persinggungan tersebut terjadi pada masyarakat pedesaan karena latar tempat cerita adalah sebuah desa bernama Tegalan Centong, Jawa Timur. Rentang waktu kisah terjadi dari tahun 60-an sampai memasuki awalan tahun 2000-an. Penulis juga menyelipkan tentang tragedi ‘65 dalam rangkaian kisah novel ini.

Saya menamatkan novel pemenang Sayembara Dewan Kesenian 2014 ini selama bulan puasa kemarin. Menurut saya, itu saat yang tepat untuk membaca Kambing & Hujan sebab ada beberapa bagian buku yang membicarakan tentang bulan puasa.

Perbedaan pandangan beragama dalam Islam tradisional dan Islam pembaharu akan sangat mencolok saat bulan puasa. Jika diandaikan di antara dua aliran itu terdapat sepuluh beda, tujuh beda bisa ditemukan pada bulan puasa. Dari penentuan awal puasa dan hari raya, jumlah rakaat shalat tarawih, bacaan niat yang dilafalkan atau tidak, pakai kunut atau tidak, dan seterusnya.

Perdebatan dengan berbagai dalil dan argumen dihadirkan setiap golongan. Baik dalam bentuk kalimat yang bijak maupun berupa sindiran dan umpatan. Misalnya, percakapan antara Iskandar dan Fauzan di halaman 347.

“Kalian singkirkan beduk dari masjid karena menganggapnya bid’ah,  lalu membawa masuk pengeras suara dan menyebutnya sebagai kemajuan. Konyol,” ucap Fauzan.

“Kalau rukyat itu lebih utama, kenapa kalian lihat jam kalau mau shalat lima waktu? Itu hasil hisab, tahu? Lucu,” tukas Iskandar.

 

Skip to content