Dalam Bayang-Bayang Upah Murah

“Dilema tuntutan kenaikan upah dalam bingkai persoalan lemahnya daya tawar buruh di Yogyakarta.”

31 Oktober 2016, pekik semangat buruh bergema tepat sehari sebelum penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). “Hidup buruh! hidup buruh! hidup buruh!” Teriakan massa aksi bergelora tepat di depan Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Panas yang menyengat tak menyurutkan semangat, kurang lebih 100 buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) melakukan aksi topo pepe. Mereka berjalan sekitar dua kilometer menuju Keraton Yogyakarta dengan berbagai tuntutan, salah satunya menuntut penetapan UMK.

Topo pepe adalah aksi budaya, dalam bahasa Indonesia, topo pepe yaitu aksi menjemur diri yang mengandung makna rakyat mengadu pada rajanya. Tatkala pemimpin mencerminkan perilaku yang tidak adil, di sana rakyat mengadukan pemimpin itu pada sang raja.

Berbalut busana khas jawa, ada sekitar belasan peserta aksi dari berbagai latar belakang mengenakan pakaian adat mereka sebagai simbol budaya, mereka berjalan pada barisan depan. Sementara, di depannya lagi, berjalan sosok perempuan membawa plastik berisi kembang-kembang  dan menebarnya di sepanjang jalan. Hal ini mereka lakukan dalam aksinya, sebagai simbol, bahwa saat ini gubernur sebagai pemimpin tidak berpihak pada kaum pekerja, malah menuruti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

“Kalau gubernur tidak menghargai keringat buruh, tarik saja bajunya, celananya, sepatunya, bahkan celana dalamnya, karena itu semua hasil keringat buruh,” teriak seorang buruh yang sedang berorasi, dia adalah Aziz Nur Feriyanto dari Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia. Dengan megafon yang digenggamnya, ia berteriak agar sultan mendengar aspirasinya.

Orasi silih berganti, mereka berasal dari berbagai serikat pekerja yang terkumpul dalam aliansi, diantaranya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Yogyakarta, ASPEK Indonesia, Serikat Pekerja Mandiri (SPM) Yogyakarta, Serikat Pekerja Nasional (SPN) Yogyakarta, Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Yogyakarta, dan serikat pekerja lainnya.

Kirnadi sibuk ke sana kemari mengontrol aksi agar aksi berjalan lancar. Pakaiannya terlihat rapih, ia memakai kemeja merah marun, ia bercerita tentang tuntutan aksi di tengah sibuknya menjawab pertanyaan wartawan yang turut meliput aksi kala itu.

“Sebelumnya memang sudah terlihat,” kata Kirnadi. Ia menjelaskan bahwa gubernur memakai PP Nomor 78 tentang Pengupahan sebagai acuan dalam penetapan UMK ini. Hasilnya, kenaikannya hanya 8,25 persen. Kirnadi adalah Sekjen ABY, ia juga pengurus SPSI Yogyakarta. ABY membawahi berbagai federasi dan elemen gerakan perburuhan di Yogyakarta.

Tepat pada tanggal 23 Oktober 2015, Jokowi menandatangani kebijakan yang kemudian banyak ditentang kaum buruh, yaitu PP Nomor 78 tentang Pengupahan. Pada pasal 44 ayat 2 djelasakan, bahwa aturan ini ditetapkan berdasarkan formulasi dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

“Pasca ditetapkan PP Nomor 78 tentang Pengupahan di era Jokowi ini praktis posisi daya tawar buruh dalam menegosiasikan upah sudah hilang,” tutur Kirnadi dengan yakin. Menurutnya keputusan sudah  final, rata-rata hanya Rp 1.400.000.

Bagi Kirnadi sesuai dengan konvensi International Labour Organization (ILO), buruh yang diwakili oleh serikat haruslah diberikan hak atau kewenangan dalam melakukan negosiasi pada saat penetapan UMK. “Artinya bahwa upah minimum itu bukan semata-mata pemberian dari pemerintah, tetapi itu hasil dari sebuah negosiasi, sehingga muncul partisipasi dari buruh,” jelas Kirnadi saat ditemui di Kantor ABY Jalan Anggajaya, sebrang Terminal Condong Catur seminggu setelah aksi itu.

***

Tanggal 1 November 2016, Sri Sultan Hamengkubuwono X praktis telah menetapkan UMK di provinsi yang dipimpinnya. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Januari 2017. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi DIY mempublikasikan ketetapan ini pada lamannya. Ketetapan UMK mengacu pada PP Nomor 78 tentang Pengupahan. Publikasi pada laman Disnakertrans Provinsi DIY juga dijelaskan, bahwa pertimbangan ketetapan UMK yaitu nilai inflasi nasional sebesar 3,07 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,18 persen.

Kenaikan UMK sebelum mengacu pada PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan bisa mencapai 11 persen dengan mempertimbangkan daya tawar yang terjadi di Dewan Pengupahan. Sedangkan setelah adanya PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, kenaikan UMK hanya 8,25 persen.

Salah satu tuntutan aksi topo pepe yaitu menuntut agar gubernur mempertimbangkan hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Mereka menganggap bahwa peraturan ini akan mereduksi peran dari buruh dalam penetapan upah minimum. Hanya didekatkan pada pertimbangan rigid, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi.

Dua minggu sebelum aksi, ABY melakukan survei KHL. Survei ini menggunakan 60 komponen sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2012. Hasil survei ini tercantum dalam rilis pers aksi. Kirnadi bercerita bahwa survei ABY dilakukan sebelum penetapan UMK. Hasilnya, rata-rata tiap kota mencapai 2 juta.

Sejak adanya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan upah minimum seperti yang diatur dalam pasal 88 ayat 4. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 tahun 2012, standar KHL terdiri dari makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan.

Upah minimum memang sebagai jaring pengaman agar buruh mendapatkan upah yang layak. Namun, laporan ketanagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2016 menunjukkan sebaliknya. Masih banyak buruh yang mendaapatkan upah di bawah jaring pengaman ini. Sebanyak 48,55 persen buruh digaji di bawah UMP. Trisna Miranta berusia 35 tahun, adalah salah satu dari sekian banyak buruh yang digaji di bawah upah minimum.

Trisna kami jumpai saat sedang melakukan aksi tutup pabrik tanggal 17 November 2016. Ia bekerja di PT Starlight Prime Thermoplas. Kala itu 68 pekerja termasuk Trisna menagih pesangon yang belum dibayarkan selama enam bulan.

“Alasannya dari pihak perusahaan gak punya uang, padahal ngapusi (bohong) aja, di dalam sana aset mereka banyak kok,” keluh Trisna. Padahal perusahaan sudah menjanjikan untuk membayar pesangon tersebut jauh-jauh hari. Belum lagi, pesangon itu tidak ia dapatkan berdasarkan ketetuannya. Ia hanya mendapatkan setengah dari jumlah ketentuan yang harusnya perusahaan bayar.

Bukan hanya PHK, gaji Trisna pun di bawah UMK. Ia menunjukan slip gaji yang ia terima terakhir kali. “Hanya 1,2 juta mas,” ungkapnya. Jumlah upah yang ia terima masih di bawah UMK Kabupaten Sleman tahun 2016, yaitu Rp 1.388.000. Ia bekerja selama 15 tahun. Selama itu ia bekerja di bagian produksi PT Starlight Prime Thermoplas, sebuah pabrik yang memproduksi olahan plastik. Bekerja praktis selama 8 jam, libur hanya satu hari dalam satu minggu kerja. Trisna biasa menutupi kebutuhan hidupnya dengan proyek-proyek sampingan. “Jelas gak cukup lah kalo cuma ngandelin kerja di sini,” ujar Trisna.

Saya mencoba menanyakan perihal kasus PHK masal dan hak pesangon kepada PT Starlight Prime Thermoplas. Sampai laporan ini diterbitkan, pihak perusahaan belum juga memberikan tanggapan. Surat permohonan wawancara sudah diberikan. Pihak keamanan mengatakan bahwa kondisi perusahaan sedang tidak stabil dan tidak bisa menerima wawancara.

Sejumlah karyawan PT Dong Young Tress pulang usai bekerja sejak pagi, Jumat(06/01). Pabrik wig ini pernah didapati melakukan sejumlah pelanggaran seperti tidak menerapkan gaji sesuai UMK yang ditetapkan. (Foto Oleh: RB Radix Sabili D. P.)

Beda pabrik, beda pula ceritanya. Agustina masih terhitung muda, usianya 20 tahun. Sudah dua tahun ia bekerja di PT Dong Young Tress. Pabrik itu berlokasi di Piyungan, Bantul. Di sana memang banyak berdiri pabrik-pabrik. PT Dong Young Tress, pabrik di mana Agustina bekerja, memproduksi rambut palsu.

Ia memiliki nasib yang lebih baik dibandingkan teman-temannya yang lain. Gajinya pun lumayan, “3,1 juta,” katanya. Ia bekerja sebagai riders, bertugas memimpin kelompok. Dalam satu kelompok, jumlah pekerjanya bisa mencapai 70 orang. Mereka ditargetkan untuk memproduksi 7500 rambut dalam seharinya.

Agustina menjelaskan bahwa di pabrik itu terdapat dua tempat produksi, yaitu P1 dan P2. Agustina bekerja di P1. Dibanding P2, pekerja di P1 memang mempunyai rata-rata upah yang lebih besar.

“Kalau P2 gajinya rendah, ada yang satu bulan sampai 400 ribu,” kata Agustina.

Agustina menuturkan bahwa kondisi kerja di P2 lebih enak, hal tersebut bisa dilihat dari perbedaan jam kerja. Jam kerja biasa di P2 dimulai dari pukul 07.30 sampai 16.00. Sedangkan, Agustina harus banting tulang dari pukul 06.00 sampai 17.30. Selain itu, kerja di P2 relatif lebih leluasa, dibanding bekerja di P1 yang pengawasannya ketat.

Terkadang Agustina mengeluhkan jam kerja yang menyita banyak waktunya. “Sebenernya kerja dari jam 6 pagi sampai setengah 6 sore membuat kebutuhan di rumah jadi kacau, tapi ya emang kewajibannya kaya gitu, ya dijalanin aja,” keluhnya.

Umumnya, jam kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah 40 jam perminggu. Namun, dalam praktiknya, banyak pekerja yang bekerja melebihi ketentuan tersebut. Begitupun dengan Agustina. Berdasarkan Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis BPS Agustus 2016, terdapat 30,07 persen pekerja yang mempunyai jam kerja lebih dari 49 jam dalam seminggu.

Saya mencoba mendatangi PT Dong Young Tress untuk mewawancarai jajaran perusahaan. Namun, pihak keamanan perusahaan itu mengatakan bahwa perusahaan tidak bisa menerima wawancara dari media manapun. “Di sini kan kawasan berikat, dan pengelolaannya pun tertutup, jadi kalau mau ketemu pengelola sini gak bisa mas, nanti malah saya yang kena,” kata pihak keamanan.

Laman Sindonews.com pernah menerbitkan berita tentang sidak yang dilakukan oleh Komisi D DPRD bersama Disnakertrans Bantul. Mereka melakukan sidak di pabrik rambut palsu itu pada November 2014 silam. Mereka menemukan beberapa pelanggaran. Beberapa pekerja memberikan keterangan bahwa gaji mereka di bawah UMK.

Cerita lainnya dari Wulantiwi (32 tahun). Ia adalah buruh di PT Lezax. Ia bekerja di perusahaan yang memproduksi sarung tangan dan tas golf. Selama ini ia berkecimpung di serikat, tergabung dalam PSP SPN PT Lezax, sebagai bendahara.

“Ya pahit lah buruh ini, saya juga berharap anak saya nanti gak jadi buruh,” kata Wulantiwi.

Selepas bekerja, biasanya ia beraktifitas di serikat. Ruangan berukuran kira-kira 5 kali 5 meter itu biasanya digunakan rapat oleh serikat di PT Lezax. Tempat itu sudah masuk wilayah pabrik. Wulantiwi menyodorkan slip gajinya, hanya Rp 3.000 saja uang makan ia dapatkan dari upahnya, begitu sederhananya. “Beli makan di angkringan juga cukup buat apa?” kata perempuan yang biasa disapa Tiwi ini. Hidup di Jogja dengan semua kesederhanaannya memang memberikan kesan tersendiri bagi Tiwi. Termasuk sesederhana uang makan di slip gaji yang Tiwi terima.

Dia juga dengan tegas mengkritisi ketetapan UMK yang dipakai sebagai patokan tiap perusahaan. Karena menurutnya, ketetapan yang ada sekarang tidak mengakomodasi kepentingan buruh. Tiwi menganggap bahwa, hasil upah minimum di DIY khusunya, masih terhitung rendah, karena perhitungannya tidak melihat realita kebutuhan buruh yang kian hari kian meningkat. “Menurut saya, ya kalo dibilang kurang ya kurang,” katanya. Dengan cermat Tiwi menghitung harga-harga. “Beras naik udah nyampe Rp 9.000, sedangkan upah yang didapet cuma 1,4 juta. Itu buat makan, pendidikan dan lain-lain ya kurang. SPP anak sekolah pun mahal. Menurut saya tidak sebanding, terlalu rendah.”

Ia menambahkan bahwa ada beberapa kebutuhan yang belum dimasukan ke dalam KHL, salah satunya biaya sosial kemasyarakatan. Katanya, “Kalo ada orang yang hajatan, orang sakit, itu gak masuk di hitungan KHL.”

Buruh PT Lezax menurut Wulantiwi terbiasa berutang. “Pasti semua karyawan sini punya utang,” cetus Wulantiwi. Gali lobang tutup lobang biasa dijumpai di kalangan buruh. Buruh terpaksa menekan biaya hidupnya, dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya dengan berutang. “Ngutang terus,” katanya.

Jaring pengaman macam upah minimum ini harusnya melindungi kaum buruh. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, semua buruh yang dipekerjakan oleh perusahaan, wajib mendapatkan upah sesuai UMK. Baik buruh yang sudah bekerja lama maupun yang baru bekerja. Lalu, setelah satu tahun ia bekerja, upah yang ia terima haruslah diatas dari ketetapan UMK.

***

Restu Baskara adalah pengurus FPBI DIY. Federasi yang juga di bawahnya terdapat berbagai serikat buruh dari tiap-tiap sektor industri. Ia pernah terlibat dalam berbagai advokasi kasus hubungan industrial, seperti melaporkan perusahaan yang terbukti tidak memberikan hak kepada pekerjanya sesuai aturan.

Restu bercerita bahwa ia pernah menggugat PT Sport Glove Indonesia (PT SGI). Perusahaan sarung tangan kulit yang terletak di daerah Godean. Ia menemukan beberapa pelanggaran, seperti gaji yang dibayar di bawah UMK, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kejelasan kerja. Ia kemudian menang, setelahnya perusahaan tersebut didenda dan diharuskan memberikan hak buruhnya sesuai aturan.

“Di UMK itu yang dihitung cuma buruhnya tok, dia tidak melihat anak istrinya berapa, ya namanya juga upah minim, bukan upah layak,” kelekar Restu sambil tertawa cekikikan. “Sehingga buruhnya itu harus lembur, biar dapet duit, cari utang sana sini, gali lobang tutup lobang,” lanjutnya.

Restu berpikir bahwa rezim kali ini jelas sekali keberpihakannya, yaitu berpihak dan menghamba pada kaum pemodal. Katanya pemerintah tiba-tiba membuat aturan PP Nomor 78 tentang Pengupahan. Ia merasa terkejut dengan kebijakan ini. Serikat buruh pun merespon hal ini dengan melakukan berbagai aksi seperti demonstrasi.

Info Grafis Oleh: Tsania Faza

Menurut Restu, di Yogyakarta masih nampak kultur feodalistiknya. Ini berpengaruh ke kondisi sosiologis buruh. Buruh merasa takut untuk melawan. Selain itu, karena Jogja pun bukan kota industri, ini membuat gerakan buruhnya tidak tersentralisasi. Hal ini yang banyak berpengaruh pada lemahnya daya tawar buruh dan menjadi persoalan rendahnya upah di Jogja.

Menakar Peran Dewan Pengupahan

Kampus Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Islam Indonesia (UII) terletak di Jalan Prawirokuat, Condong Catur. Tepat di gedung International Program (IP) FE UII, Rokhedi beraktifitas kala itu. Ia adalah Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten Sleman. Ia menjadi Dewan Pengupahan mewakili kalangan akademisi. Tercatat sebagai dosen Ilmu Ekonomi yang juga mengampu mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Manusia. Mata kuliah itu pula yang membuat ia harus banyak berkutat membahas daya tawar buruh berdasarkan kaidah keilmuan dan teori.

Dengan gayanya yang santai Rokhedi bercerita tentang peran Dewan Pengupahan setelah adanya PP Nomor 78 tentang Pengupahan. Menurutnya, meskipun tidak lagi memasukan KHL dalam penetapannya, namun, secara periodik Dewan Pengupahan melakukan survei KHL. Biasanya, survei dilakukan tiap bulan, sebagai pembanding UMK.

Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) 107 tahun 2004, Dewan Pengupahan terbagi atas Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pengupahan Provinsi dan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota. Dalam Keppres tersebut, Dewan Pengupahan didefinisikan sebagai suatu lembaga non-struktural yang bersifat tripartit. Terdiri dari perwakilan buruh, pengusaha dan pemerintah.

“Dari hasil penetapan itu, kita estimasi, KHLnya berapa. Setelah itu ya kita bandingkan, kalau hasil KHL itu lebih besar dari UMK, maka itu bagus lah buat buruh,” tutur Rokhedi. Menurutnya, ketetapan UMK jangan sampai di bawah KHL. Kalau memang jauh di bawah KHL, ada semacam lobi ke gubernur dari Dewan Pengupahan.

Kerja Dewan Pengupahan kini berbeda setelah adanya PP Nomor 78 tentang Pengupahan. Dulu ketika sidang di Dewan Pengupahan bisa sampai berhari-hari, karena terdapat tawar menawar yang alot, dari pihak buruh maupun pengusaha. “Namun, sekarang relatif lebih cepat, karena perhitungan yang sudah rigid,” kata Rokhedi.

Terdapat perbedaan antara survei ABY dan perhitungan Dewan Pengupahan. Hasil survei ABY, rata-rata UMK tiap kota dan kabupaten di atas 2 juta. Namun, hasil dari Dewan Pengupahan menunjukkan bahwa UMK di bawah penetapan dari gubernur, yaitu sekitar 1,3 juta. “Malah hasil yang kami tawarkan lebih dari UMK, ini bonus buat buruh,” papar Rokhedi.

ABY menaganggapi bahwa survei yang dilakukan Dewan Pengupahan itu bohong dan suatu hal yang tidak mungkin terjadi. “Logikanya saja, kalau hasilnya seperti itu, berarti kebutuhan hidup buruh di Jogja itu kurang dari 50 ribu per hari dong,” kata Kirnadi

Info Grafis Oleh: M. Nadhif Fuadi

Rata-rata upah minimum di DIY lebih rendah dibanding provinsi lainnya. Kata Rokhedi, kebijakan Dewan Pengupahan sebelum-sebelumnya yang menekan upah membuat ketetapan upah yang baru tetap saja rendah. Ditambah lagi dengan adanya kebijakan PP Pengupahan Nomor 78. Tanpa adanya tawar menawar, semuanya diserahkan pada formulasi baku.

ABY menggugat Surat Keputusan Gubernur DIY tentang UMK 2017. Tanggal 19 Januari 2017 gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Provinsi DIY. ABY menganggap bahwa ketetapan UMK menyalahi aturan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, karena tidak menyertakan survey KHL. Selain itu, ketetapan dari gubernur ini dirasa kurang aspiratif dan tidak sesuai dengan kebutuhan pekerja. Sebelum adanya gugatan ini, perbedaan pandangan hasil upah minimum antara ABY dan Dewan Pengupahan memberi gesekan tersendiri di dalamnya.

“Nah itu survei (Survei ABY-red) yang ngawur,” cetus Darmawan. Ia menjabat sebagai Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja di Disnakertrans Provinsi DIY. Kini setelah adanya gugatan dari ABY, setiap kamis ia harus menghadiri sidang. Darmawan menjadi kuasa hukum mewakili pemerintah. Namun, menurutnya gugatan yang dilayangkan itu salah alamat.

Darmawan mengatakan bahwa kalaulah ABY mau melakukan gugatan, harusnya lakukan dulu judicial review di Mahkamah Agung bukan malah menggugat gubernur. “Jangan ke gubernur, kalo ke gubernur salah alamat,” kata Darmawan.

“Kalo gitu seluruh gubernur di Indonesia harusnya juga digugat, karena semuanya juga pake aturan (PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan-red) ini, justru yang gak pake aturan ini yang salah, karena tidak menggunakan sistem perundang-undangan yang berlaku,” cetus Darmawan mengomentari gugatan ABY.

Darmawan melihat bahwa kebanyakan yang menolak adanya PP Nomor 78 tentang Pengupahan ini karena tidak paham dan terlalu dini menganggap hilangnya peran survei KHL. Padahal, menurut Darmawan, survei KHL tetap digunakan. “KHL itu terdapat pada upah minimum berjalan,” ujarnya. Selama lima tahun sekali pemerintah melalui Dewan Pengupahan melakukan survei KHL. Bahkan kata Darmawan setiap lima tahun sekali juga komponen KHL bisa ditambah.

Darmawan pun sepakat, bahwa peran Dewan Pengupahan kini berkurang, karena perhitungan upah minimum sudah ada formulasinya. “Sekarang tidak ada tawar menawar, dan lebih aman,” cetus Darmawan.

“Ya memang upahnya kalo tinggi banget itu bagus, tapi apa pengusaha mampu untuk membayarnya?” tanya Darmawan.

Kami mendatangi Gonang Djuliastono. Ia adalah wakil ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi DIY. Kadin adalah lembaga yang mewakili para pelaku usaha dan industri. Kadin DIY saat ini dipimpin oleh GKR Mangkubumi, anak tertua Sultan Hamengkubuwono X. Secara struktural Kadin membawahi berbagai sektor usaha dan asosiasi lainnya, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Real Estete Indonesia (REI).

Kami tidak menemui Gonang di kantor Kadin, karena kala itu ia sedang beraktifitas di kantor perusahaan yang ia miliki, PT Cipta Wahana Karya. Tepatnya di Kompleks Kolombo, Catur Tunggal. Gonang berada di ruangannya di lantai dua. Ia bercerita sebagai seorang pengusaha. “Kalau kita sebagai pengusaha, yang dilihat adalah bagaimana supaya produktivitasnya tinggi, hasilnya baik, kualitas produk bagus, tapi tenaga kerja ini juga harus bisa mendukung.”

“Kalo ekonomi lesu, pemasukan perusahaan kecil, sementara buruh minta upahnya tinggi, lah siapa yang mau nomboki,” ujar Gonang sambil mengerutkan dahi.

Gonang mengeluh, kini banyak sekali beban yang diemban pengusaha dengan semua kebijakan-kebijakan pemerintah. “Udah ditambah beban pengampunan pajak, terkadang perizinan birokrasi belum bener, banyak lah kendala-kendala, pemerintah sekarang enak punya pemasukan dari pajak, pemasukan perusahaan tinggi, ya pajaknya juga kan tinggi,” kata Gonang.

Kontradiksi kepentingan dengan semua debat panjang antara kesejahteraan buruh dan produktivitas pengusaha memang sejatinya di wadahi oleh adanya Dewan Pengupahan. Seperti itulah kerja lembaga tripartit. Omongan Darmawan memang benar, bahwa pemerintah seharusnya melindungi buruh. Karena apa mau dikata, posisi buruh ada pada posisi yang lemah.

Buruh Jogja Terancam Tunawisma                         

Mereka duduk di depan Keraton Yogyakarta. Di lapangan berbentuk persegi dengan luas 150 kali 150 meter, turis lalu lalang melewati barisan mereka. Dalam lantunan adzan dzuhur, buruh berjemur di bawah terik matahari siang itu.

Mereka seolah memikirkan nasib dibalik lamunannya, bagaimana mereka bertahan hidup kalau upah mereka saja tidak diperhatikan. Bagaimana nasib cicilan rumah? Kontrakan? Kosan? Kalau dalam survei KHL saja pemerintah hanya menghargai sebesar 100 ribu. Setidaknya pertanyaan-pertanyaan itu yang disuarakan dalam pembacaan sikap.

“10 atau 15 tahun lagi pekerja muda di Jogja dipastikan tunawisma,” dengan lantang Marga berorasi. Ia perwakilan dari SPM. Ia buruh di Melia Purosani Hotel Yogyakarta, perusahaan yang bergerak di Industri perhotelan yang kini sedang marak di Jogja. Industri ini juga yang kemudian mendongkrak pertumbuhan ekonomi Jogja. Namun, manisnya buah usaha yang didapat pengusaha perhotelan dan perumahan tidak semanis cerita Marga yang menganggap bahwa buruh di Jogja terancam tunawisma.

“Faktanya, ada sektor usaha yang mempengaruhi inflasi dan upah yang sangat tinggi, apa itu?” tanya Kirnadi. Pertanyaan retoris ia jawab sendiri. “Sektor properti dan tanah,” tatap mata Kirnadi nampak serius berkomentar mengenai persoalan ini.

“Sementara, bayangkan saja,” kata Kirnadi. “Hari ini kita dengan membawa slip gaji 3 juta saja, tidak ada satu bank pun yang mau meng-acc untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Itu gaji yang 3 juta, apalagi gaji yang 1.5 juta sesuai UMK.”

Kirnadi menganggap bahwa harga rumah sudah sangat tinggi, kalau pun ada yang murah, itu sangat jauh dari lokasi dia kerja.

Saya mendatangi Bank BNI KCP UPN Veteran Yogyakarta untuk menanyakan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pembelian rumah melalui kredit. “Syaratnya menyertakan NPWP, KTP, sama slip gaji minimal 3 juta mas,” kata Devi seorang custemer service.

Tirto.id di lamannya pernah membuat laporan. Mereka menjelaskan detail hitungan berapa lama kaum pekerja muda di Jogja memiliki rumah bertipe kecil dan letaknya jauh dari pusat kota sekalipun di daerah Tempel. Hasilnya tak dinyana, yaitu menabung semua gajinya selama 230 bulan atau sekitar 19 tahun. Itupun belum termasuk hitungan inflasi.

Dengan kecewa, karena tidak ada sama sekali tanggapan sultan, aksi ditutup dengan pembacaan sikap. Masih dengan sorot mata yang tajam seakan sedang memikirkan sesuatu, seorang bapak mengkerutkan dahi. Entah apa yang ia pikirkan. Mungkin ia memikirkan nasib hari esok, karena hari di mana ia berdemonstrasi adalah hari Senin. Ia bolos kerja, malah ikut berdemonstrasi. Mungkin si tuan pasti tidak suka dengan yang ia lakukan. Sambil menggumam, kaum buruh bernyanyi, berkeluh dalam nada, melantunkan lagu ibu pertiwi dengan khidmat.

Reportase bersama: RB Radix Sabili D. P., Rabiatul Adawiyah, dan Al – Aina Radiyah

 

Skip to content