Eksistensi Pasar Tradisional Kian Terancam

Seringkali kita mengatakan pasar tradisional terkesan kumuh, kotor dan bau. Ini merupakan stigma buruk yang dimiliki pasar tradisional. Memang, pasar tradisional sendiri rata-rata memiliki kondisi infrastruktur yang kurang layak, seperti umur bangunan yang sudah lama, kondisi pasar yang kumuh, becek serta padat pengunjung. Hal ini juga dipengaruhi oleh segmentasi pasar yang lebih tertuju pada kalangan menengah ke bawah.

Menurut Peraturan Presiden RI No. 112 Tahun 2007, pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah. Termasuk kerjasama dengan swasta atau tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.

Pasar tradisional sendiri sudah dikenal sejak puluhan abad lalu, sudah muncul sejak zaman Kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke-5 Masehi. Dimulai dari barter barang kebutuhan sehari-hari dengan para pelaut dari negeri tirai bambu, masyarakat mulai menggelar dagangannya dan terjadilah transaksi jual beli tanpa mata uang. Hingga kemudian mata uang Cina pun digunakan sebagai alat pembayaran.

Lanjut pada zaman penjajahan Belanda, pasar tradisional mulai diberikan tempat yang layak. Hal ini ditandai dengan pendirian bangunan yang cukup besar di zamannya. Lihat saja Pasar Beringharjo di Yogyakarta, Pasar Johardi Semarang dan Pasar Gede di kota Solo.

Disadari atau tidak, sebenarnya pasar tradisonal memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian masyarakat. Pasar tradisional merupakan  denyut nadi ekonomi daerah baik di perdesaan maupun perkotaan. Pasar tradisional sejatinya menjadi pusat pemasaran produk pertanian dan kerajinan lokal.

Di dalam pasar tradisional ada banyak sekali nilai tambah yang bisa kita petik. Secara fisik misalnya, sebagian bangunan pasar tardisional termasuk bangunan tua yang tergolong cagar budaya. Secara non-fisik, di dalam pasar tradisonal ada banyak interaksi sosial, keakraban, serta kehangatan dalam hubungan pedangan dengan masyarakat luas.

Akan tetapi, seiring banyaknya pembangunan pasar-pasar modern seperti supermarket, minimarket, mall dan sejenisnya, justru cenderung mematikan perekonomian pasar tradisional. Adanya pasar-pasar modern juga akan berdampak negatif bagi pasar tradisonal. Pasar menjadi sepi pembeli dan pendapatan menurun. Apalagi perbedaan antara pasar tradisonal dan pasar modern sangat kentara terutama dalam  fasilitas serta pelayanannya. Inilah yang membuat masyarakat menjadi enggan atau lebih nyaman dan lebih memilih pasar modern untuk menjual dan mendapatkan kebutuhannya sehari-hari ketimbang pasar tradisional.

Menurut penulis, ada beberapa hal yang harus dipetakan mengapa pasar-pasar modern ini mengancam eksistensi pasar tradisional. Pertama, pasar modern muncul dengan menggendong teknologi serta dikelola oleh profesional dengan manajemen strategi pemasaran yang bagus. Contonya dari segi pembayaran, pasar modern menerima pembayaran via credit card atau biasa di sebut kartu gesek. Penentuan harganya juga sudah menggunakan label. Sehingga, konsumen dapat langsung mengetahui harganya.

Sedangkan di pasar tradisional, pembayarannya masih menggunakan cara manual, paling canggih pun menggunakan mesin penghitung atau biasa disebut kalkulator. Selain itu, penentuan harga di pasar tradisional juga masih dengan tawar menawar. Sehingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk berbelanja.

Kedua, pasar modern menawarkan produknya dengan pengemasan yang menarik. Barang yang di jual juga memiliki variasi yang beragam. Mulai dari barang elektronik, buah-buahan, sayur-sayuran dan sebagainya. Selain itu, barang yang dijual juga memiliki kualitas yang terjamin karena barang yang dijual di pasar modern selalu melalui penyeleksian yang ketat.

Sedangkan di pasar tradisional, pengemasan barangnya kurang menarik, walupun barang yang di tawarkan cukup lengkap dan beragam. Barang yang dijual pun tidak melalui proses penyeleksian seperti yang dilakukan di pasar modern. Kualitas barang yang dilegokan di pasar tradisional pun di pertanyakan.

Maka dari itu, perlu adanya tindakan nyata serta solusi untuk mendorong pasar tradisional agar bisa tetap hidup dan dapat bersaing maju di tengah-tengah gempuran pasar modern.

Pertama, membangun tempat baru yang strategis dengan penataan sedemikian rupa serta tidak meninggalkan corak ketradisonalannya. Agar kondisi pasar semakin kondusif, rapih dan ramah bagi konsumen dan produsen. Pasar dapat dibangun dengan menambah fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Contohnya, menyediakan toilet dan bak sampah, serta mengutamakan tiga “K” yakni kenyamanan, keamanan dan kebersihan. Konsumen yang sedang berbelanja dan produsen yang sedang berjualanpun bisa merasa nyaman dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.

Kedua, jika pasar tradisional tidak dipindahkan, pihak pengelola dapat memugar kembali kondisi pasar. Membangun ulang susunan pasar secara fisik maupun non fisik pun dapat dilakukan. Misalnya saja, pasar dua lantai. Sebisa mungkin pusat perbelanjaannya jangan di lantai pertama tetapi di lantai kedua. Jika pusat atau sentra perbelanjaannya terletak di lantai pertama, sangat mungkin para produsen yang berada di lantai dua sepi konsumen.

Maka dari itu perlu adanya variasi unik sekaligus sebagai media pemasaran untuk menarik konsumen agar mau tidak mau naik ke lantai dua. Yaitu, dengan menonjolkan identitas daerah. Sebagai contoh Yogyakarta, selain terkenal sebagai kota pelajar juga terkenal ciri khas batik nya, hal tersebut dapat di kemas sebagai media pemasaran dengan cara menonjolkan ciri khas jogja itu sendiri. Misalnya, dengan menggambar motif batik di tembok-tembok pasar tradisional atau menggambar motif unik lainya, hal tersebut sangat berguna untuk menarik perhatian konsumen.

Ketiga, dari aspek sosial. Selama ini pola pikir masyarakat mengenai pasar tradisonal baik di pedesaan, pinggiran kota maupun di tengah kota selalu terkesan kumuh. Istilah kumuh ini bisa dilihatdari segi fisik seperti bangunannya, kondisi pasar, lapak dagangan, sampai sangat mungkin atmosfernya. Pola pikir negatif seperti itu tentu harus dihilangkan dan diubah ke arah positif.

Keempat, dari segi pembayaran. Pasar tradisional masih menggunakan alat hitung biasa seperti kalkulator. Coba bayangkan jika pasar tradisional juga dalam pembayarannya menggunakan teknologi komputer. Seperti, credit card dan sejenisnya, kemudian penentuan harganya juga masih tetap menggunakan sistem tawar menawar. Tentu hal tersebut akan menjadi nilai tambah pasar tradisional mengingat masih jarang atau belum adanya pasar tradisional yang sudah melakukan hal tersebut.

Bagaimana pun pasar tradisonal sudah merupakan budaya bagi suatu negara untuk dijaga eksistensi serta pengaruhnya terhadap perekonomian. Pengelolaan pasar tradisional secara sungguh-sungguh, diharapkan dalam mengahadapi persaingan dan tidak tergerus hilang ditelan perubahan zaman.

Skip to content