Maulid Nabi di Tengah Penggusuran Kulon Progo

HIMMAH ONLINE, Yogyakarta – Jumat, 1 Desember 2017, warga Desa Temon, Kecamatan Palihan, Kabupaten Kulon Progo menggelar peringatan Maulid Nabi 1439 Hijriah di halaman Masjid Al-Hidayah  dengan tema Mengenang Semangat Perjuangan Nabi Muhammad SAW: Menanamkan dan Mempertahankan Lahan Adalah Ibadah. Bermodalkan genset, peralatan seadanya, dan bantuan aliansi , acara yang diperingati satu tahun sekali itu berjalan lancar dan khidmat di tengah proses penggusuran. Persiapan dalam membentuk acara ini terbilang tidak mudah mengingat penggusuran dan pemadaman listrik yang terjadi di beberapa wilayah di Kulon Progo dalam rangka pembangunan bandar udara baru bertaraf Internasional di Yogyakarta dalam proyek NYIA (New Yogyakarta International Airport) oleh PT Angkasa Pura 1. Para warga yang masih bertahan dan beraktivitas di wilayah penggusuran beranggapan bencana yang mereka alami tidak membuat mereka gentar untuk memperingati Maulid Nabi seperti tempat-tempat lainnya.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad ini dilaksanakan pukul 19.00 hingga 23.00 WIB. Acara dimulai setelah melaksanakan salat berjamaah, yaitu dengan zikir bersama. Kemudian terdapat pembukaan, sambutan, tilawah disertai selawat barzanji oleh Jamaah Hadrah Nurul Qolbi. Acara dilanjutkan dengan pengajian dan ceramah yang disampaikan oleh Gus Ubaidillah Achmad.

Gus Ubaidillah Achmad mengatakan bahwa kejadian yang menimpa warga sekarang adalah suatu hal yang tak perlu ditakuti karena akan ada pertolongan bagi orang-orang yang teraniaya. Beliau turut menjelaskan bahwa pemerintah melakukan kebijakan yang tidak manusiawi. Sistem kekuasaan yang tidak seimbang (hegemonik) dan selalu menggampangkan orang-orang kecil dengan memanfaatkan otoritas yang ada. “Pemimpin itu koyo wong tuo, sak nakal-nakale anak kudu diayomi. Yo ojo saling usir-usiran. Wong kuburan yo digusur meneh kok,” tambahnya. Gus Ubaidillah menganalogikan pemimpin sebagai orang yang lebih tua, yang seharusnya tetap mengayomi anak meski anak itu nakal. Tidak lantas melakukan pengusiran hingga kuburan pun ikut digusur.

Selain pemaknaan isi Surah Al-Quraisy dan keteladanan Nabi Muhammad, Gus Ubaidillah juga menekankan kepada warga dan petani untuk saling bersinergi dalam mempertahankan wilayah mereka. Pada bagian akhir ceramah, beliau menuturkan, “Di mana kepala jatuh pertama, di sanalah tempat kita bertumpah darah. Bertahanlah menjadi petani, sesungguhnya petani itu orang yang paling kaya.”

Setelah pengajian, acara dilanjutkan dengan berdoa bersama oleh Beny Susanto selaku pengasuh Pondok Pesantren Sunan Kalijaga. Sesi penutup diisi pembacaan puisi yang berjudul Sisir Tanah dan dua lagu sebagai wujud partisipasi para aliansi. Usai acara peringatan Maulid Nabi berakhir, para warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP KP) mengadakan rapat warga. Rapat warga yang dilangsungkan tidak lain membahas tentang penggusuran dan relokasi dalam proyek NYIA tersebut.

Menurut takmir Masjid Al-Hidayah, Sofyan, terkait kronologi penggusuran berawal dari sosialisasi. Beberapa bulan berikutnya, alat berat mulai memasuki wilayah Kulon Progo. Tetapi, masih ada ratusan orang yang bertahan untuk tetap berada di wilayah desa. “Kami yang menolak ini ada yang di dalam dan ada juga yang di luar pagar. Apabila lahan kita yang terkena gusur, itu artinya di luar pagar. Sementara masyarakat yang di dalam pagar itu yang terkena penggusuran adalah rumahnya,” terang Sofyan.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa rumah-rumah yang sudah tergusur kemungkinan sudah menyepakati atau menyerahkan surat-surat tanah kepada pihak terkait. PT Angkasa Pura 1 dalam kasus penggusuran ini juga memberikan ganti rugi berupa uang dan relokasi warga yang rumahnya sudah tergusur ke tempat lain.

“Dulu, mereka (PT Angkasa Pura 1 –red) memberikan dua opsi terhadap warga, yaitu sepakat atau tidak sepakat terkait relokasi wilayah. Jelas kami tidak menyepakati hal tersebut, bahkan sebelum mereka memberikan opsi itu terhadap kami,” ujar Sofyan. Kenyataannya, walaupun banyak warga yang menolak, penggusuran tetap dilakukan. Bahkan dengan cara pencongkelan rumah dan masjid.

Sementara soal memenuhi atau tidaknya nilai uang ganti rugi, Sofyan menjelaskan bahwa itu tergantung masing-masing warga. “Menurut saya … selama warga tidak memberikan tanah ini, maka tanah ini bukan milik mereka. Karena kami tidak pernah memberikan kesepakatan dan SHM (Sertifikat Hak Milik –red) kami kepada mereka,” katanya lagi. “Dan yang perlu diketahui, kami tidak bertahan pada tanggal 4 Desember itu saja. Kami sudah berupaya, baik secara fisik maupun lisan. Jika tidak bisa, maka kami akan bertahan sampai kiamat datang,” tambah Sofyan. Ia dan para warga lain kini hanya dapat berharap bandara Kulon Progo batal dibangun agar mereka bisa mempertahankan mata pencaharian mereka sehari-hari.

 

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Skip to content