Kritik Atas Pidato Ketua DPM UII

Pelantikan Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DPM UII)  tidak seperti periode sebelumnya. Alih-alih mengingat momentum sakral berupa serah terima jabatan dan pelantikan. Saya justru teringat pada pelaksanaan kuliah perdana bulan Agustus lalu. Menurut saya ada kesamaan pada dua momentum besar ini. Mengapa demikian? Mari kita ingat kembali pelaksanaan kuliah perdana tersebut.

Pada momentum kuliah perdana 2017, pihak panitia (Rektorat) memberikan ruang stan untuk seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebagai bentuk pengenalan bagi mahasiswa baru kala itu. Hal ini bukan kebijakan yang unik, sebagian besar kampus memang melakukan hal yang sama. Namun, ada satu fakta unik dan berbeda dari kampus yang lain. Tepat di salah satu stan yang disediakan untuk lembaga internal justru diisi oleh salah satu organisasi ekstra mahasiswa atau sering disebut juga ormawa. Tentunya pemandangan ini menghadirkan tanda tanya besar terkait status ormawa yang berada di antara lembaga internal Keluarga Mahasiswa (KM) UII. Pasalnya, tepat di depan Auditorium Kahar Muzakkir beberapa organisasi ekstra lain berkumpul bersama dan bahkan beberapa kali hendak mengalami pengusiran.

Apakah ini bagian dari tindakan driskiminatif atau memang ormawa tersebut merupakan bagian dari struktur lembaga internal kampus? Jika iya, bukankah ormawa sejak dideklarasikan sampai hari ini tidak terkait dengan kampus secara struktural maupun administrasi? Bukankah ormawa tersebut sama seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Pemuda Islam Indonesia (PII), dan berbagai organisasi mahasiswa lainnya? Jika tidak, mengapa demikian istimewa? Bahkan kampus cenderung tidak mengindahkan ormawa lain yang juga mahasiswa UII.

Kebingungan-kebingungan tersebut tidak pernah terpecahkan. Namun, setidaknya apa yang disampaikan Wakil Rektor III ketika hendak membubarkan organisasi ekstra lain saat kuliah perdana 2017 mampu memberikan gambaran bahwa perilaku ‘istimewa’ tersebut secara sadar dilakukan sebagai bagian dari menjaga historis UII. Bahwa ormawa tersebut memiliki sejarah dan peranan terhadap keberlangsungan UII, sehingga pantas untuk mendapat tempat VIP dibandingkan yang lain. Tampaknya beliau lupa, bahwa hak yang hendak dibubarkannya juga bagian dari mahasiswa UII yang sudah melunasi tanggung jawabnya. Cukup sampai di sini cerita soal kuliah perdana, lantas apa yang membuatnya memiliki kesamaan dengan momentum pelantikan DPM UII?

Coba diingat, diperhatikan, dan dianalisis sambutan dari pimpinan baru kita, ketua DPM UII periode 2017/2018. Pidatonya membuat pikiran saya kembali ke masa lalu, tepatnya kuliah perdana. Saya melihat ego yang begitu besar lewat diksi-diksi dalam pidatonya.  Penyampaian diksi tersebut tidak pada tempatnya mengingat dia adalah pimpinan KM UII. Beliau adalah simbol pemersatu warga KM UII. Memang perbedaan di dalamnya merupakan fitrah yang tidak dapat dihindari. Sebagai  pemimpin beliau harusnya menjadi pengayom bagi segenap warganya. Tapi, agaknya saya pesimis tentang hari depan, akankah peristiwa diskriminatif yang terjadi pada saat kuliah perdana tidak terulang lagi atau bahkan semakin dilestarikan. Alih-alih menjadi pemersatu, menjadi pengayom, tepat pada saat hari dilantiknya justru menyulut api dengan arogansi.

Dia dalam pidatonya menyatakan bahwa, “Dari sekian organisasi yang masuk UII sadarlah bahwa kalian bukan tuan rumah dan berperilakulah sewajarnya saja, jangan kurang ajar. Kalau kurang ajar ya tuan rumah dan (HMI) adalah tuan rumah dan tuan rumahnya itu HMI  bisa berbuat apa pun”. Etika seorang pemimpin tertinggi KM UII yang seharusnya menjadi representasi dan simbol pemersatu antar golongan yang ada di UII justru tidak bisa mengindahkan dalam pidato perdananya setelah dilantik. Padahal mereka yang datang dalam pelantikan DPM UII adalah mahasiswa umum dan berasal dari berbagai golongan. Jadi, terlepas dari organisasi mana pun ia berasal, sejak kapan didirikan, mahasiswa UII memiliki hak atas kampusnya, memiliki hak atas lembaganya.

Perlu kita ketahui bersama bahwasanya UII ini dibangun bukan hanya oleh satu golongan, dibangun bukan hanya oleh satu kelompok, akan tetapi UII ini dibangun oleh semua kalangan dan semua kelompok yang memimpikan satu pendidikan pribumi yang merdeka dan terlepas dari intervensi penjajahan Belanda. Itu artinya UII ini milik kita bersama. Perlu saya tekankan sekali lagi, apabila ada pihak-pihak yang ingin menguasai kampus, jika ada pihak-pihak yang ingin mendominasi kampus maka saya katakan bahwa kampus ini adalah milik semua golongan, bahwa UII adalah milik kita bersama.

Terakhir, seluruh mahasiswa UII, seluruh anggota KM UII yang sah, adalah “Tuan di Kampusnya”. Jangankan organisasi yang tidak jelas afiliasinya terhadap kampus, bahkan unsur pimpinan DPM UII pun tidak berhak mengaku “Tuan” di hadapan konstituennya.

(Barik Wahyu R – Mahasiswa Ilmu Ekonomi Angkatan 2015)

Skip to content