Inspirasi Dokter yang Baik Hati

Judul                : dr. Lo: Sang Maestro Kehidupan

Penulis            : dr. Nadjibah Yahya dan dr. Aviaddina Ramadhani

Tahun terbit    : 2016

Penerbit          : Tiga Serangkai

Tebal               : 188 halaman

Buku ini adalah kumpulan kisah inspiratif dari seorang dokter yang kerap dipanggil dr. Lo. Seorang dokter yang memiliki jiwa sosial tinggi, ia mendermakan dan mengabdikan hidupnya untuk menolong pasien pasien kurang mampu yang datang kepadanya. Kisah-kisah yang diceritakan dalam buku ini adalah kisah yang dikumpulkan dari orang-orang terdekat beliau. Dari kisah-kisahnya, dr. Lo seakan memperlihatkan dan meyakinkan masyararakat bahwa di luar sana masih ada dokter yang berdedikasi bagi kemanusiaan.

Pada halaman 2-5, buku ini menceritakan kejadian saat dr. Lo membayar seluruh biaya operasi seorang pasien anak bernama Hadi. Tidak hanya itu, setelah operasi selesai dan Hadi keluar dari Instalasi Gawat Darurat (IGD) dr. Lo masih membantu Hadi dengan memberikan kaki palsu dan uang untuk kursus menjahit. Setelah kursus menjahit selesai, dr. Lo memberikan Hadi sebuah mesin jahit untuk bekal hidup Hadi ke depannya. Kisah ini adalah salah satu dari banyak kisah dr. Lo yang dapat memberikan inspirasi melalui dedikasi dari profesi yang ia jalankan

Dokter Lo lahir di Magelang, 16 Agustus 1934 dengan nama lengkap Lo Siauw Ging. Sejak kecil ia dianggap sebagai anak yang unik dan berbeda, ia dikenal sebagai anak yang mempunyai semangat belajar dan kepekaan sosial yang tinggi. Setelah lulus SMA, ia lebih memilih melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran.

Sebelum ia memulai studinya di Fakultas Kedokteran bapaknya menyampaikan sebuah pesan: kalau jadi dokter, jangan jadi pedagang. Pesan sang ayah memiliki makna yang sangat dalam, pesannya mengisyaratkan bahwa jika menjadi dokter jangan seperti seorang pedagang yang selalu berpikir dan mencari cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Karena sejatinya dokter adalah sebuah kerja sosial untuk mendermakan ilmu dan memberikan sebuah pelayanan.

Bulan Februari tahun 1962 dr. Lo mendapatkan gelar dokter. Sleman menjadi awal penempatannya sebagai seorang dokter. Tahun 1950 sampai 1960-an, di daerah Gunung Kidul terjadi wabah penyakit leptospirosis. Wabah ini cukup menyita perhatian pemerintah pada saat itu. Dengan pengalamannya yang masih minim, ia mendaftarkan diri sebagai relawan tenaga medis.

Suatu ketika, karena sering berinteraksi dengan penyakit tersebut akhirnya ia tertular leptospirosis. Kondisinya saat itu tergolong parah dan kemungkinan untuk bertahan hidup sudah sangat kecil. Seluruh tubuhnya menguning dan sampai akhirnya mengalami koma selama lima hari.

Kesehatannya pun berangsur membaik. Pada halaman 23, buku ini menceritakan saat dr. Lo sembuh dari sakit. Ia mengatakan bahwa ini adalah mukjizat dari Tuhan. Ia juga berjanji setelah ini akan terus berbagi dan menebar manfaat sebagai rasa syukur karena nyawanya telah dikembalikan oleh Sang Pencipta.

Dalam menjalankan praktiknya, dr. Lo tidak pernah menetapkan tarif. Ia membebaskan pasiennya untuk membayar berapapun terhadap jasa pelayanan kesehatan yang ia berikan. Dari semua pasien yang dat. Di samping itu, ia juga mengelola dana sosial yang diperuntukkan kepada pasiennya yang membutuhkan. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka yang sakit dan tidak mampu membayar untuk tidak berobat.

Berbeda dengan apa yang terjadi belakangan ini, masyarakat miskin seakan-akan takut untuk berobat karena mahalnya biaya pengobatan. Salah satu fenomena yang dapat dijadikan contoh adalah seperti kasus yang terdapat dalam portal berita sindonews.com. Dalam berita tersebut diceritakan bahwa seorang pasien bernama Maya yang baru saja melahirkan bayi melalui operasi caecar tidak diperkenankan pulang oleh pihak rumah sakit. Alasannya karena keluarganya tidak bisa membayar biaya persalinan sebesar 6,5 juta rupiah.

Fenomena tersebut adalah salah satu contoh kejadian yang menggambarkan istilah “orang miskin dilarang sakit”. Akan tetapi, dr. Lo mampu mendobrak istilah tersebut dan membuat masyarakat tidak punya alasan lagi untuk tidak berobat karena adanya metode praktik pengobatan dan pengelolaan dana sosial yang dilakukan olehnya.

Buku ini menceritakan bahwa dr. Lo adalah dokter yang terkenal galak. Biasanya ia akan marah jika ada seorang ibu yang berdandan berlebihan saat mengantarkan anaknya yang sedang sakit. Uniknya beberapa pasien justru merindukan kemarahan dr. Lo.

Suatu ketika seorang bapak yang mengantarkan anaknya berobat pernah dengan sengaja membuat dr. Lo marah. Bapak tersebut merasa jika ia belum dimarahi oleh dr. Lo maka anaknya belum sembuh. Apa pun yang menyebabkan dr. Lo marah, pada dasarnya itu adalah wujud perhatian dan kecintaan beliau kepada pasien-pasiennya. Cerita tersebut juga menunjukkan kedekatan dr. Lo dengan pasiennya.

Realita saat ini memperlihatkan banyak dokter yang kurang memiliki rasa simpati kepada pasien yang datang untuk berobat. Belakangan ini sangat terlihat jarak antara dokter dan pasien. Biaya kuliah pendidikan dokter menjadi salah satu faktor yang membuat jarak itu semakin terlihat.

Andi Khomeini selaku Kepala Badan Data dan Informasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan pada wawancaranya dengan tirto.id, “Tingginya biaya kuliah pendidikan calon dokter membuat pendidikan dokter dinilai sebagai pendidikan untuk orang-orang berduit saja”.

Hal tersebut membuat banyak anak-anak dari kalangan ekonomi rendah yang mempunyai kompetensi sama, kesulitan untuk berkuliah di fakultas kedokteran. Kemudian dari sini masyarakat merasakan adanya jarak antara dokter dan pasien.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak mahasiswa yang harus mengeluarkan 200 sampai 500 juta rupiah untuk menjadi seorang dokter. Tidak adanya regulasi yang jelas dari  pemerintah terkait permasalahan biaya menjadi salah satu penyebabnya. Seolah biaya Pendidikan dokter menjadi tak dapat dibendung lagi oleh pemerintah. Imbasnya, terjadi komersialisasi jurusan kedokteran di berbagai universitas. Dokter yang seharusnya dekat dengan rakyat dan semua kalangan, saat ini seakan menjadi kalangan elite karena sudah terbentuk pandangan bahwa jurusan kedokteran hanya untuk kalangan berduit.

Dahulu biaya pendidikan dokter terbilang murah karena sebagian ditanggung oleh negara. Hal ini membuat para calon dokter benar-benar memiliki mentalitas untuk mengabdi bukan mentalitas “balik modal”. Keadaan serupa juga masih dirasakan oleh dr. Lo saat kuliah di jurusan kedokteran dengan biaya yang murah dan pada saat lulus ia langsung ditempatkan oleh pemerintah untuk mengabdi.

Melirik ke bagian barat Jawa. Dilansir dari situs resmi Universitas Padjadjaran (Unpad), sejak 2016 sudah memulai langkah yang baik dengan menggratiskan biaya perkuliahan jurusan kedokteran. Mahasiswa yang berminat berkuliah di sana harus siap memenuhi kesepakatan bersedia untuk ditempatkan di daerah-daerah di Jawa Barat setelah lulus.

Seharusnya kampus-kampus lain juga mampu untuk melakukan perubahan seperti yang dilakukan Unpad. Sehingga akan terbentuknya dokter-dokter yang dekat dengan pasiennya, bukan dokter yang berorientasi pada ekonomi dan mental “balik modal”.

Serial Laporan Khusus:

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya
Skip to content