Decitan suara mesin penghalus dan pemotong kayu bersahutan. Tampak para pekerja pembuat kapal cekatan menyelesaikan pesanan-pesanan kapal di Galangan Kapal Nuh Marine yang berlokasi disekitar Pantai Sigandu, Batang, Jawa Tengah. Galangan kapal tersebut telah beroperasi puluhan tahun yang lalu, dengan memenuhi pesanan dari domestik dan mancanegara.

Pekerja menutup celah-celah body kapal dengan menggunakan lem untuk menghindari kebocoran pada lambung kapal di Galangan Kapal Nuh Marine, Sigandu, Batang, Jawa Tengah, Minggu, (28/1/2018).

Tangan-tangan mereka cekatan membentuk kayu menjadi kapal jadi meskipun mereka bukanlah lulusan dari perguruan tinggi perkapalan. Insting mereka terasah setiap harinya. Bahkan menebak kepresisian sebuah kapal bisa mereka lakukan.

Kapal-kapal dari Galangan Kapal Nuh Marine ini banyak dipesan dari kepulauan Natuna, hingga Jepang. Pekerjaan membuat kapal diawali dengan memasan “Lunas” terlebih dahulu. Para pekerja pembuat kapal di Galangan Kapal Nuh Marine menyebut kayu balok panjang yang akan digunakan sebagai titik tumpu utama sebuah kapal dengan sebutan “lunas”.

Pekerja membersihkan tangan dari cat dengan menggunakan minyak disamping kapal GT 30 (30 Gross Ton) yang masih dalam tahap 20% pembuatannya di Galangan Kapal Nuh Marine, Sigandu, Batang, Jawa Tengah, Minggu (28/1/2018).

Lunas adalah point utama dari sebuah kapal. Dimana pengukuran presisi menjadi penting agar kapal tak miring ketika berlayar. Lunas ini juga menentukan berat kotor dari sebuah kapal. Pada galangan kapal ini semua dilakukan secara tradisional. Tidak ada cetakan yang dipakai untuk membentuk kayu menjadi body kapal.

Rumus atau patokan dasar dalam membangun kapal yang tertulis pada lunas kapal. Lunas adalah sebutan para pembuat kapal di Nuh Marine dalam menyebut Dasar Ganda Kapal. Lunas terbuat dari kayu yang juga menentukan besaran jenis kapal dan berat masa kapal. Hal itu ditentukan dari panjangnya lunas sebuah kapal.

Bagai gayung tak bersambut, akhir-akhir ini pekerja mengaku pesanan kapal lesu. Larangan penggunaan cantrang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Pengunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik itu berimbas kepada pesanan kapal-kapal besar atau kapal dengan berat lebih dari 30 Gross Ton (GT).

Karena dianggap merusak lingkungan laut. Beberapa kapal dengan ukuran 50 Gross Ton atau yang menurut aturan lebih dari 30 GT kini akhirnya mangkrak, batal dipesan atau yang sudah terlanjur dikerjakan lebih dari 30% ditunda pengerjaannya. Sebagian diteruskan sembari menunggu kebijakan baru mengenai alat tangkap ikan.

Pekerja membawa potongan-potongan kayu yang akan digunakan untuk membuat jalan ketika mendorong kapal ke sungai di Galangan Kapal Nuh Marine, Sigandu, Batang, Jawa Tengah, Minggu (28/1/ 2018).

Data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) menunjukan bahwa selama proses sosialiasi pada 2015-2016, pihaknya telah berhasil mendorong pengguna cantrang untuk mengganti dengan alat yang ramah lingkungan. Dari data yang ada, jumlahnya sudah mencapai 3.198 kapal berukuran kurang dari 10 GT dan 2.578 kapal berukuran 10 sampai 30 GT. Dengan alat tangkap cantrang yang sudah diganti sebanyak 2.091 unit.

Dengan munculnya kebijakan tersebut, pemesan kapal kemudian urung memesan kapal dengan Gross Ton besar. Hal itu dikarenakan belum jelasnya kebijakan mengenai regulasi finalnya. Meskipun pada akhirnya pemerintah secara resmi mencabut larangan penggunaan alat tangkap cantrang sampai waktu yang belum ditentukan dan untuk kapal dengan ukuran lebih dari 30 GT, KKP akan memfasilitasi SIPI dan Relokasi Daerah Penangkapan Ikan (DPI) baru melalui Gerai Perizinan.

Pekerja mengecat body kapal di Galangan Kapal Nuh Marine, Sigandu, Batang, Jawa Tengah, Minggu (28/1/2018).

Keputusan tersebut diambil setelah Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bertemu dengan para perwakilan nelayan. Kendati kembali diperbolehkan menggunakan cantrang, para nelayan tidak diizinkan menambah kapal dengan alat tangkap yang sebelumnya dianggap merusak lingkungan laut. Namun nelayan difasilitasi pinjaman bagi yang ingin membuat kapal baru dan beralih alat tangkap melalui kepala daerah setempat.

Pencabutan tersebut belum berimbas banyak  pada industry galangan kapal. Pengusaha harus menanggung rugi akibat pesanan kapal yang urung diselesaikan. Kerugian tersebut lebih kepada bahan baku, tenaga dan waktu. Satu kapal dengan jenis 30 GT diselesaikan dengan rentan waktu 5 bulan. Dengan harga antara 750 juta hingga 1 Milyar, tergantung jenis kayu yang dipakai.

Jika pembeli menginginkan di pending terlebih dahulu pengerjaannya, maka keuntungan belum didapat, karena rata-rata uang masuk ke pengusaha melalui beberapa termin. Sesuai dengan berapa persen pengerjaan kapal tersebut. Kini para pengusaha dan pekerja kapal berharap pada regulasi yang pasti mengenai alat tangkap sehingga bisa menguntungkan semua pihak.

Kapal-kapal bersandar di dermaga dekat dengan galangan kapal Nuh Marine, Sigandu, Batang, Jawa Tengah, Minggu 28 Januari 2018. Kapal-kapal tersebut adalah milik nelayan disekitar Pantai Sigandu. Selain bersandar, kapal-kapal tersebut beberapa juga ada yang menjalani masa perbaikan digalangan kapal.
Skip to content