FIAI Bukan Anak Tiri

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) merupakan gabungan dari dua fakultas, yaitu Fakultas Syariah dan Tarbiyah. Kedua fakultas tersebut merupakan embrio Fakultas Agama yang dibuka pada periode transisi, yaitu ketika terjadi perubahan nama dari Sekolah Tinggi Islam (STI) yang didirikan pada tanggal 8 Juli 1945 menjadi UII pada tanggal 27 Rajab 1367 H atau tanggal 10 Maret 1948 M.

Namun pada tahun 1950 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950, Fakultas Agama UII dinegerikan oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) sebagai penghargaan kepada umat Islam di Indonesia. Pada tahun 1961 berdasarkan SK Menteri Agama RI No.16 Tahun 1963 Fakultas Agama dibuka kembali oleh UII, yaitu Fakultas Syari‘ah dan Fakultas Tarbiyah, yang kemudian kedua fakultas tersebut memperoleh status DIAKUI pada program Sarjana Muda. Sedangkan status DISAMAKAN untuk program Sarjana baru sekaligus pemberian status tertinggi pertama bagi Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta di Indonesia, berdasarkan SK Menteri Agama RI Nomor 84 Tahun 1990 pada tanggal 26 Mei 1990.

Perkembangan berikutnya, Fakultas Tarbiyah dan Syariah digabung menjadi satu fakultas yaitu FIAI yang dalam bahasa Arabnya adalah Kulliyah al-Dirasat al-Islamiyah dan dalam bahasa Inggris adalah Faculty of Islamic Studies, berdasarkan Ketetapan Dewan Pengurus Badan Wakaf Ull Nomor VI/TAP/DP/1997 dan diberlakukan 1 April 1998 mulai kepengurusan fakultas priode 1998-2001. Penggabungan ini dimaksudkan agar pengelolaan studi-studi keislaman (kurikuler) serta penentuan kualifikasi dosennya di lingkungan UII menjadi tugas dan tanggung jawab FIAI.

Apabila dilihat dari sudut pandang sejarah, FIAI merupakan fakultas yang sudah lama ada di UII yang sebelumnya bernama STI. FIAI sendiri sudah beberapa kali berpindah tempat, FIAI sudah pernah menempati kampus di Cik Di Tiro, Sorowajan, Demangan dan sekarang di kampus terpadu dengan menempati sepertiga gedung FTI. Dari perpindahan-perpindahan tersebut, FIAI sampai saat ini belum mendapatkan gedung sendiri (rumah sendiri), artinya nanti FIAI harus pindah lagi. Hal ini menunjukan bahwa FIAI seakan-akan tidak dihargai keberadaannya dan memunculkan kesan bahwa UII meremehkan keberadaan FIAI.

Keinginan untuk memiliki sebuah gedung sangatlah lama terbersit dalam benak para mahasiswa FIAI. Itu merupakan suatu hal yang sangat wajar karena sudah seharusnya mahasiswa mendapatkan fasilitas yang mumpuni. Hal tersebut bertujuan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

Jumlah mahasiswa di FIAI setiap kelas mencapai 80-90 mahasiswa. Itu merupakan jumlah yang sangat tidak sesuai dengan peraturan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang mempersyaratkan ukuran umum ruang kelas dengan perbandingan 1:40. Hal itu menunjukan bahwa ruang kelas dan rasio dosen dengan mahasiswa di FIAI masih kurang dari standar minimal sebuah institusi atau perguruan tinggi. Di samping permasalahan tersebut, mahasiswa juga mengeluhkan soal kurangnya ruang untuk berdiskusi bagi mahasiswa FIAI. Itu disebabkan karena mahasiswa FIAI harus berbagi ruang dengan mahasiswa FTI yang mana itu masih sangat kurang.

Memang dalam hidup apa yang sudah merupakan hak kita tidak bisa diraih dengan sendirinya. Apa yang sudah merupakan hak kita masih wajib kita perjuangkan. Mahasiswa FIAI pun kini memperjuangkannya. Ini merupakan perkara penting dalam langkah perjuangan untuk menjemput keadilan dan memperoleh keadilan itu sendiri. Tan Malaka pernah berkata “Jangan pernah takut berkorban, tapi jangan berkorban dengan sia-sia, setiap darah yang kita teteskan harus sepadan dengan apa yang kita dapatkan.”

Selama ini dari segala tuntutan mahasiswa FIAI tidak pernah terpenuhi. Badan Wakaf (BW) hanya menyodorkan janji yang berujung penantian. BW UII sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di UII seolah tak mampu membendung besarnya keinginan para mahasiswa FIAI. Mungkinkah BW sebagai pemengang kekuasaan sudah kehilangan kekuasaannya?

Munculnya ide yang dinyatakan oleh BW bahwa FIAI akan dipindahkan ke gedung Fakultas Kedokteran seolah-olah menjadi angin segar. Ide tersebut menimbulkan pertanyaan. Namun, apakah ide itu lahir untuk menghentikan keinginan kita yang meminta untuk dibuatkan gedung atau kita memang dianggap sebagai anak tiri yang hanya menerima gedung bekas?

Tidak terpenuhinya tuntutan untuk dibuatkan gedung atau fasilitas-fasilitas yang mumpuni sangat bertentangan dengan Statuta Badan Wakaf BAB X tentang Sarana dan Prasarana Pendidikan Pasal 56 ayat 1. Pasal tersebut menyebutkan “Badan Wakaf menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka penyelenggaraan UII.” Ini merupakan inkonsistensi, yang mana konsep berbanding terbalik dengan realita yang ada.

Persoalan tersebut memberikan dampak negatif yang sangat besar khususnya kepada para mahasiswa FIAI karena akan menciptakan beban psikologis dan instabilitas dalam menjalankan proses akademis. Hal ini akan mengakibatkan mahasiswa FIAI merasa malu dengan fakultas yang lain dan akan berakibat melemahnya efektivitas akademis pada mahasiswa tersebut.

Mahasiswa FIAI sudah beberapa kali melakukan aksi yang ditujukan untuk mengawal ataupun mempertanyakan mengenai isu-isu gedung tersebut kepada Dekan, Rektorat, dan Yayasan Badan Wakaf. Tetapi malah ditemukan kurangnya koordinasi dari dekanat, rektorat maupun badan wakaf yang menyebabkan mandeknya proses perencanaan gedung ini dengan beberapa alasan. Memang, dalam proses perancangan pembangunan gedung FIAI banyak tahap-tahap yang harus dilakukan untuk memastikan apakah proses pembangunan tersebut memang layak untuk dilakukan. Jika memang gedung FIAI belum layak dibuatkan gedung baru, alasannya apa? Dan jika memang layak kapan proses pelaksanaannya.

Sangat penting diperhatikan paradigma mahasiswa FIAI atas tafsir keadilan dalam konteks memperjuangkan hak, tuntutan untuk mendapatkan fasilitas yang layak justru terkesan mahasiswa FIAI sebagai anak tiri. Faktanya, dari segala tuntutan mahasiswa FIAI selama ini BW tidak sungguh-sungguh merespon dan menangani akar masalah yang sedang dihadapi mahasiswa FIAI itu sendiri.

Jika biaya kuliah dan jumlah mahasiswa menjadi sebuah alasan tidak dibangunnya gedung FIAI, alasan tersebut merupakan alasan yang subjektif. Karena persentase pendapatan keuangan FIAI sangatlah tinggi dalam kurun waktu yang sangat lama. Sejak berdirinya FIAI sampai sekarang jumlah mahasiswa semakin tahun semakin banyak.

Tertera dalam misi Badan Wakaf bahwa “Menyelenggarakan pendidikan yang mampu memandu mengantarkan umat memenuhi fitrahnya sebagai Khairu Ummah (umat unggulan) yang dapat memerankan kepeloporan kemajuan dan perubahan sosial ke arah masyarakat madani.” Hal tersebut akan tercapai jika para mahasiswa mendapatkan fasilitas-fasilitas yang layak sehingga dapat dijadikan sebagai media bagi mahasiswa dalam proses akademis, supaya tidak terbengkalai dan akan berjalan dengan efektif dan efesien, maka dari itu akan tercipta mahasiswa yang memiliki integritas.

Pengelolaan kebijakan dan regulasi oleh BW sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi di perguruan tinggi seharusnya lebih memprioritaskan mahasiswa demi cita-cita kemajuan dalam naungan kelembagaan, kebijakan dan regulasi tersebut harus diimplementasikan ke realitas bukan hanya sekedar dijadikan sebagai konsep belaka. Oleh karena itu dari segala tuntutan mahasiswa dalam memperjuangkan hak asasinya sebagai mahasiswa pasti akan tercapai.

 

(Ahmad Sarjun – Mahasiswa Ekonomi Islam 201/Anggota Magang LPM HIMMAH UII)

Skip to content