Dalam Cengkraman Industri Kelapa Sawit

Judul        : Asimetris

Produksi    : Watchdoc, Ekspedisi Indonesia Biru

Durasi        : 68 menit

Produser    : Indra Jati, Dhandy Laksono

Kebakaran lahan dan hutan di Sumatra dan Kalimantan yang menyebabkan kabut asap berkepanjangan sempat menjadi isu nasional pada tahun 2015. Namun, isu ini meredup seiring munculnya isu-isu baru yang seolah lebih penting untuk diperdebatkan di jagat maya.

Film Asimetris yang baru dirilis bulan Maret kemarin mengangkat tema kebakaran lahan dan hutan serta hubungannya dengan ekspansi industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Seperti Jakarta Unfair, The Mahuzes, Samin Vs Semen, dan film-film produksi Watchdoc lainnya, Asimetris memberi suara lebih banyak untuk masyarakat. Tentu dalam hal ini masyarakat terdampak proyek ekspansi industri perkebunan kelapa sawit.

Tidak ada rekaman secara langsung narasumber dari pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit. Suara dari Pemerintah Indonesia diambil dari rekaman-rekaman media lain. Namun, film ini menampilkan banyak data jumlah lahan, kalkulasi, dan hasil riset tentang seluk beluk industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dari hulu sampai ke hilir. Dari proses penanaman modal, pembebasan lahan, hasil produksi, proses ekspor, sampai kepemilikan perusahaan.

Bisnis Industri Kelapa Sawit

Bank dunia mengucurkan dana mencapai 17 miliar USD atau 170 triliun rupiah dalam lima tahun terakhir untuk modal industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dari sini kita tahu, bisnis minyak kelapa sawit merupakan bisnis global.

Permintaan pasar internasional, bertambahnya populasi masyarakat dunia, dan ketergantungan akan kelapa sawit membutuhkan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang lebih besar. Hal ini pula yang membuat setiap lima tahun sekali lahan perkebunan kelapa sawit bertambah seluas pulau bali. Salah satu negara yang menjadi incaran pembukaan lahan kelapa sawit adalah Indonesia.

Kelapa sawit menjadi andalan sub-sektor perekonomian Indonesia. Tahun 2016 nilai ekspor kelapa sawit mentah (CPO) Indonesia mencapai 25,7 juta ton atau senilai 249 triliun rupiah. 80 persen CPO di perdagangan internasional berasal dari Indonesia yang membuat negara ini merupakan penghasil minyak terbesar di dunia

Di Indonesia terdapat perkebunan kelapa sawit seluas 11 juta hektar. Namun, separuh dari lahan perkebunan kelapa sawit tersebut hanya dimiliki 25 perusahaan dimana mengendalikan sekitar lima juta hektar lahan atau separuh pulau jawa. Riset majalah Forbes pada tahun 2016 menampilkan data bahwa 14 dari 30 orang terkaya di Indonesia memiliki bisnis di industri kelapa sawit.

Lalu, apa hubungan kebakaran lahan dan industri perkebunan kelapa sawit?

Menurut bank dunia, tiga perempat juta hektar atau 30 persen areal yg terbakar berada di wilayah konsesi kelapa sawit dan konsesi hutan. Sisanya di wilayah pertanian, hutan alam, hutan rawa, perkebunan, pertambangan dan kawasan lainnya. Menurut CIFOR, 11 lokasi kebakaran di Riau berkaitan secara ekonomi antara industri perkebunan kelapa sawit dan kebakaran.

Pembakaran untuk pembebasan dan pembersihan lahan menghasilkan arus 3000 dollar USD atau 36 juta per hektar dalam tiga tahun. Jika setiap lahan yang terbakar digunakan untuk perkebunan kelap sawit pada tahun 2015 nilainya mencapai delapan miliar dollar USD atau setara 104 triliun rupiah.

Pada sisi lain biaya ekonomi akibat kebakaran lahan sepanjang 2015 mencapai 221 triliun rupiah. Nilai tersebut tak sebanding dari nilai produksi kelapa sawit yang hanya 158 triliun rupiah

Badan Penanggulangan Bencana memperkirakan terdapat 3200 titik lokasi api yang mencakup 2,6 juta lahan dan hutan yang terbakar antara Juni sampai Oktober 2015. Luas lahan yang terbakar setara empat kali Pulau Bali. Sekitar 69 juta orang merasakan asap. 52 persen lahan yang terbakar merupakan area gambut sehingga api tak mudah dijinakkan.

Pada 20 oktober 2015, kadar polusi di Palangkaraya  mencapai 1300 persen di atas rata-rata kualitas udara sehat bagi manusia. Terdapat 19 orang meninggal dan setengah juta orang mengalami infeksi saluran pernapasan akibat kabut yang dihasilkan dari pembakaran lahan dan hutan di wilayah Kalimantan dan Sumatra.

Pada tahun yang sama, dunia internasional hanya tertuju pada kabut asap yang mengganggu penerbangan yang melintas di Malaysia dan Singapura karena kebakaran lahan di Jambi dan Sumatra.

Nazir Fuad, yang pada januari 2016 dilantik oleh Jokowi menjadi kepala Badan Restorasi Gambut untuk mencegah kebakaran lebih lanjut menemukan fakta yang mengejutkan. Saat mengecek lokasi kebakaran lahan di daerah Sumatra, Nazir dicegat oleh Kopassus yang ditugaskan pihak perusahaan. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan negara di depan perusahaan. Aparat keamanan seperti kopassus yang seharusnya mengabdi kepada masyarakat dan negara menunjukkan kedilematikanya.

Tak hanya pembakaran lahan dan hutan menyebabkan kabut asap yang merugikan masyarakat. Industri perkebunan kelapa sawit juga kian bersengketa dengan masyarakat sekitar saat proses pembebasan lahan.

Pada film ini ditampilkan cuplikan-cuplikan berita sengketa lahan dan demo petani dengan perusahaan kelapa sawit dari berbagai media berita nasional. Sengketa lahan tersebut hampir terjadi di seluruh Indonesia. Dari Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, sampai Sulawesi barat. Sepanjang 2017 tercatat terdapat 659 konflik agraria dan sepertiga konflik terjadi di lahan yang melibatkan industri kelapa sawit.

Masyarakat Terdampak

Salah satu masyarakat yang pernah merasakan akibat dari sengketa lahan adalah Wardian. Wardian berasal dari Desa Sembulun, Seruyan, Kalimantan Tengah dimana mayoritas warganya menggantungkan diri pada industri sawit.

Wardian mendekam di penjara selama enam bulan pada tahun 2010 karena dituduh mencuri kelapa sawit dari lahan milik perusahaan. Padahal Wardian mengaku bahwa itu adalah lahannya yang dicaplok pihak perusahaan. Wardian juga sempat mengirim surat ke perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang menimpa lahannya. Tak ada balasan dari pihak perusahaan yang akhirnya membuat Wardian terus mengambil kelapa sawit dari lahan yang bersengketa.

Kisah Wardian menjadi peringatan bagi petani kelapa sawit lainnya. Syahruni yang memiliki 50 hektar perkebunan kelapa sawit juga pernah merasakan bagaimana pernah didatangi pihak perusahaan untuk membeli lahannya namun tidak jadi dan tidak sampai terjadi sengketa.

Syahruni mengelola pekebunan kelapa sawit secara mandiri. Keuntungan yang didapat Syahruni selama sebulan mencapai 15 juta dengan keuntungan bersih sebesar tiga juta rupiah. Menurut Syahruni perawatan sawit membutuhkan biaya tinggi. 80 persen biaya produksi habis untuk perawatan dan pemupukan.

Masih menurut Syahruni, petani kelapa sawit yang hanya memiliki lahan satu sampai empat hektar tidak bakal mampu mendapat keuntungan karena tidak menutupi modal pengelolaan kelapa sawit.

Hal tersebut yang dirasakan Sidik, petani kelapa sawit asal Jambi. Menurut Sidik, satu hektar perkebunan kelapa sawitnya hanya memanen empat sampai lima kuintal kelapa sawit. Biasanya Sidik memanen kelapa sawit dua kali dalam sebulan. Saat buah kelapa sawitnya jelek dihargai 400 rupiah per kilo sehingga jika empat kuintal hanya mendapat 80 ribu.

Nilai tersebut bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan biaya sehari-hari Sidik dan keluarganya yang jika dikalkulasikan membutuhkan kira-kira 100 ribu. Padahal di Indonesia 45 persen pengelolaan kelapa sawit dilakukan oleh petani kecil yang menghidupi 16 juta jiwa.

Mulyanto, petani mandiri yang juga asal Jambi memasok kelapa sawit ke beberapa perusahaan yang terstandar internasional yang harus mematuhi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Saat ditanya tentang RSPO, Mulyanto tidak mengetahui sama sekali dan bahkan baru mendengarnya.

RSPO adalah sistem yang menjamin bahwa produk kelapa sawit yang dijual di pasar internasional tidak merusak lingkungan, tidak melanggar hak asasi manusia, memperlakukan pekerjanya dengan baik atau tidak terlibat konflik dengan masyarakat. Salah satu prinsipnya hanya mengambil sawit dari kebun yang terstandarisasi.

Menurut catatan parlemen Uni Eropa, dari 60 persen perusahaan kelapa sawit yang berkomitmen dengan RSPO, hanya dua persen yang dapat ditelusuri hingga sumber produksinya. Pada praktiknya, di Indonesia masih banyak perusahaan yang berstandar internasional melanggar RSPO. Misalnya, menerima kelapa sawit dari perkebunan yang tidak terstandar, terdapat petani anak di bawah umur, perlakuan buruk terhadap pekerjanya, dan pembuangan limbah yang merusak lingkungan.

Seorang buruh perempuan (disamarkan dalam film) sudah bekerja selama tujuh tahun bekerja di PT Selodong Mas yang beroperasi di Sembuluh, Kalimantan Tengah. Sampai saat ini statusnya masih karyawan harian lepas yang artinya tidak mendapat tunjangan beras, jaminan kesehatan, dan hak cuti.

“Jam dua pagi bangun, jam tiga berangkat pakai truk ke pabrik dan pulang jam dua sampai rumah jam setengah tiga,” ia menjelaskan waktu kerjanya. Setiap hari ia harus memanen tiga hektare lahan, memupuk 12 sak pupuk, dan menebas dahan seluas satu hektare. Jika pekerjaan itu tak selesai dalam satu hari, mandor akan memotong upahnya. “Kan gaji seharusnya 99 ribu, tapi dikasih cuma 25 atau 30 ribu,” ucap si narasumber.

Adapun dampak lingkungan dari industri kelapa sawit dirasakan masyarakat Kabupaten Paminggiran di hulu sungai utara, Kalimantan Selatan. Limbah industri kelapa sawit yang dibuang di aliran sungai sekitar perkampungan mematikan populasi Ikan Papuyuh yang merupakan salah satu sumber makanan masyarakat.

Selain menampilkan masyarakat terdampak, Asimetris juga menampilkan masyarakat yang masih mempertahankan lahan dan hutannya serta tidak menggantungkan kehidupan ekonominya hanya dengan kelapa sawit.

Di Ketapang, Kalimantan terdapat koperasi Gemalaq Kelisiq yang sudah berdiri sejak 1990. Koperasi yang memilki 15000 anggota ini tidak memberikan pinjaman kepada anggota yang hendak melakukan usaha di bidang kelapa sawit.

“Sawit selain tanaman yang monokultur, juga sistem monopoli yang dikuasai pemodal besar. Di bidang lingkungan juga merusak dimana sumber air di dekatnya kering tapi saat musim hujan akan segera banjir, dampaknya sangat luas terhadap masyarakat,” ucap Muliadi Bidau selaku ketua koperasi.

Regenius Maladi, masyarakat Desa Kubung, Kalimantan Tengah juga mengamini bahwa dalam masyarakatnya tertanam bahwa hutan yang lestari sudah cukup dibanding punya uang namun hutan habis digunakan untuk lahan perkebunan kelapa sawit.

Sedangkan Masyarakat Pasar Terusan di Batanghari, Jambi masih mempertahankan menanam padi. Mereka memiliki tiga prinsip: ada padi serba menjadi, ada ternak serba enak, dan ada parah (karet) serba murah. Ada peraturan desa yang tak membolehkan alih fungsi lahan pertanian ke sawit atau tanaman keras lainnya

Akhir film menampilkan wawancara cerita masyarakat Dayak di Kalimantan yang membakar lahan sebelum musim tanam. Pembakaran lahan tersebut dilakukan secara gotong royong, memperhitungkan arah mata angin, dan melalui proses yang tidak sampai merusak alam di sekitarnya.

“Gotong royong membersihkan, menjaga api agar tidak merambat keluar. Membakar juga gotong royong. Membakar dengan melihat arah mata angin. Makanya dari dulu tidak pernah ada kebakaran hutan, orang tua dulu itu tahu,” ucap salah satu masyarakat Dayak.

Penutup

Film Asimetris menyoroti keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang berada di sekitar industri perkebunan kelapa sawit. Film berdurasi 68 menit ini juga menunjukkan bahwa komoditas yang menjadi andalan ekspor negara ini tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Tidak linear. Tidak simetris.

Pemaksaan proyek pembebasan lahan untuk kelapa sawit melalui proses yang tidak memperhatikan lingkungan, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan mengabaikan komoditas lain yang sebenarnya bisa dimanfaatkan serta memiliki fungsi yang sama. Contohnya masyarakat Boti di Nusa Tenggara Timur yang memanfaatkan kelapa untuk minyak goreng dan minyak rambut. Selain itu, ada suku Baduy yang memanfaatkan daun cicaang dan honje menjadi sampo dan sabun.

Usai menonton bareng dan berdiskusi film Asimetris yang diselenggarakan Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (FKPM UII) pada Sabtu, 7 April kemarin, saya teringat juga film Before The Flood yang diproduksi National Geographic.

Pada satu bagian, film dokumenter yang dipandu oleh Leonardo Di Caprio mengunjungi Sumatra dan melihat fenomena kebakaran lahan. Di Caprio melihat akibat kebakaran ini membuat semakin langkanya flora dan fauna di Indonesia. Panas karbon yang dihasilkan kebakaran hutan selama tahun 2015 di Indonesia sebanding dengan karbon yang dihasilkan oleh seluruh industri perekonomian Amerika Serikat. Pengalihfungsian lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit juga membuat dunia semakin kehilangan tiga area terbesar hutan hujan yang memproduksi banyak oksigen.

Dua film ini menjelaskan bahwa sistem kapitalisme global terhadap industri perkebunan kelapa sawit hanya menguntungkan segelintir orang dan dilakukan dengan berbagai cara. Tanpa memperhitungkan kesejahteraan masyarakat sekitar apalagi flora dan fauna serta keberlangsungan alam lingkungan.

Skip to content