Plagiarisme, Budaya Mempermalas Diri

Banyak istilah-istilah yang menjadi sinonim dari plagiarisme seperti plagiat, copy paste, penjiplakan atau peniruan. Tindakan tersebut masih sering dilakukan di kalangan anak muda terutama mahasiswa saat ini. Hanya saja kebanyakan orang menganggapnya sepele, bahkan menjadi budaya di kalangan intelektual. Budaya ini bisa dibilang budaya mempermalas diri. Bukan hanya dalam konteks pencarian data, tetapi juga dalam pembentukan karya. Terutama bagi mereka yang mengakui tindakan peniruan sebuah karya sebagai prestasi diri.

Mengutip dari The College of Humanities, San Fransisco State University, plagiarisme tak hanya menampilkan secara keliru karya orang lain sebagai karyanya sendiri. Tetapi juga bentuk pembiaran orang lain untuk menuliskan ataupun mengubah karya orang lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Lihat, membiarkan orang lain saja kita juga turut mendukung perbuatan tercela tersebut.

Dalam pembuatan suatu karya, sudah sewajarnya kita mencari referensi dari penelitian orang lain karena itu akan mempermudah pembuatannya. Kita tidak perlu menghabiskan banyak waktu dan dana  hanya untuk melakukan penelitian yang sudah dilakukan oleh orang lain. Dilihat dari proses dan hasilnya, sudah bisa dinilai apakah cukup mendukung untuk dipilih menjadi referensi atau malah tidak cocok. Tindakan mereferensi adalah perbuatan yang menghargai, menyanjung, dan menghormati mereka yang membuat karya. Kita sebagai penikmat karya mereka akan mencantumkan nama dan karya mereka di dalam karya kita.

Lain halnya dengan referensi, tindakan plagiat yang secara nyata saya rasakan adalah perbuatan yang tidak menyenangkan. Meskipun dalam struktur kata ataupun metode yang digunakan itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terlihat berbeda. Namun, jika inti penelitian yang dilakukan adalah sama dan hasil penelitian sama, bisa saya simpulkan bahwa plagiat adalah perbuatan orang-orang licik. Kreativitas dan inovasi bukan kepada penelitian melainkan untuk melakukan tipuan dengan akurasi tinggi.

Disadur dari http://www.plagiarisme.org, plagiarisme dibedakan menjadi 2 jenis. Pertama, sumber tidak dikutip dalam proses pembuatan karya. Contohnya menyalin keseluruhan, menyalin sebagian besar,  menyalin dari berbagai sumber dan menyamarkannya menjadi karyanya, dan lain-lain. Jenis plagiarisme seperti ini disebut licik. Meskipun ia miskin dalam ide, ia sangat pintar untuk melakukan penipuan. Seperti bunglon yang berkamuflase dengan lingkungannya agar tidak terlihat rupanya. Mereka melakukan kamuflase pada karyanya sehingga tidak terlihat meniru karya lain.

Kedua, sumber yang dikutip. Contohnya adalah sumber dikutip  dengan tidak jelas dan akurat sehingga sumber sulit dilacak. Jenis kedua ini memungkinkan bahwa kesalahan terletak pada pembuat karya. Bisa jadi tidak mengerti cara melakukan referensi dan sitasi yang baik, kelupaan, dan lain-lain. Contoh lainnya yaitu The Perfect Crime. Penulis mengutip dengan benar dari beberapa tempat, namun pada beberapa tempat yang lain melakukan parafrase argumen lain tanpa kutipan yang benar sehingga itu benar-benar ide dari sang pelaku tersebut.

Mengapa hal ini terjadi? Karena memang pelaku plagiarisme miskin gagasan dan tidak kreatif. Sehingga dengan kemudahan internet, pelaku selalu mencari jalan singkat untuk menyelesaikan tugasnya. Budaya seperti inilah yang disebut budaya kemalasan. Budaya ini terbentuk dari orang-orang yang tidak berkompeten seperti yang disebutkan diatas.

Salah satu kasusnya adalah Karl-Theodor zu Guttenberg, seorang yang mundur dari Menteri Pertahanan Jerman setelah dilanda skandal plagiarisme. Universitas Bayreuth mencabut Guttenberg dari gelar doktornya setelah ia (Guttenberg-red) mengakui tidak sengaja menyalin dari sumber lain. Guttenberg mendapat gelar doktor pada tahun 2007 dan harus dilepas kembali pada Februari 2011. Menariknya, ia telah menjabat menjadi menteri pertahanan. Namun akibat dari suatu kesalahan di masa lalu menyebabkan ia mundur dari jabatannya.

Universitas Islam Indonesia (UII) sudah memulai bergerak cepat untuk mencegah perbuatan plagiarisme. Salah satunya adalah mahasiswa harus mengecek tugas akhir dengan mengunggah karya akhirnya ke Repository UII. Tujuannya adalah mencegah tindakan plagiarisme sehingga tidak ada hasil plagiat yang masuk ke repository UII. Mahasiswa UII harus benar-benar bekerja keras untuk menghasilkan karya yang bermutu. Tidak seenaknya menjiplak hasil karya orang lain.

Kita sebagai mahasiswa seharusnya mengerti apa itu plagiarisme karena kita adalah kaum intelektual, kaum terpelajar yang harusnya kreatif dan pintar. Sebagai mahasiswa, akan ada karya yang akan kita buat salah satunya tugas akhir. Kita tidak bisa sembarangan  dalam membuatnya. Nalar, inovasi, dan kemauan harusnya ada dalam diri mahasiswa. Selain untuk diri sendiri, harusnya juga memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas perbuatannya. Intinya, perbuatan plagiarisme harus dihindari.

Menghindari perbuatan plagiat seharusnya dimulai dari diri sendiri. Kita harus meneguhkan kepada hati untuk bekerja keras. Tidak ada hal yang enteng dalam pembuatan suatu karya. Kerjakan dengan hati yang ikhlas dan bergantunglah kepada mereka yang satu tim denganmu atau dirimu sendiri. Segera buang kebudayaan malas itu karena akan membuatmu bergantung kepada orang lain yang akan memicu perbuatan curang terjadi. Pahamilah cara untuk referensi dan sitasi dan gunakan untuk karyamu. Pahamilah jenis-jenis perbuatan tindakan plagiarisme sampai detail dan pastikan kamu tidak melakukannya.

Melewati cobaan, rintangan atau tantangan akan membuatmu berkembang menjadi lebih hebat. Melakukan kecurangan mungkin akan menaikkan derajatmu di mata orang lain, tetapi sebenarnya kamu sekali tidak berkembang dan dirimu akan terbohongi dengan kecurangan mu.

(T. Irfan Megat W. – Mahasiswa Teknik Informatika UII Angkatan 2015/Redaktur Penelitian dan Pustaka LPM HIMMAH UII)

 

 

Skip to content