Pantai dan Kampanye

Angin pantai kemarin masih sepoi-sepoi seperti biasanya, langit tetap cerah sewajarnya musim panas. Tapi orang-orang yang berkumpul di pantai kemarin bukan hendak mencari angin segar ataupun pencerahan, karena hari itu di pantai sedang diadakan perhelatan tahunan. Bukan pertunjukan musik tropical house dengan penonton yang berjoget ria di pinggir pantai, namun perhelatan itu adalah Kampanye Pemilihan Wakil Mahasiswa (Pemilwa) UII yang diadakan setiap tahun. Pemilwa kok setiap tahun, seperti acara musik saja.

Kampanye kok di pantai? Pantai mana yang mengadakan kampanye? Peserta dan penontonnya mahasiswa lagi. Di pantai biasanya kita menyaksikan senja dengan matahari terbenam (golden sunset) atau indahnya matahari terbit (sunrise). Tapi bisa juga kalau hanya sekedar mau “cuci mata” melihat-lihat pemandangan adik-adik mahasiswa baru (maba) yang cantik-cantik dan imut-imut, juga yang ganteng dan keren-keren yang selalu mengikuti perkembangan tren mode. Karena di pantai juga menjadi ajang unjuk penampilan. Kalau anda semakin bingung pantai mana yang dimaksud, itu adalah “pantai” di Fakultas Ekonomi yang setiap tahun menjadi titik tempat berlangsungnya kampanye pemilwa.

Wajah-wajah baru selalu menghiasi baliho kampanye meskipun ada juga wajah lama yang menghiasinya. Di era teknologi sekarang ini bahkan wajah-wajah yang sebelumnya tidak pernah terlihat, belakangan hadir seakan menghantui di lini masa sosial media kita. Dengan sedikit polesan di wajah berupa senyum yang dibuat seolah-olah manis, tak lupa kepal tangan yang tak boleh terlupakan seolah-olah menggambarkan perjuangan dan semangatnya. Kesemuanya ditata dengan menambahkan visi dan misi beserta moto yang sengaja dipilih agar menarik orang untuk memilihnya. “Pilih nomor…terbukti hebatnya!” Kalau memang benar hebat tanpa perlu meminta, orang juga dengan senang hati akan memilihnya. Orang hebat tidak lagi direpotkan dengan urusan pengakuan seperti itu.

Calon legislatif (caleg) baru tentu saja ingin mencoba peruntungan di pemilwa kali ini, untuk pemain lama sudah tentu kita tahu yang diinginkannya, tidak lain dan tidak bukan untuk menduduki kasta tertinggi. Kasta di tingkat fakultas merupakan batu loncatan untuk mencapai kasta tertinggi di tingkat universitas. Boleh-boleh saja mengatasnamakan kepentingan mahasiswa untuk meraih kasta tertinggi. Tetapi kalau mengatasnamakan kepentingan mahasiswa lalu ternyata mendahulukan kepentingan golongannya sendiri, tim sukses, atau organisasi yang menaunginya, itu berarti membohongi publik bahkan pembodohan.

Bagi para maba, ini merupakan hal yang baru, namun untuk mahasiswa tua ini tidaklah demikian. Kalimat “optimalisasi peran dan fungsi lembaga…” mungkin saja merupakan bendahara kalimat baru bagi mereka yang maba, wajar saja kalau mereka akan langsung menitipkan harapannya kepada caleg itu. Namun, oleh karena mahasiswa tua, telinga mereka bukan berarti lebih peka ketika mendengar kalimat itu, hanya saja telinga mereka seperti layaknya selang yang dialiri air. Tahun yang sudah-sudah kalimat itu tak pernah absen menghiasi baliho, pamflet, spanduk, dan poster para caleg tersebut. Pada kenyataannya air itu tidak membasahi semua mahasiswa yang diatasnamakannya pada saat kampanye berlangsung. Atau mungkin telinga kita tidak peka ketika mereka mengatakan “…perjuangan saya ini dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa…yang mendukung saya saja”. Jadi kalau saya dan anda tidak mendukungnya, ya jangan harap merasakan hasilnya.

Dikecewakan, dinomor duakan, disingkirkan, tidak dianggap, atau lain sebagainya setelah pemilwa berlalu merupakan hal yang biasa terjadi. Karena caleg yang kita pilih biasanya tidak benar-benar caleg yang saya dan anda inginkan. Bisa saja sebenarnya saya dan anda punya kandidat lain yang dianggap lebih kompeten, namun tidak bisa dipilih karena aturan pemilwa tidak membolehkan untuk memilih caleg yang tidak mengajukan diri. Misalnya seorang teman anda berkompeten untuk menjadi wakil mahasiswa namun tidak mencalonkan diri, padahal dia diminta langsung dan diusung oleh mahasiswa lainnya untuk menjadi wakil. Tetap saja dia tidak akan bisa dipilih karena dianggap melanggar aturan pemilwa.

Jika saya dan anda boleh melakukan demikian, maka pemilwa itu bisa menjadi jalan untuk mencari wakil mahasiswa. Tujuan akhir dari rangkaian proses ini tentu tertampung dan terealisasinya aspirasi dari semua mahasiswa tanpa terkecuali. Kalau ini boleh disebut solusi maka ini hanyalah satu solusi dari sekian banyak solusi yang ada.

Semua orang yang hadir di pantai itu kemarin merasakan hembusan angin yang sepoi tanpa beda antara caleg dan hadirin. Langitnya biru cerah dengan awan putih yang bersih, matahari bersinar tanpa membedakan ini caleg dari internal sedangkan itu caleg dari eksternal, lalu itu tim sukses dari caleg internal sedangkan itu tim sukses dari caleg eksternal. Siang itu kami semua ternyata sedang ditunjukkan dan diperlihatkan contoh dari perwakilan atas kuasa-Nya melalui angin, langit, awan, dan matahari agar kami sama-sama belajar menjadi “wakil” yang kehadirannya seperti angin, langit, awan, dan matahari.

(A. Gunawan – Mahasiswa Ilmu Ekonomi 2013 )

Berita sebelumnya
Berita Selanjutnya

Podcast

Skip to content