Dilema Marsinah: Kuliah, Karir, Nikah, atau Bisnis

“Fokus saja dulu, jangan mulai bisnis, jangan mikir tentang pernikahan, jangan mikir tentang organisasi, jangan mikir tentang hobi hingga berlebihan. Belajar hingga lulus, baru kemudian lanjut kerja. Untuk sekarang, jangan berpikir yang lain-lain dulu. Fokus saja lah.”

Telepon Marsinah terputus. Salam penutup diucap olehnya, tatkala paman Mulyo hendak undur pamit dari komunikasi antar kota itu. Marsinah, sebagai gadis berusia 18 tahun, bermuka datar; tak tahu harus bicara apa. Ia berpikir, O ya sudahlah, dengan harap-harap tidak ada apapun lagi di hidupnya. Ia hanya ingin dirinya diam saja; menghampakan diri. 

Sejenak, Marsinah yang yatim piatu itu merasa sadar, bahwa paman Mulyo berhak-berhak saja untuk menentukan garis hidupnya. Jelas, paman Mulyo-lah yang membiayai seluruh kehidupannya. Tiap paruh waktu, kiriman uang ditransfer dari paman Mulyo. 

“Tidak sepantasnya aku macam-macam selama perkuliahan ini. Toh, aku di sini hanya diamanahkan untuk kuliah saja. Paman Mulyo tidak membiayaiku untuk aktif di lembaga, dan bukan juga urusan bikin usaha. Apalagi soal nikah? Hah, betapa bodohnya diriku.”

Marsinah, seorang mahasiswi ilmu ekonomi, memang baru saja cerita kepada paman Mulyo tentang Setyo. Terkata, Setyo berjanji mau menikahinya. Marsinah, dengan hati riang namun sedikit terheran pun langsung kabari paman Mulyo. “Waduh, kamu ini. Kok bisa sampai dijanjikan begitu sama Setyo? Anak mana dia, sampai sembarang menjanjikan begitu? Permasalahan kalian apa, kok sampai dia begitu dan kamu mau aja dijanjiin sama anak itu?” 

Bingung, Marsinah pun menjawab, “Paman Mulyo, Setyo itu laki-laki baik. Setyo berkali-kali bantu Marsinah. Waktu Marsinah mau restock barang jualan Marsinah, Setyo sempet menawarkan jasa bawa barang-barangnya ke tempat Marsinah. Paman Mulyo nda usah khawatir, dia itu lelaki baik.” 

“Loh, kamu masih jualan kerajinan itu? Kan paman udah bilang kamu harus fokus saja kuliah, tidak usah mikir cari duit dulu. Nanti pikiran kamu terbagi, kamu gak bisa fokus lagi. Sudah, hentikan saja bisnismu itu, urusan duit biar paman saja yang carikan. Tugas kamu hanya kuliah, bukan untuk cari duit sekarang.”

Marsinah, sebagai gadis yang penurut namun tidak begitu penurut secara totalitas, akhirnya jatuh sebagai pendengar saja. Kodratnya yang cenderung tidak ingin meninggi, menjadikan Marsinah melihat bahwa dirinya tengah di lubang kesalahan. “Baiklah, Paman. Marsinah nda akan gitu-gitu lagi sama Setyo, dan nda jualan lagi. Marsinah janji. Insyaallah.”

Karir, menjadi mata hidup yang besar bagi paman Mulyo. Sudah terkenal, paman Mulyo selalu bilang untuk cari uang yang banyak, capai jenjang tinggi-tinggi. Nasionalis telah menjadi darah paman Mulyo, sehingga pemikirannya ialah tentang bagaimana berkontribusi kepada negara. 

Patriotismenya menjadikan paman Mulyo rela menggelontorkan dana kepada seluruh sanak pengasuhannya, asalkan itu ada manfaat bagi sesama. Seng penting awak dewe ora kesulitan lan tetep iso bantu liyane, demikianlah ucap paman Mulyo. Jiwa sucinya yang ingin membantu sesama, telah mengalirkan akar kuat di hatinya, bahwa: jika nyawa pun bisa dijual, maka biarlah negara dan bangsa yang membelinya!

Ya, nasionalisme! Itu penyebab segala larangan paman Mulyo kepada Marsinah. Ia ingin anak dari saudaranya itu bisa memberikan effort besar kepada Marsinah sendiri, kepada masyarakat, kepada negara, dan juga kepada bangsa. 

Ia hanya ingin Marsinah menjadi orang besar yang ternama, yang dikenal berbagai orang. Ia hanya ingin kebaikan bagi Marsinah. Tidak mungkin dirinya bermaksud jahat kepada Marsinah. O, benar-benar, tidak mungkin ia bermaksud jahat kepada Marsinah!

Marsinah pun yakin, bahwa paman Mulyo adalah keluarga yang murni mengurusnya untuk kebaikan Marsinah sendiri. Paman Mulyo bukan seorang pemeras yang menyekolahkan dirinya, demi untuk untungi paman Mulyo pribadi. 

Maka, jika pun apa yang dikatakan paman Mulyo tidak logis dan tidak sesuai dengan ilmu, tiada kata lain bisa terucap, melainkan: ya pokoknya paman Mulyo inginkan yang terbaik untuk diri Marsinah!

Bahkan, jika ambisi S1 itu belum mencukupi, biarlah Marsinah ambil S2, lagi-lagi juga S3. Kejar gelar profesor jika bisa. Intinya, semakin banyak Marsinah bisa berkarya bagi negeri, sedemikianlah dirinya menjadi manusia seutuhnya. Marsinah masihlah muda, tidak patut kepandaiannya disia-siakan untuk sekadar bisnis, apalagi hanya nikah; berkeluarga dan beranak-pinak saja. 

Dalam dunia yang saling bermulia diri untuk memberi kontribusi bagi negeri, Marsinah diminta untuk mencicipi kesenangan berupa dua hal saja: (1) have fun di destinasi wisata internasional; (2) take pride saat di podium penerimaan award

Tiada lagi, tidak ada opsi selain itu. Maka, bila kita mau kunjungi kamar Marsinah, akan ternampak bahwa kerlap-kerlip kamarnya sangat megah, ada hiasan monumen Eiffel, ada foto-foto pantai di Bali, juga ada menara jam yang ada di Inggris. 

Di temboknya, ada papan yang terpasak lembar-lembar kecil, yang tertulis to-do-list untuk bulan dan tahun kedepan. Marsinah, sebagaimana di to-do-list-nya, ingin menjadi ekonom besar, mampu menulis 15 buku sebelum usia 27 tahun, bisa keliling ke Melbourne dan Hawaii. 

Tak lupa, hiasan Eiffel di kamarnya juga dilingkar besar, seakan menanda bahwa Paris-lah destinasi utamanya. Ibarat kata orang, cita-citakanlah sekarang, karena dengan begitu lebih bisa terwujud kelak.

Namun untuk menikah? He, jangan tanya. Marsinah tidak menulisnya di to-do-list. Urusan bisnis dan menjadi pemilik saham besar pun tak tercantum di daftar itu. Tentang organisasi dan hobi juga, ya, menjadi debu di kamarnya saja. 

Ia tidak berharap banyak soal itu. Semua ada waktunya, menurut Marsinah. Karena, sama seperti ajaran paman Mulyo: berkaryalah sebanyak-banyaknya mumpung masih muda, supaya menjadi kontribusi besar bagi negeri, bangsa, dan negara.

Karir menjadi medali terbesar di kehidupan paman Mulyo dan Marsinah. Terpenting adalah: kuliah aman, kerja aman, dan tetap bantu sesama.

Kontribusi pada negeri pun menjadi satu mata sisi: hanya karir-karir itu sajalah moncong kontribusi bagi negeri. Hanya karya-karya itu sajalah bukti otentik untuk bangsa dan negara. Sedangkan yang lainnya, itu hanya hal kecil, hal remeh temeh.

Bisnis-bisnis kreatif, sebagaimana ucap paman Mulyo, “Hanya kerjaan orang gak punya ijazah. Mereka gak diterima di perusahaan, jadinya ya cuma jual barang-barang kayak gituan.”

Sedangkan untuk pernikahan, “Nek nikah kui yo nggo seng wes mateng. Kamu gak usah mikir soal nikah-nikah dulu, Marsinah. Nikah iku berat, perlu ilmunya, perlu kesabaran tinggi. Harus sudah matang emosionalnya, dan harus punya kemampuan finansial dulu. Kamu jangan sandarkan finansial pada suamimu saja, tapi kamu juga harus kerja. Sia-sia kalau kamu sekolah tinggi, neng yo ora kanggo nggo negeri iki.”

Bisnis dan pernikahan. Siapa lagi mahasiswa yang tidak berhadapan tentang itu? Marsinah juga di tengah ombang-ambing, antara benar ikuti paman Mulyo sebagai kebaktian rasa terima kasihnya, atau dengan keras kepala ikuti hal benar sesuai pendapatnya. 

Padahal, bisnis tidak baik jika dimulai saat usia tua. Tidak bisa juga semua orang mengandalkan pekerjaan pada jenjang karir di instansi pemerintahan atau rekrutmen perusahaan saja. Sedangkan untuk pernikahan, Marsinah sengaja ingin menyegerakan karena ia tidak ingin hal aneh-aneh jatuh pada dirinya.

Ia memulai bisnis sejak semester awal perkuliahan, dengan harapan saat sudah lulus 2-3 tahun mendatang, bisnis itu sudah besar dan bisa menjadi penopangnya saat ia lulus kelak. 

Dengan jiwa mudanya, ia melihat itu lebih masuk akal. Sebab, tahun pertama berbisnis saja sudah sangat melelahkan dirinya, membuat diri tertatih-tatih karena banyak sekali instrumen bisnis yang harus dipelajari. Jika memulai bisnis tidak sejak sekarang, Marsinah ragu di kemudian waktu potensi bisnis bisa leluasa seperti masa mudanya ini.

Sedangkan untuk pernikahan, Marsinah biasa andalkan kalimat ustadzahnya, “Dek, setan itu sangat mudah sekali menggoda manusia. Dan kalian sebagai akhawat, merupakan sumber godaan paling besar dari setan kepada para lelaki. Itulah sebabnya, kita disyariatkan memakai hijab syar’i. 

Bahkan lebih baik kalian menggunakan penutup wajah, seperti cadar dan niqab. Itu lebih menyelamatkan. Selain itu, hindari komunikasi tidak perlu kepada lelaki. Dan apabila kalian bisa sesegeranya menikah, maka menikahlah, tatkala lelaki baik agama dan akhlaknya tiba. Karena itu benar-benar lebih menyelamatkan kalian dari fitnah dari setan terhadap lelaki.”

Saat mengingat kembali tentang hasrat besar paman Mulyo untuk memberi kontribusi besar bagi negeri, Marsinah jadi tersadar: apakah kontribusi itu hanya melalui karir-karir itu saja? Ya, otak tajam dari Marsinah yang muda mulai teraktivasi; ia mulai kritis, melihat bahwa tidak logis ucapan paman Mulyo itu. 

Jika misal, seperti pernikahan, bukankah itu bisa menjadi sumber kontribusi juga bagi negeri? Ibu-ibu dan ayah-ayah yang terdidik ilmu parenting, kelak menghasilkan generasi yang memiliki daya kompetensi tinggi dan jiwa psikologis yang kuat. Generasi emas itu hanya bisa lahir dari ibu dan ayah yang memang mendedikasikan diri untuk keluarga dan penghasilan anak-pinak!

Kemudian bisnis, tidak mungkin perusahaan itu bisa ada, jika sebelumnya mereka tidak berasal dari bisnis-bisnis yang Marsinah tengah ingin bangun sekarang ini! Bisnis yang Marsinah bangun itu adalah model sederhana dari perusahaan berstatus IPO di pasar bursa sekarang. 

Efek dari saham dan berbagai mudhorobah lainnya itu juga dari bisnis-bisnis para penjual barang juga. Bahkan barang ecek-ecek, itu bisa menjadi emas bagi pasar yang membutuhkannya.  

Plastik sampah, bisa menjadi profit belasan juta jika dijual ke industri tekstil; yang mulai beralih menggunakan bahan plastik. Asalkan punya akal dan ilmu, bisnis bisa saja lebih bermanfaat bagi negeri dan bangsa, daripada sekadar jadi orang kantoran —yang mungkin hanya menulis 3-4 dokumen reguler per hari— di perusahaan. Ah, ya, mengapa Marsinah tidak sampaikan saja argumen ini kepada paman Mulyo tadi?

Sungguh, kontribusi bagi negeri, negara, bangsa, bahkan juga agama tidak mungkin hanya didapat lewat jalur S1-S2-S3 dan keprofesoran itu saja, dan tidak juga sekadar bekerja di instansi pemerintah atau divisi-divisi perusahaan. Bagi lelaki dan perempuan yang menikah, mereka pun sudah berkontribusi besar bagi negeri. Marsinah pun lahir dari lelaki dan perempuan. Bayangkan jika para lelaki dan para perempuan tidak ingin menikah? Siapa “calon kontributor” yang bisa lahir kelak?

Lelaki dan perempuan yang menikah di usia muda juga tidak patut disalahkan dan dinilai tak bisa kontribusi bagi negeri. Bukankah mereka yang punya usia lebih awal untuk beranak-pinak juga jadi nilai positif bagi perkembangan anak kelak? Selain itu, jenjang mereka untuk mempelajari ilmu parenting juga lebih awal, daripada pasangan yang menikah di usia tua. Ilmu parenting, sebagai ilmu terapan, sangat erat dengan praktik langsung. 

Sekadar teori, dan menunda usia hingga tua, justru memforsir waktu pembelajaran ilmu parenting di usia lebih muda. Tentu, ini satu positifnya saja. Mereka yang menikah muda pun belum terbahas bagaimana sambilan kerja yang mereka ambil. Sebab, menjadi bukti di berbagai tempat, pemuda-pemudi yang muda, lalu kerja bersama, sama-sama juga bisa mendapat award dan podium penghargaan!

Bagi negeri, aset terpenting apa jika negeri tidak memiliki penyambung keturunan? Pun jika ada yang mengatakan “banyak orang dilahirkan, tapi otaknya kosong semua, pendidikannya pada rendah, dan cuma bisa jadi konsumen,” maka menjadi konsumen dari hasil impor barang luar negeri pun lebih logis, daripada kekurangan sumber daya manusia; seperti negara luar sana yang sampai harus “impor” pasangan yang mau menikah beranak-pinak. 

Marsinah yang calon sarjana ekonomi, sedikit terbayang bagaimana supaya konsumerisme tidak menjadi nilai negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Plus, bila pun para manusia berotak kosong itu disebut berpendidikan rendah, bukankah salah satu faktornya dari pemikiran yang serba mengagungkan karir semata itu juga? 

Karir, sebagai acuan pendorong rakyat supaya tetap kerja, jika menjadi ambisi dan dianggap menjadi juru kunci selamat menuju kebahagiaan abadi, akan membuat chaos di masyarakat. Pemikiran tajamnya akan tumpul, dan mulai mengabaikan hal-hal selain karir itu semata.

Moralitas dan agama, kian diabaikan seiring ambisi besar terhadap karir tinggi itu. Dari moralitas dan agama yang terdegradasi, etos kerja rakyat juga akan bermasalah; menjadi malas, cenderung stres dan tidak fokus kerja, malah-malah sibuk urus kondisi psikologisnya daripada berproduktivitas tinggi. Dan jelas, pendidikan juga menurun hingga ke lembah kehinaan.

Sedangkan untuk bisnis, ah, apalagi yang harus dijelaskan oleh Marsinah? Ia bisa saja sekarang jadi investor, belajar mendapat “cuan-cuan” dari dividen saham nanti, dan dalam kesenangannya menikmati dividen itu, perusahaan negeri yang diinvestasikannya pun juga tengah berpesta menambah produksi lagi. 

Soal bisnisnya sendiri yang ia ingin bangun, ia mulai terpikir bahwa negerinya tengah jatuh dari angka wirausahawannya. Apakah wirausaha itu bisa ditingkatkan angkanya, jika ia sekadar ambil jalur karir di instansi pemerintah dan jadi karyawan perusahaan saja? 

Artinya, ia harus tetap jadi wirausaha, supaya angka wirausahawan negeri meningkat; karena indikator pertumbuhan ekonomi negeri adalah meningkatnya angka wirausahawan. “Nah, itu dia, bukankah paman Mulyo harusnya pun sadar hal itu, jika yang segala diinginkannya ialah kontribusi bagi bangsa dan negara?”

Maka, tanpa olah basa-dan-basi, Marsinah kembali membuka telepon genggamnya, dan berkata, “Paman Mulyo, Marsinah pengen tetep berbisnis dan ingin menikah dari sekarang aja. Nanti kuliah Insya Allah gak Marsinah abaikan, kok. Setyo kan juga bisa bantu Marsinah nanti. Takutnya kalau Marsinah gak nikah-nikah, malah galau dan betulan jadi gak fokus kuliahnya. Takutnya Marsinah juga jatuh ke hal yang nda bener. Dan bisnis Marsinah juga untuk kebaikan Marsinah sendiri, kok. Supaya saat sudah lulus nanti Marsinah bisa perluas lagi bisnis Marsinah. Nanti perusahaan-perusahaan yang paman Mulyo tawarkan itu bisa aja loh Marsinah bantu investasi. Justru malah lebih menguntungkan perusahaan itu, daripada Marsinah sekadar jadi karyawan saja. Dan, Insyaallah, ini lebih bisa memberikan kontribusi bagi negara dan bangsa kita, Paman.”

Haduh, kamu ini kalau udah yang namanya kebelet nikah, ya. Ya wes lah, sudah Paman Mulyo bilangin berkali-kali gak kamu denger. Nanti Setyo suruh dateng aja ke sini, biar ngobrol sama Paman. Soal bisnismu nanti jangan sampai buat kamu kewalahan, yo, nduk. Yang penting kamu sudah dapet pesan Paman: selalu berikan kontribusi neng negara lan bangsa.”

“Baik Paman.”

Yey, dalam ucap hati Marsinah, riang gembira.

Skip to content