Ketika Pencuri Pulang dari Penjara

Berulangkali Anselmus menghembuskan napas sebelum mengklarifikasi perbuatan aibnya di hadapan seluruh mata warga. Wajah yang rapuh oleh kesalahan dikemasnya rapi dalam luas hati. 

Emilia, satu-satunya istri Anselmus terpaksa menutup muka dengan selempang tenun ibunya. Selempang itu penuh air mata, keringat dan malu. Kepala desa berulang kali membentak marah sampai memaki Anselmus oleh sebab perbuatannya dipandang melukai martabat seluruh masyarakat. Anselmus hanya menundukkan kepala sambil mencari liang untuk penguburannya. 

Kerumunan orang di luar sana berteriak kencang memaki. Kelamin Anselmus dipotong oleh mulut-mulut berbisa. Gubuk kecil yang hormat untuk merebahkan badan bersama istri dan anaknya dihancurkan warga. 

Piring dan sendok dilempar keluar rumah.  Ia berpasrah dan tak banyak berkelit. Satu ekor sapi dan uang dua juta lima ratus diakui telah dicuri dari kandang dan lemari Romanus. 

Polisi dan warga sekampung sepakat menyeretnya ke meja hijau. Anselmus berpinta tobat. Mari kita tuntaskan di atas tikar. Kepala Desa dan para tetua tidak sependapat duduk berlama menakar kebiadaban di atas tikar. 

Anselmus harus dipenjara supaya membayar lunas kesalahannya. Tidak ada nota pembelaan yang meringankan kesalahan Anselmus. Istrinya pun dibungkam habis-habisan. 

Romanus hanya menatap tajam mata Anselmus kemudian menggeleng-gelengkan kepala penuh misteri. Anselmus dengan berat hati menelantarkan Emilia dan anak-anaknya dengan mendiami bangsal sempit dalam penjara. 

***

Tujuh tahun setelah menjalani hukuman di penjara, Anselmus kembali ke kampung halaman. Ditemui Emilia dan anak-anaknya masih setia memeluk hinaan. Ia memeluk mereka dengan penuh cinta dan tobat.  

Di hari berikut, ia menemui pastor di gereja untuk mengaku dosa-dosanya. Seminggu kemudian ia melaporkan diri kepada kepala desa yang baru saja dilantik. Didengarnya bahwa mereka yang dulu menjebloskan dirinya ke  dalam penjara telah meninggal dunia. 

Ia bergegas ke kuburan untuk menemui tumpukan batu nisan dan rumput-rumput liar di sekitar pekuburan. Dibersihkanlah kuburan itu dengan hati yang tabah, kemudian memantik api pada sumbu lilin dan diletakkan pada nisan mereka.

“Kalian seharusnya menanti kepulangan saya dengan amarah yang tajam. Mencibirkan lagi kotor wajah saya. Namun, ternyata riwayatmu pendek saudara-saudara! Kalian tidak mengerti mengapa saya harus mencuri,” gumam Anselmus sambil mengitari kuburan. Entah apa yang merasukinya, tetiba wajahnya memerah marah.

“Ayooo bangkit  lagi dari kubur sialan ini dan aniaya saya. Dimana kau Paulus, yang dulu menuntut saya harus di penjara? Di mana kau Regina, yang dulu mau bertanggung jawab menafkahi anak istri saya? Omong kosong! Kalian manusia sialan. Kalian akan menjadi arwah terkutuk, yang tidak akan pernah berhenti bergentayangan di pohon-pohon besar. Neraka adalah tempat kalian menjerit kepanasan sambil meminta pengampunan,” Anselmus terus bergurau meluapkan amarahnya.

Semakin lama aliran amarahnya membentuk sungai. Diambilnya beberapa batu besar hendak menghancurkan kuburan Paulus dan lainnya. Untunglah, Romanus tiba dan menahannya.

“Anselmus … Anselmus, apa yang sedang kau lakukan,” teriak Romanus menarik tangan Anselmus.

“Buanglah batu itu! Mereka sudah damai di seberang sana,” sambung Romanus.

“Damai? Apa kau bilang mereka damai? Mereka itu pasti terkutuk. Mereka mungkin telah dilemparkan ke dalam gelora api yang bernyala oleh para malaikat. Dan kau, sedang apa di sini?” bantah Anselmus.

“Anselmus, cobalah untuk berdamai dengan keadaan dan dirimu sendiri. Apa kau pernah berfikir untuk sejenak bertobat. Kau seharusnya bersyukur masih selamat sampai saat ini. Jika saja tujuh tahun lalu kau dibunuh saat mencuri sapi dan uang saya, pasti kalian bertengkar di seberang sana,” tutur Romanus berusaha menenangkan Anselmus.

“Romanus, maafkan saya telah menyulitkan keluarga anda waktu itu. Saya tidak punya pilihan lain selain mencuri. Dan betapa bodohnya saya harus mencuri kekayaanmu. Keluarga kami kesulitan keuangan dalam menghadapi beban adat yang diputuskan oleh kepala suku.  Bayangkan saja, saat itu kami harus menanggung seekor babi jantan besar untuk acara kenduri rumah adat dan uang satu juta lima ratus ribu, ditambah lagi beban bayar belis ipar saya sebelumnya. Padahal musim panen jagung kemarin kami alami kegagalan total. Uang hasil jual sirih pinang telah habis untuk beli beras,” tutur Anselmus sampai menitikkan air mata.

Keduanya duduk di atas kuburan Paulus, kepala desa yang menyeretnya ke Penjara.

“Sudahlah Anselmus, saya tidak punya kekuatan lagi untuk membencimu setelah melihatmu tabah  melewati hidup di penjara. Saya telah memaafkanmu sejak kau meringkus di dalam sana,” ungkap Romanus sambil menepuk bahu Anselmus.

“Romanus, saya minta maaf!” Anselmus terus mengucapkan maaf, menuangkan seluruh penyesalannya.

“Saya tidak punya daya untuk membencimu. Dan walaupun kau membenci saya, itu urusanmu nanti. Yang pasti hari ini kau yang akan berbalik membenci saya,” balas Romanus dengan nada santai. 

Romanus seolah menyimpan sebuah rahasia. Sebab sejak Anselmus di bawah ke penjara, ia tidak banyak menuntut dan berkomentar. Ia bahkan membuang senyum ketika Anselmus di tangkap aparat dan warga.

“Apa maksudmu dengan berkata demikian?” tanya Anselmus hendak memastikan.

“Kau pencuri yang salah mencuri. Sapi dan uang sejumlah dua juta lima ratus ribu itu hasil curian saya seminggu yang lalu di Maliana. Sebenarnya saya ingin membunuhmu waktu itu, ketika pulang dan mendengar berita kehilangan dari Maria istri saya. Tapi itu akan jadi tindakan terburuk sebab dengan membunuhmu saya kehilangan ribuan jam untuk menggeledah barang orang lain. Saya kehilangan waktu mengumpulkan harta orang,” ujar Romanus datar.

“Apa?? Jadi, kau … kau … kau juga seorang pencuri?” balas Anselmus dengan suara terbata-bata. Anselmus sangat kaget. Ia tidak pernah membayangkan cerita demikian, bagaimana ia mencuri di atas hasil curian Romanus. 

“Tenanglah saudara, pencuri sejati tidak akan pernah berteriak kepada sesamanya bukan?” jawab Romanus santai.

“Satu pertanyaan untukmu. Apa kau akan  mengakhiri atau memulai mencuri lebih serius lagi bersama saya?” lanjut Romanus.

“Tidak!” jawab Anselmus. 

“Apakah kau takut dipenjara lagi? Penjara tidak pernah sepi pengunjung selagi hukum terus diciptakan manusia. Di dunia ini, Tuhan menjanjikan penjara bagi orang jahat, bukan surga. Saya dan anda adalah penjahat. Namun saya lebih berwibawa dalam kejahatan,” ujar Romanus terus membuncah pikiran Anselmus.

“Ternyata, kau sangat terkutuk Romanus, Tuhan sangat mencintaimu,” ungkapnya satire.

“Hahaha, Anselmus kau salah menempatkan kesucian setelah bebas dari penjara. Satu hal yang mestinya kau jawab, kapan penjara menjadi kosong tidak berpenghuni?” tanya Romanus serius.

“Saat manusia seperti kita terkutuk menjadi batu,”  jawab  Anselmus emosional.

***

Anselmus terjebak dalam runut pengakuan Romanus. Pengakuaan  yang sesungguhnya menyayat tubuh lebih nyeri. Namun keduanya tidak saling membunuh kenangan dan angan-angan.  

Pencuri tidak mungkin memenjara sahabat karibnya sendiri. Demi usaha di waktu-waktu berikut, keduanya bersepakat menguburkan cerita ini dalam palung hati masing-masing. 

Mereka berjanji membangkitkan gerakan baru beritikad kebaikan. Pergi berlama-lama ke timur  meringkus harta dan kehormatan demi menyalakan dapur dan mengisi perut rumah tangga.

Skip to content