Perjalanan Tentang Kesetiaan

Dulu, aku pernah mendengar seorang teman berujar, bahwa ‘cinta lama’ itu ibarat tanaman kering. Bila kembali tersiram segarnya air hujan, maka lambat laun akan bersitumbuh kembali. Bahkan tak menutup kemungkinan akan tumbuh lebih subur dari sebelumnya. 

Entah mengapa, kini, kalimat itu kembali terngiang-ngiang di gendang telinga ini. Kenangan-kenangan indahku saat bersama Mas Eza kembali terputar ulang secara otomatis dan begitu runtut. Sangat runtut.

“Apa ini, Mas?” Sambil tak henti senyum, kutatap lekat wajah Mas Eza. Eza Wibisono lengkapnya. Dia adalah lelaki yang selama ini dekat denganku. Bisa dibilang kami berteman karib. Tiap aku atau dia sedang didera masalah, kami akan saling mencurahkan isi hati, saling menguatkan, berusaha mencari solusi bersama. 

Keakraban kami sempat membikin orang-orang menyebut kami sepasang kekasih. Namun aku hanya menanggapinya dengan tersenyum simpul dan menggeleng kepala. Ya, sebab di antara kami memang tak ada ikatan lain selain pertemanan. Hanya pertemanan. Titik. 

Emm, tapi tunggu, sebenarnya, kalau boleh jujur, kira-kira sebulan usai mengenalnya lebih dekat, aku memang mulai mengagumi sosok Mas Eza. Namun pantang bagiku untuk mengatakan bahwa aku menyukainya. Mungkin, karena aku adalah seorang perempuan hingga merasa tak memiliki nyali dan harga diri bila harus menyatakan rasa suka terlebih dahulu terhadap seorang lelaki.  

Yang jelas, selama kami menjalin hubungan pertemanan, aku merasa nyaman dan sangat menikmati. Kendati di sisi lain, kerap terbetik rasa kecewa saat tak kulihat gelagat atau gesture raganya yang menyiratkan bahwa dia memendam rasa padaku. Inilah alasan paling kuat yang mendominasi hati ini untuk memendam dalam-dalam perasaan lebih dari sekadar teman ini kepada lelaki berdarah Jawa-Sunda itu.  

“Buka aja, Na,” lelaki berlesung pipit, bermata perak serta berhiaskan sepasang alis tebal itu menatapku sambil tersenyum lembut. Dengan menekan debaran dada, perlahan kubuka kado berbalut kertas merah muda bermotif bunga-bunga merah muda.

Selamat ulang tahun ke 21 ya, Na,begitu tulisan singkat yang tertempel di sebuah kardus mini yang aku masih belum tahu isinya kira-kira apa.

Wah, makasih, Mas! Aku bahkan lupa kalau hari ini adalah hari ultahku!” Aku terpekik tak percaya. Seperti ada ribuan kupu-kupu beraneka warna yang entah datang dari mana melesat dan beterbangan begitu saja tanpa aba-aba, menyerbu taman bunga yang mendadak bermekaran dalam dada ini. Aku merasa surprise

Ternyata selama ini dia begitu perhatian. Sampai hafal tanggal lahirku segala. Padahal aku sendiri nyaris tak ingat. Mungkin, karena selama ini aku tak begitu peduli dan tak menganggap ulang tahun adalah momentum spesial yang harus dirayakan. 

“Kadonya dibuka, dong, jangan dipandangin terus,” pintanya saat aku masih terbengong tak percaya bahwa dia merayakan ulang tahun untukku, sahabat yang sebenarnya menyukainya. Aku tersipu malu. Dengan dada kian berdebar tak karuan segera kubuka kardus yang ada di kedua tangan. Dan, aku kembali terpekik saat mengetahui bahwa isi kardus itu adalah sebuah… cincin emas. 

Kupu-kupu kebahagiaan itu semakin menyerbu dada ini saat aku membuka lipatan kertas yang ada di bawah cincin itu. Di sana tertulis sebaris kalimat, “Na, maukah kau menikah denganku?” Ya, Tuhan, bahagianya hati ini, ternyata selama ini dia juga memiliki rasa senada denganku. Diam-diam tanpa sepengetahuannya, aku sampai mencubiti kedua jemari tangan untuk memastikan bahwa apa yang kualami saat itu bukan sebatas mimpi. 

“Aku nggak meminta kamu untuk menjawab sekarang, aku akan menunggu dengan sabar, Na,” ucapnya saat melihat wajahku bersemu merah dan tegang. Tentu saja aku merasa tegang atas kejutan demi kejutan yang membuatku senang tak terkira bahkan seperti tengah berada di alam mimpi saja.

“Za, kamu nggak sedang akting, kan?” Aku bertanya spontan, pertanyaan yang sebenarnya untuk menghapus kegugupanku. Dia tertawa terbahak mendengar pertanyaanku yang mungkin dianggapnya konyol dan lucu. 

Beberapa detik berikutnya, bibirku tak hentinya memburaikan senyuman. Hati ini terasa sangat plong dan bahagia saat mendengar penjelasannya bahwa dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Lho, kamu nggak jadi berangkat, Sayang?” Aku tergeragap saat mendengar sapaan lelaki di belakangku yang secara tiba-tiba. 

Kepalaku terputar spontan seraya berusaha menguasai keadaan. Jangan sampai aku terlihat gugup di matanya. Kutatap lekat-lekat seraut wajah lelaki yang kini telah berdiri persis di sebelahku. Aku yang sedang duduk di ruang tamu sembari mengenang kembali masa laluku bersama Mas Eza seketika tersadar dengan kenyataan bahwa aku kini adalah istri lelaki lain.

“Eh, ng… nggak jadi, Mas,” entah kenapa tiba-tiba saja aku berubah pikiran saat melihat lelaki berwajah tampan dan bermata teduh yang selama ini sangat menyayangiku dan telah memberiku buah hati yang kini telah beranjak remaja.

“Kenapa nggak jadi sih, Ma, padahal aku udah siap-siap nganterin Mama,” aku semakin tersadar mendengar ucapan Rama, buah hatiku yang baru masuk SMA tahun ini. Aku menoleh ke arah putraku yang baru saja keluar dari kamarnya. 

Ah, wajah Rama benar-benar mirip Mas Arief, suamiku, bahkan lebih tampan darinya.Sepintas, wajah Rama mirip Giorgino Abraham, pemeran Arka dalam sinetron Anugerah Cinta. Ya, Tuhan, haruskah aku mengkhianati kesetiaan mereka berdua selama ini? Perempuan macam apa aku ini? 

“Tadi Mbak Fitri bilang belanjanya ditunda dulu, soalnya dia ditelpon saudaranya yang sedang butuh bantuannya,” lagi-lagi aku berbohong pada suami dan anakku sendiri. Duh Gusti, mengapa aku jadi mulai pandai berbohong pada mereka dengan mengarang-ngarang cerita akan menemani belanja Mbak Fitri, sepupuku yang tinggal di kompleks perumahan sebelah itu? 

Ah, semua ini gara-gara Mas Eza. Sejak aku gagal menikah dengannya, 20 tahun silam, bersebab orangtuanya ternyata tak merestui hubungan kami, aku memilih meninggalkan kota kelahiranku. 

Selama hampir 5 tahun, aku ikut membantu Lik Anwar, Pamanku, yang telah lama menjadi pedagang kain di Bandar Lampung. Perlahan tapi pasti, aku pun bisa melupakan cinta pertamaku meskipun aku belum benar-benar bisa mengenyahkan perasaan yang pernah ada antara aku dan Mas Eza. 

Betapa aku merasa sangat beruntung saat bertemu Mas Arief. Dia adalah salah satu partner bisnis Lik Anwar. Cinta pun perlahan bersemayam dalam hati ini dan hati lelaki bermata teduh itu. Tak menunggu berganti tahun, aku mengangguk saat Mas Arief mengatakan ingin menjalin hubungan lebih serius denganku. 

Setelah menikah, kami memutuskan tinggal di Jawa, tepatnya di kota Yogyakarta yang terkenal dengan nasi gudeg khasnya itu. Lalu, kami pun kembali dari nol, menekuni bisnis kain batik hingga akhirnya bisa terbilang sukses seperti sekarang. 

Kini, setelah 20 tahun berlalu, saat aku telah dikaruniai seorang putra tampan, sang waktu seolah berputar dan kembali mempertemukanku dengan Mas Eza di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. 

Entah mengapa, bunga-bunga yang telah layu perlahan bersitumbuh dalam hati saat mengobrol panjang lebar dengannya, bahkan kami telah beberapa kali ketemuan. Husna, istri Mas Eza ternyata telah meninggal dunia 4 tahun silam akibat kanker serviks yang menggerogoti raganya. Hingga kini dia masih menduda tanpa dikaruniai buah hati. 

Hari ini, sebenarnya aku kembali berencana bertemu lelaki masa laluku yang telah sukses menyuburkan kembali benih-benih cinta di hati ini. Namun, setelah melihat raut suami dan putraku serta merenungi betapa selama ini mereka selalu ada untukku di saat susah maupun senang, aku memutuskan untuk benar-benar mengubur semua kenanganku bersama Mas Eza, sebelum semuanya semakin jauh dan aku terlambat menyesalinya. 

Melalui pesan WhatsApp, kugagalkan pertemuanku dengan Mas Eza. Aku bertekad akan berusaha sekuat tenaga menghindari pertemuan dengannya. Pertemuan yang akan mengusutkan benang kesetiaanku pada Mas Arief dan Rama. Duh Gusti, tolong bantu hamba agar kuat menghadapi ujian ini. Betapa aku ingin menjadi perempuan sekaligus sosok istri salihah yang setia. Setia pada suami dan anakku.

Skip to content