Saban sore menjelang magrib, biasanya santri-santri pesantren Al Barokah menyapu-nyapu di halaman pondok. Di jalan-jalan dekat pesantren, surau, ruang kelas dan ruang para Kyai semuanya dibersihkan. Tak sedikitpun butiran debu yang luput dari sapuan-sapuan mereka. Taman-taman bunga yang menghiasi pesantren juga turut dibersihkan dari daun-daunnya yang telah gugur. Tujuannya lebih dari sekedar agar wajah pesantren enak dipandang. Tetapi lebih dari itu, tujuan utama mereka adalah untuk ngalap berkah dari kebaikan yang mereka lakukan.
Dengan senang hati mereka melakukan perbuatan yang mendatangkan berkah itu. Tanpa pamrih dan dengan hati yang tulus. Bahkan sebagian besar dari mereka mengatakan tidak perlu belajar dan mengasah pikiran. Cukup berkhidmat kepada guru dan membersihkan halaman pesantren, ilmu pengetahuan itu akan datang secara tiba-tiba pada waktu yang tidak diduga-duga.
“Ah…kalau begitu, aku juga mau cerdas tanpa banyak belajar,” ujar Sahidin yang berada di dekatku. Kebetulan kami juga bagian dari santri pesantren Al Barokah. Bukan santri lama, tapi santri baru. Kami baru saja masuk di pesantren yang berada di pusat kota di dalam satu daerah yang dikenal dengan nama Lumbung. Pusat kota Lumbung itulah letak pesantren yang kami masuki itu.
“Heh Din, mana mungkin kamu dapat ilmu dan menjadi orang yang berpikiran luas kalau kerjaanmu hanya menyapu saja,” jawab si Buntek tiba-tiba. Nama aslinya sebenarnya adalah Abdul Harim. Julukan Buntek itu dia dapatkan dari bapaknya, Haji Gunawan karena bentuk tubuh si Harim yang lebar dan postur tubuhnya yang berada di bawah standar. Katanya bercerita kepada kami beberapa hari yang lalu. Sejak saat itu, kami memanggilnya si Buntek yang sebelumnya kami panggil dengan nama aslinya, Harim dan bahkan Haram. Katanya itu merupakan panggilan kesayangan bapaknya.
“Iya Din, masa iya hanya karena menyapu ruang Kyai dan menyiram tanaman kamu bisa pintar,” Budin yang dikenal pandir itu juga ikut-ikutan membantah keinginan si Sahidin itu.
“Tidak, memang benar seperti itu. Kemarin saat pengajian Senin pagi, aku dengar ceramah Kyai Shadiq bilang seperti itu. Karena dia Kyai kita, aku yakin saja tanpa aku ragu. Ucapannya pasti benar,” ujar si Sahidin lagi untuk mempertegas alasannya.
“Kalian pasti tidur kan kemarin, makanya kalian tidak tau?”
“Aku tidak tidur sama sekali Din. Bahkan aku sempat tidak percaya ketika mendengar ceramah Kyai Shadiq itu,” ucap si Buntek dengan suara yang sedikit berbisik-bisik. “Aku sengaja mengecilkan suaraku biar tidak didengar oleh santri lama. Bisa-bisa aku dipanggil nanti sama mereka untuk menghadap Kyai Shadiq. Dia itukan pimpinan pesantren kita.”
“Heh, jangan panggil dia, itu tidak sopan. Kalau ke Kyai itu kita harus bilang beliau. Kalau bilang dia itu terkesan tidak etis. Nanti kita tidak dapat berkah seperti santri-santri lama itu,” si Sahidin mencoba meluruskan perkataan tidak etis si Buntek.
“Dasar kamu Sahidin, ngaco saja kerjaanmu. Apa pengaruhnya aku bilang dia atau beliau ke Kyai. Masa iya gara-gara itu aku tidak kedapatan berkah juga. Kamu cocok jadi pengarang cerita palsu, Din,” si Buntek mencoba untuk mematahkan lagi perkataan si Sahidin dengan suara yang sedikit mengolok-olok dan wajah sinis.
“Iya sudahlah terserah kamu saja Haram. Ehhh….Harim. Yang penting aku sudah memberikan nasihat kepadamu,” si Sahidin mencoba mengalah.
Percakapan itu usai sudah. Matahari di ufuk barat sebentar lagi tenggelam sempurna. Hanya bias-bias cahaya jingga kemerahan yang nampak. Itu sebagai tanda alamiah yang menunjukkan bahwa waktu magrib akan tiba. Benar saja, tidak lama kemudian terdengar suara muadzin yang mengumandangkan azan dari surau pesantren. Indah nan sejuk didengar panggilan Tuhan jika yang mengumandangkannya adalah orang yang bersuara indah dan berlanggam pula. Tidak dapat terbayang jika yang mengumandangkannya adalah orang yang suaranya jelek seperti suara keledai. Memaksakan diri layaknya seorang garin tua.
Para santri pesantren pun bergegas menuju surau pesantren untuk mengambil air wudhu untuk digunakan sebagai syarat shalat berjamaah. Kami berempat pun juga bergegas menuju surau pesantren untuk melakukan shalat berjamaah bersama.
Setelah shalat magrib berjamaah dan wiridan, para santri tidak langsung beranjak dari tempat duduknya. Karena sehabis shalat magrib biasanya rutin dilaksanakan pengajian. Setiap malam sehabis shalat magrib pengajian itu secara rutin diadakan, kecuali malam Jum’at. Pada malam Jum’at biasanya para santri berkumpul membaca kumpulan doa-doa yang dibukukan secara bersama-sama dengan satu orang pemandu dengan menggunakan pengeras suara.
Tidak lama kemudian Kyai yang mengisi pengajian pun datang. Semua santri tanpa terkecuali berdiri untuk menyambut kedatangannya sambil mengucapkan salam dengan badan yang agak sedikit merukuk. Itulah cara menyambut Kyai yang sopan menurut tradisi pesantren kami. Jangan coba-coba menegakkan badan apalagi mengagah-gagah. Kalau tidak, akan dicap sebagai santri yang tidak sopan. Kami lugu nan santun merunduk merukuk untuk menghormati Kyai kami.
Sekali lagi, untuk mendapatkan berkah. Berkah yang digambarkan oleh Kyai kami sebagai suatu yang tidak bisa dilihat oleh sepandang mata, tidak sampai terdengar oleh gendang telinga dan tidak dapat dibayangkan dalam pikiran sebagaimana nirwana. Tapi, ketika berkah itu datang menghampiri hidup seperti layaknya surga. Siapa yang tidak tertarik jika suatu yang dinamakan “berkah” itu sedemikian luar biasa digambarkan oleh Kyai kami seperti sihir pembawa keyakinan yang langsung menancap ke dalam relung-relung hati kami. Kami yakin saja tanpa protes pada awalnya.
Perbuatan sopan itulah selama bertahun-tahun sampai kami lakukan sebagai santri. Merukuk, merunduk, selalu taat, menjaga relung hati dari bisikan setan agar tidak berburuk sangka kepada para Kyai layaknya bahan pangan pokok yang harus kami makan setiap hari.
Bertahun-tahun perbuatan kami tidak pernah lekang dari koridor sopan santun yang dibuat-buat itu. Sampai pada tahun politik, petuah-petuah Kyai apalagi dari Kyai Shadiq seperti memperkuat keyakinan kami. Jika sang Nabi menyeru kepada umatnya untuk membaca dengan ayat iqra’ , maka Kyai kami menyeru untuk tetap patuh pada petuah rohaninya. Tidak meminta kami untuk “membaca” sebagaimana nabi dahulu kepada umatnya dengan alasan mereka lebih dahulu “membaca” daripada kami. Sehingga yang paling utama bagi kami adalah patuh bukan ber-iqra’. Akan tetapi sekali lagi, hal itu tidak menjadi masalah yang pelik. Untuk mendapatkan sepucuk berkah kami siap untuk tetap patuh kendati angan tetap menggerutu.
Tahun politik pada dekade kedua abad ini menjadi masa yang paling strategis dalam mengamalkan petuah kepatuhan Kyai oleh para santri tentang pilihan politik pimpinan pesantren kami. Suatu masa di mana kepatuhan kami diuji. Apakah kami berhak mendapatkan keberkahan dari sikap patuh ataukah justru sebaliknya, tidak berhak sama sekali.
Sampai pada waktunya, para santri dikumpulkan pada sebuah majelis ilmu bertopeng konsolidasi. Si Buntek, salah satu temanku itu sedari awal telah menebak bahwa majelis itu adalah majelis politik.
“Sepertinya kita akan diberitahukan kalau pimpinan pesantren kita telah memilih satu di antara ketiga calon itu,” bisiknya di dekat telingaku ketika kami berjalan bersama menuju lokasi majelis itu. “Apa maksudmu Harim? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” tanyaku padanya tanpa berpura-pura tidak tahu. “Ah masa iya kamu tidak mengerti. Inikan momen pemilu presiden. Pastilah akan dideklarasikan siapa calon yang akan didukung,” tegasnya. “Sudahlah Harim, aku tidak bisa menerka-nerka sepertimu. Kita lihat saja nanti.”
Setelah sampai di lokasi tersebut kami langsung mencari tempat duduk yang paling nyaman. Tidak terlalu jauh dari podium orang-orang besar itu. Tetapi tidak juga terlalu depan. Takutnya nanti kami dilihat berbisik-bisik. Dan benar saja apa yang dikatakan Harim, si Buntek itu. Aku tidak terlalu heran melihat kenyataan dari hasil terawangannya di perjalanan tadi. Karena, sejak Sekolah Menengah Akhir dia tertarik dengan dunia aktivis dan politik. Buku-buku aktivis seperti Soe Hok Gie dan yang lainnya dibabat habis olehnya. Tidak heran jika terawangannya di perjalanan tadi tepat sasaran.
Sebegitu banyaknya santri dan elemen pesantren yang menghadiri acara ini. Petuah Kyai Shadiq mewartakan bahwa pilihan politik pada pemilu kali ini adalah paslon yang didukung oleh partai bertanduk dua berlatar merah pada panji partainya.
“Kita siap mendukung dan memperjuangkan pilihan pimpinan kita. Siap satu suara?!” ucap Kyai Shadiq dengan menggebu-gebu. Sontak saja para santri dan semua elemen pesantren menjawab dengan kata “siap” dengan sorak sorai sepenuh jiwa.
Sekali lagi, ini merupakan momentum yang sangat pas untuk mengamalkan petuah patuh itu demi sepucuk harap akan keberkahan yang dijanjikan itu. Kalau saja ada di antara para santri yang tidak patuh, maka dapat dipastikan dia tidak layak mendapatkan keberkahan tahun ini. Untuk mendapatkan keberkahan lagi, dia harus menunggu lima tahun lagi pada pemilu berikutnya. Itupun jika dia patuh dan taat. Jika tidak, maka tetap saja tidak layak lolos seleksi sebagai salah satu nominasi peraup keberkahan.
Satu bulan sebelum pemilihan berlangsung, para Kyai sibuk berkampanye. Di setiap langkah kaki mereka terpatri harapan agar mimpi mereka menjadi nyata, senyata-nyatanya pada waktu yang akan tiba.
Mulailah di setiap ruang-ruang kelas di pesantren kami selalu diselipkan narasi-narasi politik yang mewajibkan para santri untuk memilih calon yang mereka pilih.
Sampai pada suatu waktu, si Buntek temanku itu geram melihat kondisi santri yang dirawat oleh tangan-tangan eksploitatif itu. Emosinya tidak berhenti kepada para Kyai yang mencoba secara terus-menerus menggiring para santri pada pilihan akhir mereka. Tetapi luapan emosinya itu juga diperuntukkan kepada para santri yang selalu mengangguk-angguk ketika mendengar petuah politik itu. Pikiran mereka layaknya seperti motor yang terparkir dalam keadaan mati. Seperti tidak ada pilihan lain.
Sejak saat itu, si Buntek merasa terpanggil untuk menyadarkan para santri agar tidak mudah diterkam oleh kuku-kuku tajam politik buas itu. Sudah sekali waktu aku duduk dengannya. Dia menceritakan kekesalan sekaligus keinginannya untuk melakukan penyadaran pada mereka yang selalu dijadikan sebagai objek politik itu. Aku mengerti kejengkelannya, tapi dia seorang diri. Dengan apa ia merealisasikan keinginannya. Melawan institusi besar yang dimotori oleh orang-orang besar seperti tabib rohani itu.
“Harim, aku tau kejengkelanmu. Menurutku, lebih baik kamu simpan saja seorang diri. Karena tidak mungkin kamu akan melakukannya seorang diri,” ungkapku padanya dengan serius. “Tidak, sama sekali tidak. Sebagai seorang aktivis yang berpikir ideal dan berkemajuan aku tidak akan membiarkan hal itu terus menerus terjadi. Paling tidak aku dapat menyadarkan segelintir orang dari mereka agar ada yang menemaniku nanti,” jawabnya dengan yakin.
Semenjak saat itu dia selalu mencoba untuk berdiskusi panjang lebar dengan santri-santri pesantren Al Barokah mengenai keadaan yang pelik itu. Ketika dia sedang menemui santri-santri dan duduk bersama mereka, si Buntek tidak lupa menyelipkan pikiran-pikiran politiknya kepada mereka.
Pernah suatu waktu salah satu santri sangat geram dengan kelakuan si Buntek itu “Heh Harim! Kamu jangan terlalu sombong. Kamu bukan apa-apa dibandingkan dari Kyai-Kyai kita,” ucapnya sambil menunjuk si Buntek santri itu melanjutkan amarahnya. “Kalau kamu tidak berhenti mempengaruhi santri-santri yang lain dengan pikiran bodohmu itu, aku akan pukul kepalamu. Dan kalau sampai aku melihatmu lagi melakukan tindakan kurang beradab ini, aku akan melapor ke Kyai Shadiq biar kamu disidang. Camkan itu!”
“Dasar santri yang tidak beradab!” ungkap santri itu sembari melangkahkan kakinya meninggalkan si Buntek.
Walaupun sering kali pikiran dan tindakannya ditolak bahkan ditentang ternyata ada juga yang mau menerima pemikirannya itu. Dia merasa lega ketika ada salah-satu santri yang mau menerima pemikiran jernihnya itu.
“Kita di sini bukan untuk menentang, tetapi paling tidak kita tahu cara kita bertindak dengan semestinya. Jangan karena tujuan-tujuan politik praktis, kita hanya dijadikan sebagai objek yang empuk. Jangan karena sebagian santri yang tidak memilih calon yang sama, lantas dicap sebagai santri yang tidak beradab dan menentang gurunya. Cara itu yang aku tidak setuju,” kalimat yang sering diucapkan si Buntek dalam mengakhiri pertemuannya itu.
Sebenarnya aku juga salut dan kagum dengan tindakannya. Tetapi, di balik kekagumanku terselip rasa iba yang mendalam kepadanya. Apalagi tatkala dia diperlakukan secara tidak baik oleh santri-santri pesantren, terutama santri lama yang sudah terpengaruh oleh petuah politik para Kyai.
Aku juga mengerti dengan alam pikiran si Harim. Dia bukannya takut tidak mendapatkan berkah. Sama sekali tidak. Dia hanya geram dengan doktrin politik itu. Alam pikirannya sudah tertata rapi oleh pikiran-pikiran politik yang demokratis. Sehingga, tatkala dia menemukan sesuatu yang bertolak belakang dengan pikirannya dia selalu berusaha untuk memberikan pencerahan kepada siapa saja yang dia temui.
Upayanya dalam memahami perkembangan demokrasi dan politik sangat besar dan berkelanjutan. Namun, sayangnya dia bergumul seorang diri dalam menghadapi poros besar yang dinahkodai oleh para Kyai.
“Aku tidak menentang guru kita. Aku tidak menentang para Kyai apalagi Kyai Shadiq yang berilmu itu,” jelasnya kepadaku membuka buku ketika kami sedang duduk berdua di sebuah kamar. Entah buku siapa yang tengah dibaca. Aku sendiri kurang tau.
“Aku bukannya tidak percaya pada keberkahan. Aku sangat percaya karena Al-Quran telah mendiktum tentang berkah. Aku hanya tidak setuju dengan cara-cara mereka termasuk santri lama yang menurutku tidak pantas. Mendikte seseorang sebagai santri yang tidak beradab hanya karena berbeda pandang. Tuhan seperti dipolitisasi. Tuhan seperti dipaksa untuk memberi berkah kepada mereka yang diharuskan patuh. Keberkahan yang merupakan otoritas Tuhan dipolitisasi oleh petuah-petuah politik praktis dan pragmatis. Salahkah aku?”
“Kamu sama sekali tidak salah Harim. Aku sepenuhnya mendukung. Tapi kamu hanya seorang diri,” timbalku sebagai seorang pendukung pikiran dan gerakannya.
“Aku tidak menghiraukan aku sendiri atau tidak. Sendiri tidak menjadi masalah kalau hal itu bertolak belakang dengan isi pikiranku,” si Harim semakin menunjukkan gelora semangatnya.
Kami hanya empat berkawan. Si Sahidin tetap mengikuti petuah Kyai tanpa mendikte si Harim dengan ucapan yang tidak-tidak. Si Budin yang dikenal pandir tidak tahu apa-apa dengan masalah ini. Apalagi kalau ketemu senior lama, Budin pasti merunduk melihat ke bawah karena takut. Tinggallah Harim dan aku sebagai pendukung gerakannya.
Pernah suatu waktu kami berdua berkumpul di suatu tempat sekitar pesantren bersama santri-santri yang sudah paham tentang pikiran si Harim. Si Harim ingin melakukan follow up tentang gerakan selanjutnya. Sepertinya dia sadar kalau dia hanya seorang diri. Dikumpukanlah santri-santri itu agar ada yang membantunya.
Dimulailah pidatonya dengan percaya diri layaknya seorang yang dia kagumi di dalam buku-buku yang sering ia baca akhir-akhir ini.
“Demokrasi adalah kebebasan berekspresi dalam berpolitik. Siapapun itu, dari manapun dia berasal, berdarah biru atau merah, berpangkat atau tidak, kaya atau miskin memiliki kebebasan yang sama dalam menentukan arah politik mereka sendiri. Aku sendiri di sini bukan sebagai kendaraan yang akan menggiring kalian untuk memilih salah satu di antara tiga calon itu. Kita bebas memilih siapa yang menurut kita mampu memimpin Indonesia dengan layak,” santri-santri itu mengangguk-angguk mendengar pidato si Harim yang agak menahan suara itu.
“Dalam politik,” lanjutnya. “Kita sebagai santri harus menempatkan diri sebagai subjek politik bukan hanya menjadi objek politik. Kita sebagai santri harus sadar akan dinamika politik yang terjadi. Paling tidak, kita masih bisa berpikir layak dan tidak terkungkung. Dalam politik, santri harus menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki integritas yang tinggi. Harus mampu berpikir out of the box. Jadi….”
“Sebentar dulu,” salah satu di antara mereka mengangkat tangan. “Apa yang kamu maksud dengan berpikir out of the box itu?”
“Artinya, sebagai santri kita harus mampu berpikir dari sudut pandang yang lain sehingga berbeda dengan kebanyakan orang. Pikiran dan tindakan kita jangan sampai terkungkung oleh sentimen agama, golongan, suku, dan organisasi tertentu. Kita harus keluar dari sentimen itu agar jangan sampai kita sebagai santri tidak terus-menerus dijadikan sebagai sasaran empuk oleh tangan-tangan eksploitatif itu. Sesekali kita menjadikan diri kita sebagai subjek politik yang aktif,” jawabnya.
“Nah, tindakan politik yang eksploitatif itu yang aku maksud sebagai penghambat jalannya proses demokrasi kita. Karena sebagai objek politik kita tidak perlu berpikir ulang tentang benar atau tidaknya. Apalagi jika tindakan tersebut dibungkus oleh jubah agama. Siapa yang berani menentang jika hal itu sudah terbungkus rapi oleh jubah agama? Ini yang aku tidak senangi. Aku bukannya takut untuk tidak mendapatkan berkah. Aku sama sekali tidak menentang para Kyai. Sama sekali tidak,” lanjutnya memperjelas sekaligus sebagai penutup pidatonya itu.
Keesokan harinya tibalah saatnya. Ternyata perkumpulannya itu tercium oleh santri-santri lama yang kemudian melaporkan perkara tidak sopan itu kepada Kyai Shadiq. Kyai Shadiq langsung memberikan diktum agar santri-santri terutama Harim menghadap kepadanya. Salah satu dari santri lama yang bernama Munir diperintah agar segera menemui si Harim.
Harim dengan segera ditemui dan dibawa menghadap ke ruangan khusus Kyai Shadiq. Aku menemaninya saat itu, tetapi aku tidak dibolehkan masuk oleh Munir, santri lama itu. Aku hanya duduk di luar di dekat pintu. Tidak ada kursi, aku hanya duduk bersila sendiri.
Menurut informasi, sengaja tidak ditaruhkan kursi di depan ruangan Kyai Shadiq karena tidak ada satupun telapak kaki santri yang boleh berlalu lalang di depan pintu itu kecuali ada hal yang sangat penting apalagi meninggalkan bekas pantat. Tidaklah sopan dan beradab.
“Kamu yang bernama Harim?” tanya Kyai Shadiq setelah Harim duduk menghadap layaknya seorang budak yang dipanggil oleh tuannya.
“Iya benar, Kyai.”
“Tidak sepatutnya kamu berbuat demikian. Kamu sebagai santri seharusnya patuh terhadap apa saja yang diperintah oleh Kyaimu,” Kyai Shadiq memberi nasihat.
“Mohon maaf Kyai. Tiang (pengganti “aku” yang lebih sopan) tidak bermaksud untuk melawan apalagi menjadi bagian santri yang tidak beradab. Hanya saja tiang ingin…” Harim mencoba menjelaskan tapi terpotong oleh lidah kata Kyai Shadiq.
“Jangan membantah! Jika santri tidak mengikuti apapun perintah Kyai, sebutan apalagi yang lebih pantas untuknya selain santri yang tidak beradab?” Kyai Shadiq mulai membesarkan volume suaranya.
“Jika kamu dan santri-santri yang lain itu tidak mau patuh terhadap perintah para Kyai, silahkan keluar dari pesantren! Karena tiada lagi keberkahan untuk santri yang seperti itu!”
Itulah diktum penutup Kyai Shadiq kepada si Harim, santri yang dicap sebagai santri yang tidak beradab itu. Ketakutanku selama ini menjadi nyata. Si Harim pada akhirnya diperintah untuk menghadap.
Tidak lama kemudian Abdul Harim keluar dari ruangan Kyai Shadiq dengan raut wajah yang lesu dan membingungkan. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut si Harim. Dia diam seribu bahasa tidak seperti biasanya. Dari raut wajahnya nampak hilang semangat yang telah lama menggelora. Seperti kobaran api yang dipadamkan oleh setetes air mata. Air mata ketulusan yang mengiba.