Himmah online -Sepuluh tahun Jokowi memerintah terjadi banyak kecacatan mulai dari cacat sejarah, cacat konstitusi dan cacat moral budaya. Hal ini kemudian kembali dibahas pada Srawung Demokrasi dengan tajuk 10 Tahun Jokowi: Dua Wajah Melodramatik.
Acara ini menghadirkan Garin Nugroho, Budayawan, Sineas, dan Pengamat Politik, Masduki, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD), dan Sanaullaili, Inisiator Forum Cik Ditiro dan dilaksanakan di Gedung Kuliah Umum Sardjito, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Selasa, (22/10).
Dalam forum ini, Masduki menyampaikan permasalahan yang diwariskan dari pemerintahan Jokowi ialah represifitas kebebasan berekspresi, sehingga masyarakat takut untuk beroposisi.
“Untuk saat ini masyarakat tidak ada yang berani berkata ‘tidak’,” ungkap Masduki.
Selama sepuluh tahun Jokowi memainkan perannya sebagai presiden. Pada lima tahun pertama, Jokowi tampil dengan sosok merakyat dan memberikan citra positif. Lima tahun berikutnya, citra positif Jokowi kemudian luntur sebab aksi-aksinya yang bertentangan. Salah satunya dengan meloloskan anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden.
Masduki menjelaskan dalam teori komunikasi terdapat dua konsep, yaitu front stage dan backstage. Seseorang dapat menunjukan citra baik di depan panggung, namun di belakang panggung hal ini dapat berlaku sebaliknya.
“Orang bisa memainkan dua peran yang berbeda, tergantung pada konteksnya,” jelas Masduki.
Garin Nugroho menyampaikan, sebagai sutradara ia melihat manusia sebagai karakter film. Ia mengandaikan Jokowi sebagai raksasa berwajah rakyat sementara Prabowo sebagai raksasa militer. Hal inilah yang kemudian membuat ia enggan untuk memilih keduanya pada pemilihan umum (pemilu) di dua periode (red. 2014-2019).
“Saya merasa tidak yakin dengan keduanya. Raksasa itu selalu berwajah dua. Mereka bisa menjadi baik, atau bisa berubah menjadi buruk. Itulah sebabnya saya memutuskan untuk golput,” ungkap Garin.
Dalam bukunya yang berjudul Negara Melodrama, Garin memperkirakan bahwa Jokowi dan Prabowo akan bekerja sama di masa depan. Prediksi ini kemudian menjadi nyata, dibuktikan dengan masuknya Prabowo ke dalam Kabinet Indonesia Maju.
“Pada tahun 2018, saya sudah memprediksi bahwa Jokowi dan Prabowo akan duduk bersama, dan ternyata prediksi saya benar,” ujar Garin.
Garin menganalogikan drama pemilu seperti hiburan dalam opera sabun, yang mana tokoh jahat menjadi jahat dan tokoh baik menjadi baik. masyarakat seperti menikmati melodrama yang dimainkan Jokowi dan Prabowo saat pemilu.
Namun, pemerintahan tidak boleh menjadi hiburan semata seperti melodrama. Negara bukanlah drama di atas panggung, yang mana aktor bisa berubah-ubah peran.
“Di belakang maupun di depan panggung, seorang pemimpin harus menjaga karakter asli negarawannya,” pungkas Garin.
Reporter: Himmah/Queena Chandra, Abraham Kindi, Septi Afifah, Staf Himmah/M. Alvito Dwi Kurnianto, Muhammad Beltsazar Rosaldi.
Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman