Meski dirancang untuk meningkatkan kualitas pendidikan, survei kuesioner kinerja dosen di UII menunjukkan adanya kesenjangan dalam distribusi dan tindak lanjut hasil evaluasi. Pertanyaan muncul mengenai seberapa efektif sistem ini dalam mendorong perubahan nyata dalam kualitas pengajaran.
Himmah Online – Siang yang sejuk di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Farhan (20) baru saja menyelesaikan kelas kuliahnya. Ia kecewa terhadap kualitas kinerja mengajar dosen yang mengampu mata kuliahnya. “Aku rasa kalau dia (dosennya) ini terlalu fokus cerita gitu di kelas, ga merhatiin anak-anak (mahasiswa). Nggak banyak tanya (interaksi dengan mahasiswa), sehabis cerita, kelas berakhir,” keluhnya.
Pada Kamis 4 Januari 2024, Farhan mengisi dua survei kuesioner mengenai Nilai Kinerja Mengajar Dosen (NKMD). Pertama, NKMD Mata Kuliah Wajib Universitas (MKWU), kedua NKMD Mata Kuliah Program Studi (MKP).
Usai liburan semester, Farhan mengambil mata kuliah wajib yang diampu oleh dosen yang ia nilai kurang dalam kualitas kinerja mengajarnya. Ia kembali kecewa. Kualitas kinerja mengajar dosen tersebut stagnan. Tidak ada perubahan dalam metode mengajarnya, interaksinya, semuanya.
Berangkat dari keluhan tersebut, awak Himmah menelusuri bagaimana cara kerja evaluasi survei kuesioner kinerja mengajar dosen ini.
Penilaian MKWU
Kuesioner NKMD MKWU diselenggarakan oleh Direktorat Layanan Akademik (DLA). Tujuannya untuk mengukur kinerja dosen selama pembelajaran MKWU berlangsung. Parameter pengukuran kinerja dosen tersebut dibuat oleh Badan Penjamin Mutu (BPM) yang bertanggungjawab dalam pembangunan, pelaksanaan dan pengembangan Sistem Penjamin Mutu di UII.
“DLA itu kepanjangan tangan dari BPM untuk menyebarkan (kuesioner NKMD MKWU) ke mahasiswa (MKWU),” tutur Sofwan Hadikusuma, Kepala Divisi Perkuliahan Terpadu DLA saat diwawancarai awak Himmah pada Kamis (4/7/2024) di Kantor DLA.
Data yang terkumpul dari hasil survei kuesioner NKMD MKWU direkap oleh DLA. DLA melihat dosen mana yang memiliki penilaian tertinggi dari mahasiswa. Dosen yang mendapatkan penilaian tinggi akan diberi penghargaan olehnya.
Selebihnya, data akan didistribusikan kepada dosen. Namun, data hanya diberikan atas permintaaan dosen terkait saja. Apabila dosen tidak memintanya, maka data tidak akan dibagikan.
“Kadang kan ada dosen yang memang dia butuh untuk melihat itu (data NKMD MKWU), tapi ada dosen yang, yaudah yang penting ngajar. Udah selesai. Dan persiapan untuk semester berikutnya,” jawab Sofwan ketika ditanya mengenai distribusi data kuesioner NKMD MKWU bagi dosen yang tidak meminta.
DLA tidak melakukan evaluasi terhadap dosen yang mendapatkan penilaian minim dari mahasiswa. Alasannya sederhana, DLA segan terhadap dosen terkait. “Yang (peringkat) bawah itu nggak diumumkan (di evaluasi semester), karena yang di (peringkat) bawah kasihan nanti,” ucap Sofwan.
Penilaian MKP
Pada tingkat Program Studi (Prodi), penilaian dosen dilakukan secara terpisah. Penilaian dosen diakomodir oleh masing-masing Divisi Akademik Fakultas. Hal tersebut dibenarkan oleh Fariyanto, Kepala Divisi (Kadiv) Akademik Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) yang diwawancarai awak Himmah pada hari Selasa (16/7/2024).
“Jadi kalau di fakultas itu memang yang lebih tepat (penyelenggaranya) di bagian akademik ya.”
Fariyanto menjelaskan bahwa fakultas memiliki kanalnya sendiri dalam menyajikan kuesioner NKMD MKP. Sebagai contoh, FPSB memiliki portal sendiri dalam menyebarkan kuesioner tersebut, yakni FPSB Gateway.
Senada dengan itu, Kepala Divisi Akademik Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE), Edi Haryono mengungkapkan bahwa untuk mengisi kuesioner NKMD MKP, sivitas akademika FBE mengisi di FBE Gateway.
Hal tersebut menunjukan bahwa survei kuesioner NKMD MKWU dan NKMD MKP tidak terintegrasi. Keduanya terpisah dan berada di kanal yang berbeda.
Fariyanto menjelaskan bahwa ketika kedua kuesioner tersebut disatukan dalam satu portal, pihak akademik fakultas kesulitan dalam mengelolanya. “Kita kesulitan, harus ke BSI (Badan Sistem Informasi) lah, bikin surat lah dan sebagainya. Itu lebih ribet,” ucapnya.
Terhadap dosen tetap dan tidak tetap, UII mempunyai pengukurannya masing-masing. Untuk dosen tetap, akan muncul nilai akhir yang disebut dengan Nilai Kinerja Dosen (NKD). Sementara itu, nilai akhir dari dosen tidak tetap hanya muncul NKMD saja.
NKD mengharuskan dosen tetap menyelenggarakan Catur Dharma pendidikan yang meliputi: pendidikan dan pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan dakwah islamiyah. Dan juga, komponen lain dari NKD adalah NKMD itu sendiri.
NKMD terdiri dari beberapa aspek penilaian, di antaranya: jumlah kehadiran dosen, ketepatan pengumpulan nilai, kesesuaian dengan Satuan Acara Perkuliahan dan Rancangan Pembelajaran Semester (SAP/RPS), dan persepsi mahasiswa terkait pengajaran dosen melalui survei.
Kadiv Akademik Fakultas tidak melakukan proses evaluasi terhadap dosen. Kadiv Akademik hanya bertugas mengumpulkan data penilaian. “Jadi tindak lanjutnya di tingkat prodi, kalau kami di sini ya pelaksanaan,” jawab Fariyanto
Evaluasi Prodi
Awak Himmah mewawancarai beberapa ketua program studi (Kaprodi) terkait bagaimana tindak lanjut prodi terhadap hasil data yang sudah terkumpul. Beberapa di antara mereka adalah Kaprodi Hubungan Internasional, Ekonomi Islam, dan Ahwal Syakhshiyah
Secara umum, prodi akan menerima hasil data mengenai survei kuesioner NKMD MKP dari Divisi Akademik Fakultas terkait. Data tersebut akan dibawa ke rapat evaluasi semesteran yang diselenggarakan oleh prodi.
Rheyza Virgiawan, Kaprodi Ekonomi Islam menjelaskan bahwa, rapat evaluasi semester adalah ruang untuk menyampaikan NKMD setiap dosen. Pada rapat tersebut dipaparkan evaluasi dari aspek-aspek penilaian dari NKMD.
Ia mencontohkan; jumlah pertemuan perkuliahan seringkali tidak sesuai dengan jumlah minggu yang seharusnya. Dengan demikian, ia akan mengimbau kepada setiap dosen untuk meminimalkan kelas pengganti. Karena hal tersebut menjadi bagian dari penilaian kinerja dosen.
“Jadi nggak bisa juga dosen seenaknya, ganti hari ganti pertemuan, itu nggak bisa,” tegasnya dalam wawancara bersama awak Himmah pada Kamis 20 Juni 2024 di Gedung prodi Ekonomi Islam
Rheyza melakukan evaluasinya melalui beberapa tahap. Ketika ditemukan performa mengajar dosen menurun, pihaknya akan menghubunginya secara pribadi. Namun, ketika hal tersebut masih berulang, pihaknya akan memberikan surat peringatan. Selain itu, sanksi terberat yang akan ia lakukan jika masih tidak ada perubahan; akan membebaskan dosen dari mata kuliahnya.
Sementara itu, Karina Utami Dewi, Kaprodi Hubungan Internasional menjelaskan bahwa rekap penilaian MKP dari Divisi Akademik akan dibahas dalam rapat rutin prodi. Jika ada temuan kinerja mengajar buruk, seperti pembimbingan mahasiswa dinilai kurang optimal, Kaprodi menyarankan agar pembimbing meningkatkan interaksi dengan mahasiswa melalui fasilitas yang tersedia di prodi.
Ketika ada masalah spesifik terkait kinerja dosen individu, pendekatan personal dilakukan. Ketua prodi atau staf terkait akan menghubungi dosen tersebut untuk memverifikasi dan mencari solusi, tanpa mengangkatnya di forum rapat, demi menjaga etika.
“Paling kita seperti itu (kerja evaluasinya),” ucap Karina pada Rabu 3 Juli 2024.
Sementara itu, Krismono, Kaprodi Ahwal Syakhshiyah, memaparkan bahwa Divisi Akademik Fakultasnya kerap kali tidak memberikan data kuesioner tersebut ke prodi. “Kadang pernah dikasih, kadang nggak gitu loh, nggak teratur gitu,” ujar Krismono pada Senin 24 Juni 2024.
Hal tersebut mengakibatkan pihaknya dalam melakukan evaluasi tidak hanya berbasis dari data Divisi Akademik Fakultas, melainkan pihaknya berusaha untuk menelusuri langsung keluhan dari mahasiswa.
Krismono mengkritik bagaimana Divisi Akademik Fakultas melakukan penelusuran data. Ia menyebut bahwa metode angket yang digunakan Divisi Akademik Fakultas hanya berkutat pada ranah kuantitatif. Ia menilai, penting bahwa survei yang dilakukan juga menggunakan pendekatan kualitatif.
Dengan demikian, pihaknya menyelenggarakan Public Hearing. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan data kualitatif dari mahasiswa untuk memberikan masukan kepada prodi.
“Kualitatif itu berdasarkan wawancara, bukan angket. Dan itu akan lebih mengena karena kita bisa interaksi. Bisa diskusi,” ujarnya.
Reporter: Himmah/Abraham Kindi, Agil Hafiz, Ayu Salma, Putri Cahyanti, Queena Chandra, Sofwan Fajar
Editor: R. Aria Chandra Prakosa
*Naskah ini mengalami penyesuaian, dengan memperbarui foto ilustrasi naskah. Sebelumnya terjadi kesalahan teknis dalam pengunggahan foto ilustrasi. Sehingga foto ilustrasi ini perlu diperbarui.