Himmah Online – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengalami perubahan pada UU No. 1 Tahun 2023. KUHP baru memunculkan banyak pertanyaan seperti perbedaan, perubahaan, hingga kejelasan dari tiap isi di dalamnya yang dibahas dalam diskusi bertajuk Problematika Hukuman Mati Pasca Pengesahan KUHP Baru di Indonesia.
Diskusi ini menghadirkan Fatahillah Akbar, Akademisi FH UGM, Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Eko Prasetyo, Social Movement Institute, dan Kezia Khatwani, IMPARSIAL. Dilaksanakan di Ruangan Legal Drafting, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis (21/11).
Kezia Khatwani, menjelaskan poin penting terkait perbedaan antara KUHP lama dan KUHP baru. Dalam KUHP lama pidana mati diatur sebagai pidana pokok, sedangkan pada KUHP baru pidana mati diatur sebagai pidana alternatif.
Pada Pasal 100 KUHP baru, menegaskan bahwa terdapat “masa percobaan 10 tahun” yang secara otomatis diterapkan ketika hakim menjatuhkan vonis mati.
“Maksudnya masa percobaan ini gimana nih? apakah dicantumkan dalam putusannya? atau otomatis diterapkan? atau bagaimana?” Ungkap Kezia.
Menurutnya ketidakjelasan inilah menimbulkan death row phenomenon atau fenomena kombinasi penderitaan yang dirasakan akibat lamanya waktu tunggu eksekusi terpidana. Hasilnya terpidana secara langsung akan mengalami penghukuman sebanyak dua kali, yaitu secara psikis dan secara fisik.
“Jadi mereka di dalam tidak mendapatkan kepastian, kapan dia boleh dihukum mati,” Jelas Kezia.
Menurutnya penerapan Pasal 100 KUHP baru menjadi pertanyaan, karena di dalam pasal tersebut juga memiliki definisi yang ambigu pada kata “perilaku baik”.
“Nah disini kan belum jelas perilaku baik itu maksudnya apa kalau misalkan nggak ada parameter yang jelas,” Ungkap Kezia.
Eko Riyadi, menjelaskan bahwa hak hidup sudah ada jauh sebelum terbentuknya aturan negara dan hukuman mati saat ini merupakan pelanggaran UUD 1945 Pasal 28 ayat 1. Keduanya menjadi alasan utama mengapa hukuman mati harus dihapuskan.
“Jadi, negara ini punya konstitusi atau tidak, setiap manusia punya hak untuk hidup,” Jelas Eko Riyadi.
Menurut Kezia, peraturan KUHP baru perlu banyak direvisi. Karena hal ini akan berdampak pada pengadilan apabila terdapat salah penafsiran dalam pembacaan peraturan KUHP.
“Kalau orang dihukum seumur hidup, kalau keliru dia bisa dipulihkan. Kalau orang sudah mati, sudah dihukum mati, kan tidak mungkin nyawanya dikembalikan,” tammbah Kezia
Di akhir diskusi, Eko berharap apa yang didapat dalam diskusi ini dapat mendorong Indonesia menjadi lebih beradab. “Target ujungnya bagi kami adalah penghapusan,” pungkas Eko Riyadi.
Reporter: Himmah/Siti Zahra Sore, Giffara Fayza Muhlisa, Saipul Bahri, Ayu Salma Zoraida Kalman.
Editor: Staf Himmah/Mochamad Farhan Mumtaz