Tanggung Jawab Negara dalam Hak Pendidikan Anak

Himmah Online – Unit Kegiatan Mahasiswa Klinik Advokasi dan Hak Asasi Manusia (KAHAM UII) mengadakan talkshow mengenai “Pemenuhan Hak Pendidikan Terhadap Anak” yang diselenggarakan di Gedung Kuliah Umum Dr. Sardjito, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu (14/12). Dalam Acara ini KAHAM UII menggandeng M. Wahyudin Afrizqi, Komunitas Sekolah Marjinal (KSM) dan M. Syafi’ie dosen Fakultas Hukum UII sebagai narasumber.

Syafi’ie menjelaskan, konsep keberhasilan pemenuhan hak pendidikan anak oleh negara sebagai penjamin hak asasi manusia adalah dengan terpenuhinya ketersediaan fasilitas pendidikan yang layak, akses yang memadai, serta hasil yang dirasakan oleh anak-anak terutama dalam sektor pendidikan. 

Dia mengungkapkan, bahwa hak pendidikan anak mencakup berbagai aspek, termasuk hak berkembang, hak untuk bermain, dan hak untuk mendapatkan perlindungan khusus. Namun, dalam praktiknya masih banyak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi yang terjadi di sekolah-sekolah. 

“Di beberapa pesantren, anak-anak juga sering menghadapi perlakuan kasar dari kakak kelas mereka. Situasi ini menunjukkan bahwa banyak lembaga pendidikan belum benar-benar ramah anak,” ungkap Syafi’ie.

Banyak anak tidak mendapatkan kebebasan untuk berpendapat. Hal ini menjadi  penyebab perkembangan cara berpikir dan perilaku mereka terhambat. Pola ini perlu diubah agar anak-anak dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri dan kreatif. 

“Pola asuh yang ideal adalah pola asuh otoritatif, di mana anak diberikan kebebasan tetapi tetap dalam pengawasan,” Jelas Syafi’ie.

Prinsip yang harus diterapkan dalam upaya pemenuhan pendidikan adalah prinsip best interest of child. Anak-anak dapat berkembang sesuai dengan minat dan bakat mereka bukan sebagai cerminan ambisi orang tua ataupun guru. Sehingga, anak dapat mengekspresikan diri tanpa adanya tekanan.

M. Wahyudin Afrizqi, menjelaskan KSM bergerak dalam bidang pendidikan non-formal untuk anak jalanan agar mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan anak-anak dengan pendidikan formal. 

“Kami membantu mereka yang ingin melanjutkan pendidikan, tetapi terkendala oleh berbagai faktor. Saya sendiri bergabung sebagai relawan di komunitas ini,” jelasnya.

Afrizqi berpendapat bahwa salah satu faktor anak mengalami putus sekolah adalah kemiskinan struktural. Orang tua dengan perekonomian sulit, melahirkan anak-anak dengan situasi yang sama dan menciptakan siklus kemiskinan yang terus berulang.

“Masalah ini menciptakan lingkaran setan. Anak-anak tidak dapat bersekolah, sementara orang tua mereka tidak memiliki pendidikan atau pemahaman yang cukup untuk memperjuangkan hak anak-anak mereka.”

Faktor lainnya yaitu kurangnya dukungan dari keluarga yang menganggap pendidikan tidak begitu penting dan kurang relevan. Pendidikan dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga anak-anak seringkali diminta bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.

“Anak-anak yang bekerja di jalanan dianggap sebagai aset untuk membantu keuangan keluarga. Sayangnya, eksploitasi semacam ini masih sering terjadi, meskipun pendidikan formal tersedia secara gratis,” jelas Afrizqi

Pada Tahun 2018, tercatat sebanyak 42 juta Anak Indonesia  yang tidak memiliki akses pendidikan memadai. Sebanyak 20 persen dari angka tersebut berasal dari keluarga miskin. Bahkan di Jogja, sebagai kota pelajar, masih terdapat anak-anak yang tidak dapat bersekolah karena berbagai alasan seperti kemiskinan dan migrasi keluarga. 

“Banyak anak dari daerah seperti Solo, Magelang, dan Wonosobo datang ke Jogja tanpa identitas atau dokumen resmi, sehingga mereka kesulitan untuk mendaftar ke sekolah formal,” ungkap Afrizqi.

Terakhir, Afrizqi  berharap dengan adanya KSM dapat memberikan akses belajar bagi anak-anak yang tidak dapat masuk ke sistem formal, mensosialisasikan pentingnya pendidikan pada masyarakat, serta mengawasi peran negara dalam menyediakan akses pendidikan yang inklusif dan berkualitas. 

“Meskipun dampaknya terbatas, langkah ini setidaknya memberikan akses belajar bagi anak-anak yang tidak bisa masuk ke sistem formal. Kami juga terus berupaya membangun kesadaran di masyarakat tentang pentingnya pendidikan,” pungkas Afrizqi.

Reporter: Himmah/Fairuz Tito, Queena Chandra, Septi Afifah.

Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman.

Berita sebelumnya

Podcast

Baca juga

Terbaru

Skip to content