Himmah Online – 100 hari pemerintahan Prabowo tuai banyak catatan dari berbagai pihak. Survei bermunculan memberikan spekulan-spekulan positif maupun negatif dari berbagai masyarakat.
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII), mengadakan acara Srawung Demokrasi kelima ‘Rapor 100 Hari Pemerintahan Prabowo’. Acara ini mengundang Rocky Gerung, Pengamat Politik, Sukidi, Pemikir Kebhinekaan sebagai narasumber, dan Sri Hastuti sebagai moderator, pada Kamis (30/1), di Gedung Kuliah Umum (GKU) Sardjito UII.
Masduki, kepala PSAD UII, memberi sambutan sekaligus membuka acara dengan membacakan pernyataan sikap resmi yang dikeluarkan oleh PSAD UII. Menurutnya, banyaknya rentetan kasus yang terjadi selama 100 hari, sehingga masyarakat sipil perlu berperan sebagai pengawas pemerintahan, mengawal, dan mengetahui arah gerak pemerintah.
Masduki merinci kasus yang terjadi mulai dari pembentukan kabinet yang gemuk, kontroversi Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti IKN dan food estate, tata kelola program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bermasalah, pelibatan TNI yang masuk ke berbagai lembaga pemerintah, penggunaan buzzer dalam produk disinformasi, hingga tawaran pengelolaan tambang kepada kampus.
Sukidi, mengatakan 100 hari pemerintahan Prabowo ditandai dengan kematian demokrasi. Hal ini disebabkan oleh dua norma tidak tertulis yang tidak terpelihara.
Norma pertama, toleransi timbal balik, menurutnya, tidak terjadi pada Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Kompetisi tidak dihadirkan dengan setara dan adil, mereka yang bersama kekuasaan dan mereka yang berada di luar kekuasaan terdapat perbedaan yang kentara, dan justru yang terjadi adalah politik intimidasi dan politik ketakutan.
“Mereka yang bersama kekuasaan memperoleh privilege, memperoleh toleransi selebar-lebarnya. Sementara mereka yang berada di luar kekuasaan dan melawan kekuasaan, akhirnya mengalami intimidasi,” ungkap Sukidi.
Norma kedua, kepatuhan pada kesabaran institusional. Hal ini berfungsi agar Presiden menahan diri tidak melakukan intervensi terhadap lembaga lain. Instrumen yang sering digunakan untuk mengintervensi adalah hukum. Hukum digunakan sebagai senjata memenuhi kepentingan dan kemenangan politik semata.
“Alih-alih hukum dipatuhi, tetapi hukum is weaponized,” ungkap Sukidi.
Rocky Gerung mempertanyakan survei kepuasan 100 hari pemerintahan Prabowo yang menyatakan 80% masyarakat puas. Menurutnya, survei seharusnya menggunakan parameter prinsip republik, bukan pada kepuasan populis.
Sebelum dilaksanakannya survei, masyarakat harus terlebih dahulu mengetahui fakta-fakta yang ada di lapangan. Survei baru dianggap adil apabila fakta-fakta sebelumnya sudah disampaikan.
Rocky mengatakan, Prabowo seharusnya melakukan diskusi akademis untuk benar-benar mendengar evaluasi 100 hari yang berbasis kejujuran. Demokrasi harus didasarkan pada akal sehat, bukan sekadar produksi opini publik yang dikendalikan oleh lembaga survei.
“Jadi kelihatannya, kekuasaan (pemerintah) takut untuk mensurvei pikiran kampus, nah itu dia sogok dulu kampus (dengan tambang),” ungkap Rocky.
Menurut pengertian Rocky, demokrasi baru bisa terlaksana jika terdapat kecukupan akal untuk memeriksa argumen publik. Namun, jika itu tidak terjadi demokrasi hanya berubah menjadi pabrik informasi.
“Mesti ada standar berpikir kritis dulu, baru bisa kita ucapkan demokrasi,” pungkas Rocky.
Reporter: Himmah/Subulu Salam, R. Aria Chandra Prakosa, Septi Afifah
Editor: Ayu Salma Zoraida Kalman