Jejak Media Diaspora Dalam Sejarah Komunikasi Pergerakan Indonesia

Himmah Online – Media Diaspora memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran nasionalisme di luar negeri pada awal abad ke-20. Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi kembali menyelenggarakan diskusi bulanan bertema “Sejarah Media Diaspora Indonesia 1903–1933”. Acara ini dilaksanakan melalui platform Zoom Meeting pada Sabtu, (26/04) pukul 16.00 WIB. 

Diskusi tersebut menghadirkan Abdul Hair, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya sekaligus Mahasiswa Program Doktoral bidang Sosiologi di Universitas Edinburgh sebagai pembicara utama.

Dalam diskusi kali ini, Abdul Hair, menjelaskan bahwa sejak tahun 1903 hingga 1933, berbagai media yang didirikan oleh perantau Indonesia di Belanda dan kawasan Asia Tenggara menjadi ruang pertukaran informasi di antara komunitas diaspora dan berfungsi sebagai saluran utama dalam penyebaran ide-ide kebangsaan dan kemerdekaan. 

Ia juga menegaskan alasan pemilihan periode waktu tersebut karena rentang tahun 1903 hingga 1933 merupakan masa aktif pertama dan terakhir media diaspora Indonesia sebelum memasuki era kemerdekaan.

“Tahun 1903 itu pertama kalinya muncul media diaspora Indonesia, dan 1933 adalah terakhir kalinya media diaspora Indonesia terbit sebelum masa kemerdekaan,” ungkap Abdul Hair.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa keberadaan media diaspora sangat terkait dengan pergerakan anti-kolonialisme global. Kolaborasi lintas kawasan berperan penting dalam membentuk kesadaran nasional dan memperkuat gerakan perlawanan di berbagai belahan dunia.

“Para anti-kolonial nasionalis, tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga dari Asia, Afrika, Amerika Latin, hingga Eropa. Mereka saling bekerja sama menentang kolonialisme Eropa,” jelas Abdul.

Abdul juga menyoroti bagaimana media diaspora menjadi sarana penting untuk membangun identitas nasional Indonesia. Melalui media yang mereka terbitkan, warga Indonesia yang berada di luar negeri mengonsolidasikan gagasan tentang Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, serta memperkuat solidaritas dalam perjuangan anti-kolonialisme global.

Salah satu contohnya, Indische Vereeniging, yang didirikan pada 1908, dan mulai menerbitkan Hindia Putra pada 1916. Kemudian pada 1922, nama organisasi ini berubah menjadi Indonesia Vereeniging, dan pada tahun 1923 media mereka berubah menjadi Indonesia Merdeka. Pergantian nama ini menunjukkan bagaimana media diaspora Indonesia menjadi simbol perjuangan nasional yang tak terpisahkan dari gerakan perlawanan terhadap kolonialisme global.

Di akhir diskusi, Abdul Hair menegaskan bahwa kehadiran media diaspora Indonesia tidak hanya mencerminkan semangat kebangsaan, tetapi juga membuktikan pentingnya  kolaborasi antar nasionalis di berbagai belahan dunia dalam menentang kolonialisme. 

“Sebenarnya orang Indonesia itu, dalam memperjuangkan anti-kolonialisme, atau dalam hal memperjuangkan kemerdekaan, itu tidak cuma bekerja dari dalam Indonesia saja,” pungkas Abdul.

Reporter: Himmah/ Ghina Amelia Fitriani, Saiful Bahri, Fauzan Febrivo Azonde

Editor: Farhan Mumtaz

Baca juga

Terbaru

Skip to content