“Iwan ndak takut hantu, Buk. Iwan takut miskin.”
Iwan adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Kedua kakaknya perempuan, begitu pula kedua adiknya. Mbak Isa, Mbak Inan, Rini, dan Mira. Bapaknya hanyalah seorang sopir angkot yang angkotnya sering mogok lantaran semakin tua dimakan usia. Sementara ibuk, seorang ibu rumah tangga yang segala perhatian tercurahkan sepenuhnya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari demi keberhasilan anak-anaknya. Keluarga sederhana ini tinggal di kaki Gunung Panderman, Kota Batu, Malang.
Karena tumbuh di lingkungan perempuan, Iwan kecil sedikit berbeda dengan anak lelaki kebanyakan. Misalnya di hari pertama masuk sekolah dasar, Iwan takut sehingga ibuk harus menungguinya sepanjang hari. Iwan juga senang bermain di dapur bersama saudari-saudari perempuannya sampai-sampai bapak marah dan mengguyurnya dengan air. Iwan juga tak pandai berkelahi, ibuk harus melindunginya ketika Iwan pada suatu malam diajak berkelahi oleh seorang temannya di sekolah. Ibuk selalu berusaha agar anak-anaknya sejajar dengan anak yang lain. Ibuk adalah penghangat hati kami.
Namun, Iwan pintar matematika dan membuatnya menjadi juara kelas ketika pembagian rapor. Tapi tetap saja, bapak lebih suka jika Iwan bertindak seperti kehendak bapak: anak yang berani. “Dunia ini butuh orang yang berani,” kata bapak menasihati Iwan. Nasihat tersebut selalu terngiang dalam benak Iwan. Ia bertekad untuk bisa membahagiakan keluarga suatu hari nanti. Dimulai dari mimpi pertamanya, memiliki kamar sendiri. Maka, Iwan rajin belajar sampai malam hari. Ia tidak takut hantu, tetapi lebih takut kemiskinan. Bapak bekerja keras untuk tetap menyalakan mimpi anak-anaknya. Bapak itu pemberi nafas kami.
Selepas SMA, Iwan diterima di Jurusan Statistika, Institut Pertanian Bogor (IPB), melalui jalur PMDK atau tanpa tes. Sayang, bapak kurang setuju. Bapak lebih berkeinginan agar Iwan membantu bapak di jalan sebagai kenek angkot. Bapak merasa lebih berwenang menentukan jalan hidup anak laki-lakinya karena Iwan adalah jatah bapak. Tidak seperti saudari-saudari perempuan Iwan yang merupakan jatah ibuk. “Keluarga ini butuh kamu, Bogor ndak butuh kamu!” seru bapak. Sampai akhirnya, Iwan dengan berani mengatakan bahwa setiap anak tidak bisa memilih orangtuanya, setiap anak adalah sama di mata orangtuanya. Bapak pun luluh, bapak menjual angkotnya untuk biaya hidup Iwan di Bogor.
Seperti yang sudah ditebak, perjuangan Iwan pun membuahkan hasil. Iwan mendapatkan nilai terbaik di kelas, lulus juga dengan predikat terbaik, dan diterima kerja di sebuah kantor di Jakarta dengan prestasi kerja yang baik pula. Banyak proyek pengolahan data yang berhasil ditangani Iwan. Gaji yang diterima Iwan pun sebagian dikirimkan ke keluarganya di Batu. Hingga suatu hari, ia diterima kerja di New York. From the city of apple to the big apple!
Film ini tidak jauh berbeda dengan novelnya sehingga kesan alur yang datar begitu kentara. Konflik dalam film ini adalah perjuangan melawan kemiskinan demi kehidupan yang lebih baik, nyaris tanpa klimaks. Begitu juga kelanjutan kehidupan asmara Iwan yang mungkin membuat sebagian penonton berpikir, “Apakah Iwan tidak terpikir untuk menikah?” Film ini diceritakan dengan gaya flashback. Iwan diceritakan mengalami kesendirian yang melankolis sehingga muncul bayang-bayang dirinya ketika kecil dulu. Tidak didetilkan apa yang dimaksud dengan “kesendirian” tersebut, apakah karena hidup seorang diri di tengah kota metropolitan dunia, apakah karena ingin mengenang masa lalu, ataukah bimbang karena jauh dari orang-orang tercinta. Iwan lalu memutuskan untuk kembali ke tanah air.
Terlepas dari semua itu, film ini sarat akan pesan moral. Film ini mengajarkan kita untuk tidak menyesali apa yang telah terjadi dan tetap menatap apa yang selanjutnya akan terjadi. “Kita tidak bisa memilih masa lalu, tapi masa depan, kita sendiri yang melukiskannya.” (Ahmad Satria Budiman)