Kerusakan Alam Karst Berkaitan Erat dengan Kemiskinan

Ada benarnya memang kata Presiden Soekarno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Masih ingat dengan perjuangan masyarakat Samin yang melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Negara? Mereka semata-mata mempertahankan haknya, tanah dan air sebagai sumber kehidupannya. Mereka semata-mata mencari keadilan sebagaimana tercantum di dalam Pancasila, yaitu sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Persoalan antara masyarakat versus pabrik semen bukan hanya terjadi di sekitar Jawa Tengah saja. Usaha pabrik semen mengeksploitasi alam berlangsung pula hingga ke ujung barat Indonesia, tepatnya di Laweung, Kabupaten Pidie dan di Kaloy, Kabupaten Aceh Tamiang. Dalam tulisan ini, penulis memberikan batasan pembahasan mengenai persoalan di sekitar Laweung.

Pernyataan Ghazali Abbas Adan, Wakil Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), menyatakan rasa sedihnya apabila rencana pembangunan pabrik semen di Laweung terhenti melalui tulisan di media aceh.tribunnews.com pada 17 Oktober 2017. Menurut Ghazali Abbas, pabrik semen di Laweung dapat memberikan dampak positif bagi ekonomi.

Sekarang mari kita coba membicarakan sedikit terkait pembangunan pabrik semen yang konon katanya memberikan dampak positif bagi ekonomi. Berawal dari pembangunan. Setiap pembangunan itu berisiko. Risiko itu bisa terjadi sekarang, kemudian hari, atau masa yang akan datang. Lalu pertanyaannya, apakah kita siap dengan risiko-risiko pembangunan pabrik semen?

Kalau memang sudah siap dengan segala risiko-risiko pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia Aceh (SIA) di Laweung, Pidie, Aceh, maka kita telah siap menghirup debu bersama, siap membeli air bersih untuk kebutuhan hidup, dan bersiap melihat lahan garapan masyarakat yang terancam. Belum lagi, dampak yang bisa terjadi secara biologis.

Di dalam Gua Tujuh—gua dekat pembangunan pabrik di Laweung—ada kelelawar pemakan serangga Subordo Microchiroptera yang jumlahnya ribuan ekor. Kelelawar ini mempunyai peranan penting bagi ekosistem dan manusia sebab tiada ada di bumi ini yang diciptakan oleh Tuhan dengan sia-sia. Hal ini sesuai dengan surat Ali Imran ayat 191 bahwa seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah termasuk satwa tidak ada yang sia-sia dan memiliki manfaat.

Berdasarkan penelitian, kelelawar tersebut mampu memakan hingga 6.000 nyamuk setiap jamnya. Penelitian lain menyebutkan kelelawar ini mampu memakan serangga seberat 1/4–1/2 berat badannya. Terancamnya populasi kelelawar akibat kawasan karst habitat mereka rusak oleh pertambangan dapat menyebabkan hewan ini pindah ke tempat lain. Sementara itu, masyarakat sekitar Laweung mayoritas adalah petani. Maka, migrasi kelelawar akan berdampak pada lahan-lahan petani di radius 20 kilometer dari Laweung dan sekitarnya. Masyarakat tersebut bisa mengalami gagal panen. Kenapa? Sebab tidak ada yang memangsa hama di sawah mereka. Secara otomatis pula, pembelian pestisida juga akan meningkat.

Perlu diingat bahwa kerusakan lingkungan berkaitan erat dengan bencana, dan bencana berkaitan erat dengan kemiskinan.

Lalu, coba merenung sejenak sambil berpikir. Adakah pabrik-pabrik semen yang sudah berdiri terbukti menyejahterakan masyarakat? Dengan adanya pabrik semen, apakah masyarakat yang mendapatkan keuntungannya? Ataukah para pemilik modal yang lebih diuntungkan?

Berbicara soal pembangunan, berbicara soal perekonomian ataupun soal kesejahteraan bukan cuma berdasarkan satu sudut pandang, tetapi butuh kajian keilmuan, butuh penelitian, dan butuh analisa secara mendalam biar tidak sekadar asal ngomong.

Poin selanjutnya adalah dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) PT SIA yang hingga hari ini masih dalam tahapan revisi. Hal ini dikarenakan dokumen amdal PT SIA bodong, serta belum bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana kita bisa mengatakan dengan adanya pabrik semen di Laweung dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian jika amdalnya saja sudah bermasalah?

Sekarang, tinggal bagaimana masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Laweung pada khususnya merespons hal ini. Jangan sampai dibodoh-bodohi dengan “diberikan sedikit angin surga” dan menerima pembangunan pabrik begitu saja.

Ekowisata, Salah Satu Alternatif yang Tidak Merusak Alam Karst

Setelah tiba di Gua Tujuh, ada berbagai keindahan batuan karst yang bisa kita lihat. Gua ini salah satu tempat aulia (mulia) yang zaman dahulu digunakan untuk beribadah juga. Sayangnya, tempat ini tidak terawat. Anak-anak zaman sekarang pergi ke sana bukan untuk menikmati keindahan alam karst atau menjadikan tempat tersebut media edukasi, melainkan untuk mencoret-coret dinding gua.

Di sekitar Laweung, ada banyak gua lainnya. Sekitar 4 kilometer dari Gua Tujuh, terdapat gua yang berisikan walet. Sebagian masyarakat memanfaatkannya sebagai tambahan penghasilan mereka. Itu artinya, kita bisa memanfaatkan kekayaan alam tersebut tanpa harus merusaknya.

Hal lain yang bisa dilakukan ialah menawarkan jasa lingkungan atau ekowisata. Jasa lingkungan ini, dapat dikelola secara bersama-sama dan bisa dijadikan sumber pendapatan masyarakat sekitar. Seperti di Tiongkok, kawasan karst dilestarikan sebagai tempat rekreasi sebab karst merupakan basis dari flora dan fauna endemik.

Dalam Alquran surah Al-Qashash ayat 77, Allah berfirman yang artinya, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Ayat tersebut dengan tegas melarang perbuatan merusak. Janganlah sampai kita sesat berpikir dengan mencari kekayaan yang dilandasi nilai keserakahan kemudian merusak alam. Sebagai manusia, sudah seharusnya menyadari pentingnya keseimbangan alam ini demi keberlangsungan hidup bagi seluruh makhluk.

Jika sebagian orang berpikir dengan adanya pabrik semen di sekitar Laweung membantu ekonomi masyarakat, sebaiknya mereka melakukan kajian dari berbagai disiplin ilmu agar tidak sesat dalam bertindak. Lalu, jika masih berkeinginan mendapatkan keuntungan dari alam, maka alternatifnya adalah dengan menjadikan lokasi karst tersebut sebagai objek wisata di Laweung.

(Naili Jannati – Alumnus Program Studi Ekonomi Islam UII 2012)

Serial Laporan Khusus:

Skip to content