Beberapa waktu lalu muncul 12 statement dari Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, yang mencoba mengklarifikasi berbagai anggapan dari politisi maupun ekonom tentang utang negara. Dalam statement tersebut, berisi jabaran pemahaman serta himbauan kepada berbagai pihak untuk tidak sembarangan berpendapat terkait utang negara yang akan mengalami masa krisis. Lebih lanjut beliau mengutarakan bahwa utang bukan menjadi satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian negara.
Benar adanya, masih banyak instrumen kebijakan fiskal lainnya untuk mengelola perekonomian (dalam hal ini APBN). Namun, instrumen utang juga bukan menjadi hal yang dapat dipandang sebelah mata. Jika pemerintah tidak menganggap rasio utang negara saat ini dengan serius, maka tidak dapat ditampik bencana krisis utang akan melanda Indonesia.
Berdasarkan data dari Institute for Development Economics and Finance (INDEF), total utang negara sampai saat ini sudah mencapai Rp7.000 triliun. Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan swasta. Utang pemerintah dilakukan untuk membiayai defisit anggaran, sedangkan utang swasta oleh korporasi swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kebijakan anggaran defisit dalam bauran fiskal bertujuan untuk menstimulus perekonomian dengan cara membuat pengeluaran negara untuk belanja dan pembangunan lebih besar daripada pemasukan dalam kurun waktu tertentu. Kebijakan ini diterapkan sebab Indonesia sedang mengalami masa resesif.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Kementerian Keuangan menyatakan total utang pemerintah tahun 2018 hanya Rp4.772 triliun. Angka tersebut melonjak dari Rp3.165,3 triliun (2015) menjadi Rp3.466,96 triliun (2017). Dalam APBN Februari 2018, utang negara mencapai Rp4.034,8 triliun dan APBN 2018 Rp4.772 triliun. Untuk utang luar negeri swasta mencapai Rp2.322 triliun. Maka jika dikalkulasikan total utang negara sudah mencapa kisaran Rp7.000 triliun.
Melihat dari data total utang negara, tidak heran banyak ekonom maupun politisi yang angkat bicara dengan tujuan mengkritik bahwa pemerintah tidak dapat mengelola perekonomian dengan baik. Pasalnya utang pemerintah yang mencapai Rp 4.034 triliun pada Februari lalu selalu dijelaskan oleh pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Pemerintah pun mencoba menjabarkan kepada masyarakat bahwa penambahan utang untuk infrastruktur tidak masalah dan disebut-sebut sebagai utang produktif.
Akan tetapi, melihat perkembangan utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), batasan utang perlu dikaji kembali karena dinilai terlalu sederhana. UU Keuangan Negara No. 17 Tahun 2003 Pasal 12 Ayat 3 menjelaskan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari PDB dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB. Artinya rasio utang pemerintah pada Februari lalu sebesar 29,2% masih dalam kategori aman. Namun batasan psikologis jumlah pinjaman maksimal ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada kisaran 30% dari PDB. Lebih lanjut proyeksi rasio utang pada tahun 2019 mendatang diperkirakan akan mencapai 32% lebih. Artinya akan melewati batasan psikologis rasio utang yang ditetapkan. Maka pemerintah harus segera mengatasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi yaitu krisis utang.
Hasil analisa dari krisis utang yang terjadi di Eropa pada 2013–2015 silam harusnya dapat menjadi rujukan bagi pemerintah. Adanya program bailout troika International Monetary Fund (IMF) mengharuskan beberapa negara seperti Irlandia dan Spanyol yang mempunyai rasio utang sebesar 43% dan 39% pada tahun 2008 mau tidak mau masuk dalam daftar negara yang harus ditolong. Sebaliknya negara seperti Italia dan Belgia yang memiliki rasio utang 100% tidak masuk dalam daftar troika. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa bukan berarti rasio utang irelevan, tetapi indikator lain juga harus disertakan agar tidak menyederhanakan utang.
Perlu dipahami juga bahwa rasio pajak tiap negara berbeda. Itu disebabkan karena utang bukan dibayar menggunakan PDB melainkan dibayar dengan penerimaan pajak. Sedangkan rasio pajak di Indonesia hanya 11,9%, lebih rendah dibandingkan Filipina 12,9%, Singapura 14%, Thailand 16,5% dan Malaysia yang mampu mencapai rasio pajak sebesar 16,1%. Artinya pertumbuhan rasio pajak di Indonesia dibawah pertumbuhan PDB.
Alhasil, defisit primer akan terjadi karena penerimaan negara tidak cukup untuk menutupi belanja negara yang belum termasuk pembayaran pokok dan utang. Mau tidak mau pemerintah harus menerbitkan utang baru untuk membayar utang sebelumnya. Maka tidak dapat disangkal jika Indonesia akan mengalami krisis utang jika pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan tidak dapat mengatasi masalah penerimaan pajak.