Tepat hari ini, 21 Mei 2018 merupakan peringatan hari lahirnya reformasi. Lahirnya reformasi pada tahun 1998 mengakhiri rezim orde baru yakni turunnya Soeharto yang menjabat sebagai presiden Republik Indonesia kedua.
Himmah Online, Jakarta – Seperti yang kita ketahui, proses transisi dari dari era orde baru ke reformasi adalah masa yang paling berkesan dan bersejarah di pelupuk mata kaum-kaum yang hidup pada zamannya. Bagaimana tidak, transisi orba ke reformasi bukanlah sekadar pergantian Presiden, lebih dari itu, ini merupakan bentuk transisi demokrasi yang melibatkan seluruh elit-elit yang ada, perjuangan aktivis yang tak jarang bersimbah darah, berkutat dengan ideologinya masing-masing demi mendapatkan sebuah reformasi dan kebebasan berdemokrasi.
Seperti yang dikutip dari buku Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia oleh Denny J, A menjelaskan bahwa, lantas setelah jatuhnya Soeharto, kita mau kemana? Apa yang akan kita lakukan? Dari sana akan ada tiga kemungkinan politik yang akan terjadi, adanya reformasi, terjadinya revolusi, atau involusi.
Kemudian, untuk menentukan hasil akhir politik tadi, berlomba-lombalah para elit dengan program, strategi, dan aliansinya yang beragam dan menimbulkan konflik dalam mencapai konsensus.
Kesimpulan yang dapat diambil dari teori para elit dapat dibagi jadi beberapa jenis. Diantaranya yaitu elit yang memepertahankan tubuh pemerintahan bergaris keras, menginginkan adanya perubahan, oposisi yang ingin adanya perubahan moderat, atau justru menginginkan perubahan berwujud radikal.
Reformasi bukanlah hal yang dapat terjadi begitu saja ketika banyaknya persaingan ideologi politik yang terjadi di Indonesia. Untuk mewujudkan reformasi, kepemimpinan kolektif sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan persaingan kepemimpinan diantara banyak tokoh politik. Seperti Deklarasi Ciganjur tahun 1998 yang ditandatangani oleh Gus Dur, Megawati, Amien Rais, dan Hamengkubuwono X merupakan awal yang baik dalam menekan revolusi dan involusi, jika mereka juga dapat mengurangi ketertarikan masyarakat terhadap revolusi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pengaruh yang kuat atas kepercayaan kepada lembaga pemerintahan dan konstitusi yang ada di dalamnya bukan diganti namun dibenahi secara substansi.
Belum selesai dengan perjuangan para elit politik, kemunduran Soeharto sebagai presiden pada puncaknya sebenarnya disebabkan oleh pergerakan mahasiswa yang dilatar belakangi oleh krisis moneter. Kebijakan yang diambil pada saat krisis moneter itu terjadi membuat Indonesia semakin tenggelam dalam keterpurukan ekonomi. Lebih jauh dari itu, akar dari timbulnya gerakan ini sebenarnya bentuk lain dari kemuakan kaum-kaum terpelajar atas rezim otoriter yang menurut mereka harus direformasi dari segi ekonomi dan politik.
April 1998, adalah awal mula gencarnya media massa dalam meliput aksi yang digelar para mahasiswa yang menyuarakan keresahan dan keprihatinan mereka atas apa yang terjadi di tanah air mereka sendiri. Berbagai universitas negeri maupun swasta terlibat dalam banyak aksi yang digerakkan oleh perkumpulan mahasiswa yang lain.
Ada enam tuntutan yang digaungkan para mahasiswa dalam usahanya membangkitkan reformasi yaitu penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, mengadili Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri, serta pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Kompas.com yang berjudul Kronologi Kelengseran Soeharto, Mei 1998 menjelaskan kronologi yang terjadi selama proses jatuhnya orde baru, yaitu pada tanggal 15 April 1998, Soeharto meminta mahasiswa kembali ke kampus dan berhenti berunjukrasa dengan protes-protes yang dapat menimbulkan terjadinya reformasi politik.
Lalu pada tanggal 18 April 1998, dialog rencananya akan diadakan antara mahasiswa dengan Menteri Ketahanan dan Keamanan Wiranto beserta 14 menteri Kabinet Pembangunan yang berujung ditolak oleh perwakilan mahasiswa dari berbagai universitas.
Pada tanggal 1 Mei 1998, Alwi Dahlan selaku Menteri Penerangan dan Hartono yang saat itu menjadi Menteri Dalam Negeri mewakili Soeharto menyatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003 namun pernyataan ini diralat pada tanggal 2 Mei 1998 dengan mengatakan bahwa reformasi bisa dilakukan saat itu.
Kerusuhan mulai tak terbendung lagi sejak saat itu. Tercatat pada tanggal 4-12 Mei demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di berbagai daerah khususnya di Medan, Bandung, dan Yogyakarta yang berakhir ricuh dan bentrok dengan aparat keamanan.
Jurnal yang meneliti tentang Signifikansi Surat Kabar Kompas dalam Pemberitaan Peristiwa Reformasi 98, Volume 4, No. 3, Oktober 2016 oleh Devi Febriyanti mencatat kronologi yang menyulut amarah rakyat pada tanggal 12 Mei 1998 terjadi ketika mahasiswa Trisakti melakukan aksi demonstrasi damai yang berujung pada kematian empat mahasiswa dari Universitas tersebut.
Setelah pemakaman keempat mahasiswa yang gugur, tanggal 13 Mei 1998, mahasiswa dan masyarakat melakukan aksi besar-besaran yang berpusat di Jakarta. Disamping itu, mahasiswa tetap menggelar aksi demonstrasi yang menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya. Sedangkan pada saat itu tanggal 9-14 Mei 1998 Soeharto berada di Mesir dalam kujungannya menghadiri KTT G-15 dan kembali ke tanah air pada tanggal 15 Mei 1998.
Lalu pada tanggal 18 Mei 1998, mahasiswa berhasil menduduki kantor DPR/MPR yang memicu pimpinan DPR menyatakan presiden sebaiknya segera mundur. Dalam arsip surat kabar Kompas yang berjudul Pimpinan DPR: Sebaiknya Pak Harto Mundur diucapkan Harmoko 18 Mei, ketua DPR pada saat itu usai Rapat Pimpinan DPR.
Kondisi yang berlangsung pada pertengahan Mei dapat digambarkan berubah menjadi kerusuhan. Banyaknya gedung terbakar dan ratusan manusia tewas seketika. Aksi ini bahkan digelar di berbagai kota besar di Indonesia yang nasibnya serupa berujung menjadi aksi yang anarkis. Ratusan penduduk asing pergi meninggalkan Indonesia dan yang tetap tinggal merasa ketakutan akibat terror dan kekerasan. Dalam Bab 3 buku Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia mendeskripsikan kejadian tersebut, “Kondisi itu sangat mencekam tidak ubahnya seperti sedang berlangsungnya sebuah perang sipil.”
Surat kabar kompas.com dan merdeka.com mencatat lagi apa yang terjadi pada 19 Mei 1998, sekitar pukul 09.00, Soeharto mengadakan pertemuan dengan sembilan orang termasuk ulama dan tokoh masyarakat diantaranya Nurcholis Madjid, Abdurrachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie, Emha Ainun Nadjib, Yusril Ihza Mahendra, Sumarsono, KH Cholil Baidowi, dan Achmad Bagdja. Pertemuan itu dilakukan selama 2,5 jam membahas situasi terakhir terkait kepemimpinan Soeharto dan tuntutan-tuntutan mahasiswa yang ditujukan padanya.
Pagi 20 Mei 1998 Kumparan.com yang berjudul Senja Soeharto Memimpin Negeri menceritakan, terjadi pemblokadean jalan menuju lapangan Monumen Nasional dengan kawat berduri oleh aparat keamanan. Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais, bersama para aliansi mahasiswa turut bergabung dalam aksi ini menuntut Suharto mundur di Gedung MPR/DPR yang dikawal oleh 80.000 tentara.
Surat kabar Merdeka edisi 20 Mei 1998, Presiden Soeharto menjelaskan bahwa tidak ada masalah baginya jika ia mundur dari jabatan. Pernyataan Soeharto tersebut mempertegas pemberitaan mengenai pernyataan ketua DPR yang meminta ia turun dari kursi kepresidenan. Karena tuntutan-tuntutan para mahasiswa tersebut tidak bisa dielakkan lagi ketika situasi ekonomi yang terjadi sangat genting. Ditambah lagi situasi politik mengalami kegagalan dalam pembentukan kabinet yang mendapatkan penolakan oleh 14 menteri Kabinet Pembangunan VII. Dari situasi-situasi inilah yang menjelaskan bagaimana posisi Soeharto dan pemerintahannya tidak lagi mempunyai kredibilitas bahkan kepercayaan lagi dari rakyatnya sendiri.
Puncak berakhirnya rezim orde baru dan tuntutan-tuntutan yang selama ini digemakan mahasiswa untuk membangkitkan reformasi akhirnya terwujud pada tanggal 21 Mei 1998. Pada saat itu, di Istana Merdeka, pukul 09.00 Soeharto membacakan pidato yang mengumumkan dirinya berhenti dari jabatan presiden saat itu.
“Saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Sejak beberapa waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi itu perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi itu tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi.
Sesuai dengan Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ir. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan presiden/mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga akan melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.”
Pidato yang dibacakan oleh Soeharto langsung menjadi perbincangan media di seluruh dunia. Berbagai media besar seperti New York Times , Wall Street Journal sampai Washington Post, menjadikan peristiwa ini sebagai berita utama. Bahkan CNN terus menerus mengulang kisah ini di TV. Media-media tersebut menggambarkan bahwa seorang politisi besar dunia era perang dingin telah turun tahta. Karena, mulai dari sinilah Indonesia bergerak lagi tanpa Soeharto setelah 32 tahun masa kepemimpinannya.
Reformasi memang bukanlah suatu solusi mutlak atas segala yang terjadi di Indonesia. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kebangkitan reformasi tahun 1998 merupakan fondasi utama terjalinnya demokrasi di Indonesia. Kini masyarakat dapat bebas berekspresi dan menyuarakan pendapatnya atas ketidakadilan yang terjadi di bumi pertiwi tanpa kecaman dari siapa pun. Pidato yang dibacakan 21 Mei 1998 tersebut sebagai tanda bahwa aspirasi mahasiswa dan seluruh rakyat kini didengar dan dapat membawa perubahan yang signifikan bagi pemerintahan.
Reporter: Armarizki Khoirunnisa D.
Editor: Audy Muhammad Lanta