Indonesia Belum Layak Menyandang Status Negara Maju

Sejak 10 februari 2020 lalu, United State Trade Representative (USTR) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang dalam organisasi perdagangan dunia. Namun status negara maju tersebut malah membuat beban bagi pebisnis lokal. 

Sebagian pebisnis seperti Sarman Simanjorang selaku ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia dan Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menanggapi status tersebut banyak merugikan sektor dagang indonesia. Dicabutnya berbagai hak istimewa yang selama ini melekat pada Indonesia seperti bea masuk dan bantuan lainnya dalam aktivitas ekspor impor dianggap sangat merugikan. 

Selain itu konsideran yang dipakai untuk mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang masih dianggap tidak relevan dalam ukuran ekonomi. Dapat dilihat dari Gross Domestic Product (GDP) Per kapita yang terakhir dirilis oleh Bank dunia, GDP per kapita Indonesia masih di angka $3.893,60 per tahun sedangkan negara maju minimal berada pada $8.000,00 per tahun. 

Dalam hal ini gini rasio Indonesia pun masih keteteran. Terlihat data rasio gini Indonesia terakhir yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih berada pada angka 0,38 yang menggambarkan kesenjangan antara “si kaya” dan “si miskin” di Indonesia masih sangatlah tinggi. kedua Hal tersebut menjadi tolak ukur bahwa Indonesia belum layak dikatakan sebagai negara maju.  

Indonesia bersama dengan Tiongkok, India dan beberapa negara lainnya yang dicabut statusnya dari negara berkembang. Dalam beberapa pernyataan yang disampaikan USTR,  beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dihapuskannya status tersebut adalah keterlibatan negara tersebut sebagai anggota G20. Kebijakan Bank Dunia pun juga ikut andil yaitu dalam penetapan ambang batas atas oleh Bank Dunia dengan negara berpenghasilan tinggi dan negara berpenghasilan rendah. 

Bukan hanya Amerika Serikat, status negara maju Indonesia juga masih dianggap suatu hal yang positif. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pencabutan Indonesia dari status negara berkembang oleh Amerika Serikat (AS) bukan suatu masalah. Malahan, hal itu dinilainya membanggakan karena Indonesia bisa berada di status negara maju, meski dalam versi AS..

Bukan hanya Airlangga Hartarto sebagian kalangan masyarakat juga berpendapat demikian, mereka menanggapi status tersebut merupakan cerminan kuatnya perekonomian Indonesia yang sekarang sejajar statusnya dengan negara maju seperti Amerika Serikat. 

Mereka juga menganggap dengan status tersebut menjadi suatu kelebihan dalam hal berdiplomasi dan martabat suatu bangsa. Namun, status hanyalah status, di tengah perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat ini tentunya kebijakan  tersebut diambil bukan tanpa perhitungan. 

Ajib Hamdani selaku ketua Himpunan Pengusaha Muda  Indonesia sepakat menilai Kebijakan tersebut dilatarbelakangi untuk memperbaiki neraca dagang Amerika Serikat yang beberapa tahun belakangan ini selalu defisit saat diwawancarai di salah satu stasiun televisi Indonesia (04/02/20). 

Pada tahun 2019 dikutip dari News Research Center (NRC) neraca dagang Indonesia dan Amerika Serikat selalu mengalami defisit. Penjualan Indonesia ke Amerika Serikat berkisar $17,72 miliar dan pembelian Indonesia dari Amerika Serikat hanya $9,26 miliar. 

Bila ditotal, surplus Indonesia berkisar $8,46 miliar. Hal tersebut tentulah menguntungkan bagi Indonesia dengan angka surplus yang begitu besar. Namun, di bawah kepemimpinan presiden Donald Trump keuntungan tersebut bukan hal yang baik untuk perdagangan Amerika Serikat. 

Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus mengusulkan Indonesia mendeklarasikan penolakan terhadap pencabutan status negara berkembang. Jika tidak, dikhawatirkan akan ada dampak berkelanjutan dari pencabutan status ini. 

Sebagian pebisnis lainnya juga mengharapkan pemerintah menegosiasi ulang terkait kebijakan tersebut. Banyaknya beban tanggungan setelah kehilangan Generalized System of Preferences (GSP) yaitu bea masuk rendah untuk ekspor tujuan Amerika Serikat sehingga membuat ekspor Indonesia kalah bersaing dari negara seperti Thailand, Vietnam dan Malaysia. 

Hal itu juga senada dengan yang diutarakan oleh Sarman Simanjorang selaku ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. “Dari sisi bisnis mereka ini adalah politik dagang nanti Amerika Serikat itu mampu melakukan intervensi, proteksi dari barang impor baik dari Tiongkok maupun Indonesia, mereka mungkin sesukanya menaikan tarif ini akan menjadi tantangan bagi kita,” ucap Sarman saat diwawancarai di salah satu stasiun televisi swasta. 

Indonesia memang menargetkan menjadi negara maju pada tahun 2045 selaras dengan awal Pidato kenegaraan pertama Presiden Jokowi periode kedua, “Mimpi kita, cita-cita kita di tahun 2045 pada satu abad Indonesia merdeka mestinya, Insya Allah, Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah,” kata Jokowi.

“Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Itulah target kita. Target kita bersama,” imbuh Jokowi di Gedung MOR, Minggu (20/10/19).

Dengan target ini, GDP nasional bisa mencapai $7,4 triliun atau menempati lima besar di dunia. Namun siapa sangka mimpi 2045 itu sudah datang duluan, gini rasio masih di angka 0,38 dan GDP per kapita yang masih $3.800,00 telah dianggap oleh Amerika Serikat sebagai negara maju. 

Namun sebelum berangan-angan jauh menjadi negara maju parameter pembangunan sosial seperti angka kematian bayi dan tingkat harapan hidup juga harus ditingkatkan. Utamanya adalah tingkat kemiskinan. 

Berdasarkan data dari Katadata (08/10/19), penduduk dengan Tingkat kemiskinan di perdesaan non metro sebesar 14,6%, sedangkan masyarakat yang mengalami rentan kemiskinan mencapai 27,9%. Angka kemiskinan tertinggi selanjutnya terdapat di perkotaan non metro, yaitu tingkat kemiskinan sebesar 11,4% dan rentan kemiskinan sebesar 26,1%.

Bersamaan dengan status negara maju ini Indonesia harus bersiap-siap. Setidaknya untuk beberapa bulan ke depan para pebisnis dan pemerintah dapat melakukan langkah strategis yang tepat. Satu di antaranya adalah memperluas ekspor dari negara selain Amerika Serikat. 

Inovasi dan kualitas kontrol juga menjadi kunci kekuatan ekspor Indonesia. Dengan kualitas yang terjaga dan inovasi yang baik diharapkan tetap dapat mempertahankan minat beli  barang dagang Indonesia di pasar global.

*Analisis/Retorika ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Himmahonline.id.

Serial Laporan Khusus:

Skip to content