Masih lekat di dalam ingat ihwal pesona rempah Nusantara pada zaman dahulu kala, saat bangsa-bangsa Eropa berbondong-bondong menelusuri asal-muasal rempah yang memang menjadi primadona pada masa itu. Tak hanya sibuk menelusuri, mereka sampai harus saling berperang untuk menguasai rempah-rempah Nusantara–baik cengkeh maupun pala.
Padahal perjalanan dari Eropa ke Nusantara dan sebaliknya membutuhkan biaya pelayaran yang tidak murah serta risiko kehilangan nyawa, sebab masa tempuh perjalanan pulang-pergi Eropa-Nusantara dapat memakan waktu lebih dari satu tahun.
Lantas, apa yang membuat bangsa-bangsa Eropa rela mengorbankan itu semua demi mendapatkan sesuatu yang bernama rempah-rempah? Sememesona itukah rempah-rempah? Jika dulu sememesona itu, mengapa tiba-tiba pesona itu memudar? Apa yang membuat rempah-rempah kehilangan marwahnya? Puncaknya, adakah cara untuk menghidupkan kembali marwah rempah-rempah?
Pesona Rempah-Rempah
Penyebab utama rempah-rempah diperebutkan sebenarnya mudah ditebak, karena senada dengan hukum ekonomi, yakni gegara rempah memiliki harga jual yang sangat tinggi.
Bayangkan saja, segenggam cengkeh atau pala bisa sebanding dengan harga emas batangan. Sementara itu, harga yang terbilang fantastis tersebut merupakan akibat dari permintaan yang tinggi, padahal ketersediaan barang dapat dikategorikan sangat langka.
Sebut saja cengkeh yang hanya ada di Nusantara hingga abad ke-17 dan juga pala yang menjadi satu-satunya di dunia hingga abad ke-18. Atas dasar inilah, bangsa-bangsa Eropa rela bertaruh nyawa dan mengorbankan waktunya untuk berburu rempah, karena keuntungan yang diperoleh melebihi risiko yang harus dihadapi.
Rempah banyak diminati karena beberapa faktor, mulai dari rasa, obat, hingga simbol status sosial. Tak heran jika Jack Turner (2011) dalam Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme mengatakan bahwa rempah memang mempunyai ‘kekuatan sihir’ yang berhasil membuat manusia di seluruh belahan dunia terpesona.
Pada dasarnya, rempah memang digunakan untuk memberikan aroma dan dan rasa yang khas pada sebuah makanan, namun menurut laporan UCLA History & Special Collections Louise M. Darling Biomedical Library pada tahun 2002, rempah juga digunakan untuk pengawet sekaligus sebagai obat-obatan, bahkan sejak 5000 tahun sebelum masehi.
Di Mesir, rempah sudah digunakan untuk pengawetan jenazah (sebagai balsam). Lain lagi di Palestina yang memberdayakan rempah untuk kecantikan sejak 1000 tahun sebelum masehi. Sementara di Yunani, rempah dimanfaatkan sebagai obat-obatan sejak 500 tahun sebelum masehi.
Hebatnya lagi, pada tahun 1350 rempah dimanfaatkan sebagai fumigan (semacam alternatif pengganti insektisida sintetik) dan obat untuk mengatasi wabah Black Death. Laporan ini juga dikuatkan dengan pernyataan Bartolome Leonardo de Argensola (2016) dalam The Discovery and Conquest of the Molucco and Philippines Islands, bahwa pala biasa digunakan untuk melancarkan pencernaan, mengusir napas yang menyiksa hidung, membersihkan penglihatan, hingga mencerahkan kulit wajah.
Tak hanya fungsi rasa dan fungsi obat, rempah juga digunakan sebagai simbol status sosial oleh kaum elite di Roma. Rempah menjadi barang mewah yang hanya dimiliki dan digunakan oleh masyarakat lapisan atas.
Ketika memasuki musim dingin, orang-orang kaya di Roma memiliki kebiasaan menghidangkan makanan dengan rempah dan saus. Hidangan seperti ini lazim disebut dengan nama city eating atau makanan kota. Saking ‘mulianya’ rempah di Roma, buku resep makanan terbaik di sana hampir selalu memasukkan lada di dalamnya.
Lebih menariknya lagi, wine yang bercita rasa rempah dan parfum yang beraroma rempah menjadi simbol kehidupan pada masa Romawi kuno. Harus diakui bahwa rempah merupakan komoditas luxurius pada masanya, sebelum imperialisme kompeni datang.
Pudarnya Pesona Rempah-Rempah
Seorang sufi kenamaan, Jalaluddin Rumi telah menyebutkan bahwa tak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Setiap yang berdiri akan terbaring dan setiap yang diadakan akan berujung ketiadaan.
Sepertinya hal ini juga berlaku pada pesona rempah-rempah yang pada akhirnya pudar juga, sebagaimana pesona Cleopatra. ‘Sihir’ rempah perlahan memudar sejak kehadiran bangsa Eropa di Nusantara–bahkan Asia–yang melakukan evolusi perdagangan, memonopolinya, hingga melakukan penjajahan. Akibatnya, rempah tak lagi menjadi langka karena posisinya digantikan oleh kopi dan gula pada tahun 1800-an.
Semuanya bermula pada tahun 1830 hingga 1870 saat Belanda memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Nusantara. Sistem yang dicetuskan oleh Van de Bosch ini sengaja dilakukan untuk memaksimalkan produksi cash-crops perkebunan di Nusantara, terutama gula dan kopi yang sangat menguntungkan untuk kepentingan ekspor.
Pada tahun itu, gula dan kopi menjadi komoditas primadona di pasar-pasar Eropa, sedangkan rempah menjadi komoditas ‘kelas dua’ yang tak lagi memesona. Bahasa sederhananya, sistem tanam paksa telah mengubah Nusantara yang awalnya produsen rempah untuk kapitalisme saudagar, menjadi produsen bahan mentah untuk kapitalisme industri.
Memasuki tahun 1900, rempah semakin sulit merebut singgasananya kembali sebab kemajuan teknologi. Gaya hidup masyarakat mulai beralih dari cara tradisional menuju cara modern.
Hal ini ditandai dengan kehadiran teknologi pengawetan buatan atau yang biasa disebut refrigerasi (kulkas).
Jika masyarakat tradisional masih menggunakan rempah untuk mengawetkan makanan sekaligus menutupi rasa makanan yang mulai basi/busuk, maka masyarakat modern mulai beralih menggunakan mesin pengawet buatan atau refrigerator.
Peralihan gaya hidup seperti inilah yang membuat konsumsi rempah menurun secara drastis. Secara garis besar, rempah-rempah kehilangan kejayaannya disebabkan oleh dua hal.
Pertama, gegara penurunan harga rempah yang disebabkan oleh perkembangan teknologi, sebagai akibat kemajuan dalam inovasi barang substitusi bagi rempah.
Kedua, dikarenakan kehadiran bangsa Eropa yang merevolusi perdagangan rempah menjadi perdagangan bahan mentah. Ditambah lagi, rempah tak lagi sangat langka karena suplai rempah telah berkembang di berbagai lokasi.
Sebuah Upaya Menghidupkan Kembali
Belajar dari penyebab runtuhnya kejayaan rempah pada masa lampau, agaknya yang perlu ditelaah kembali adalah cara membuat rempah-rempah bertahan di era kekinian–sebab faktor monopoli kompeni telah sirna dengan kemerdekaan Indonesia.
Jika pada masa masyarakat modern, rempah diruntuhkan oleh kemajuan teknologi, maka pada masa masyarakat pasca-modern (saat ini), rempah sudah seyogianya kembali menjadi primadona.
Hal ini disebabkan oleh gaya hidup masyarakat pasca-modern yang kembali mendengungkan gagasan back to nature, sebab kemajuan teknologi kini dianggap sebagai ‘biang kerok’ atas degradasi ekosistem.
Senada dengan yang disampaikan oleh sejarawan sekaligus budayaan kenamaan Indonesia, Kuntowijoyo (2019) dalam Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas bahwa masyarakat pasca-modern kembali menyadari bahwa sudah saatnya alam dihormati lagi. Kemajuan teknologi kini justru digugat karena alam dianggap perlahan sekarat.
Gaya hidup sehat yang kembali didengungkan oleh masyarakat pasca-modern akan membuat produk-produk tradisional (herbal, termasuk rempah-rempah) kembali dilirik. Keadaan seperti inilah yang menjadi kesempatan emas untuk menghidupkan kembali pesona rempah-rempah yang sempat memudar.
Berdasarkan uji penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (2021), rempah-rempah memiliki kandungan zat-zat yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Terbukti sejak zaman dahulu kala yang menggunakan rempah-rempah sebagai obat-obatan.
Gagasan back to nature pada akhirnya akan merambah ke segala aspek (tak hanya untuk kesehatan), termasuk ke dalam olahan makanan.
Masyarakat pasca-modern mulai enggan menggunakan bahan-bahan kimia untuk cita rasa maupun pengawet makanan. Mereka ingin beralih pada cita rasa dan pengawet alami dan itu semua dapat ditemui pada rempah-rempah.
Sebut saja seperti bunga cengkeh kering yang kerap digunakan dalam pembuatan kue nastar, lalu lada hitam yang digunakan sebagai pembangkit cita rasa untuk olahan berbasis daging, hingga biji pala yang biasa dimanfaatkan untuk bumbu sebab sifatnya sebagai pengawet makanan.Pada akhirnya, rempah di masa pasca-modern dapat digunakan untuk penciptaan obat-obatan (biomedicine) dan pencipta rasa alami yang lebih ramah lingkungan. Menilik fakta-fakta yang telah disajikan di atas, bukan hal yang tak mungkin jika rempah kembali menemui pesonanya.
*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.