Tampelas, suatu desa di Pulau Kalimantan dulunya diisi para pembalak liar. Penghuninya bertahan hidup dari kayu yang ditebang secara ilegal. Razia besar-besaran pada 2005 silam mengubah jalan hidup setiap individunya. Kini mereka menjadi garda terdepan menjaga teritorial kepingan paru-paru dunia.
Himmah Online – Lantunan adzan subuh bercampur isak tangis menghantar pelarian Bambang April. Pria dengan perawakan sedang tersebut meninggalkan Tampelas dengan perasaan was-was. Namanya dikabarkan masuk target operasi razia pembalakan liar pada 2005 silam.
Terbitnya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia memberi jalan bagi Kepolisian, TNI hingga BIN melakukan penertiban pembalak liar. Membuat orang seperti Bambang kelimpungan.
“Dikabarkan jadi DPO, masuk target operasi salah satu orang yang dicari di Tampelas karena termasuk cukong kayu,” kenang pria kelahiran Tampelas berumur 43 tahun tersebut (31/08).
Aktivitas pembalakan liar memang subur di wilayah Kalimantan, sehingga banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari menebang pohon. Praktik ini mulai marak setelah Presiden Soeharto kerap memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bagi segelintir korporasi. Korporasi diberi hak untuk merambah hutan, memanfaatkan hasil kayu, dan itu legal.
Sedang orang-orang seperti Bambang, dianggap melakukan pembalakan liar karena tidak mengantongi HPH. Namun hasil kayu yang didapat, pada akhirnya dijual ke korporasi-korporasi pemegang konsesi. Bambang dan masyarakat lain yang terlibat pembalakan liar semacam jadi kaki tangan korporasi menjangkau wilayah hutan di luar konsesi. Bahkan bisa membentuk kelompok untuk menempati wilayah konsesi yang telah kedaluwarsa masa HPH-nya.
Aktivitas yang dilakukan Bambang-lah yang coba dibabat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui penerbitan Inpres Nomor 4 Tahun 2005. Maka terbentuklah tim terpadu untuk menertibkan aktivitas pembalakan liar di Indonesia, tak terkecuali area hutan sekitar Tampelas.
Saat tim terpadu mulai merazia area Sungai Katingan, Bambang mencari perlindungan ke tempat bosnya di Gunung Kaki, sebuah wilayah di Desa Perigi, Mendawai, Katingan. Dari Tampelas, jika ditarik garis lurus menggunakan bantuan Google Earth jaraknya mencapai 37,29 kilometer.
Klotok—perahu bermotor dengan bahan bakar solar/diesel—miliknya ia pacu kencang menyusuri Sungai Katingan yang surut akibat kemarau. “Was-was, berdebar terus,” ucap Bambang. “Cuma bawa uang 200 ribu, untung klotok saya ada bensinnya,” kenangnya.
Tak hanya kekhawatiran kehabisan bahan bakar untuk melarikan diri. Berdasarkan cerita yang masuk ke telinganya, pelaku pembalakan liar tidak diadili melalui sidang, tetapi langsung dijebloskan ke sel tahanan. Kabar itu memenuhi isi kepalanya selama pelarian.
Pasal dirinya dikabarkan masuk target operasi pun sebetulnya tak ia konfirmasi lebih jauh. Perannya sebagai administrator di dalam tim—acapkali terpaksa meninggalkan identitas untuk melewati pungutan liar—mendasari dirinya percaya jika namanya masuk target operasi. Apalagi, setiap mengantar kayu setidaknya ia dan komplotannya akan melewati tiga posko pungutan liar. Minimal satu juta rupiah di tiap pos penjagaan harus ia keluarkan dari kantongnya untuk memuluskan jalan.
Setelah satu pekan berada di Gunung Kaki, akhirnya Bambang pulang ke Tampelas. Namun, nafasnya belum lega sepenuhnya. Ia seperti berpindah dari kegundahan yang satu menuju kegundahan yang lain. Pasalnya, sebelum melarikan diri ia memberi uang muka untuk pembalak di tingkatan lebih bawah. Ratusan juta melayang karena kayu tidak bisa dikeluarkan dari hutan.
“Terlalu beresiko untuk diambil. Saya kadang masih kepikiran sampai sekarang,” ucapnya lirih dengan tatapan kosong menghadap Sungai Katingan di depannya.
Tak hanya Bambang, di tengah maraknya razia, personil lapangan dalam kelompoknya juga tak kalah kocar-kacir. Seluruh kayu yang telah ditebang harus ditinggal di hutan atau dibiarkan hanyut maupun tenggelam. Si empunya memilih menyelamatkan diri. Mereka adalah Juli Kurnain, kakak Bambang, dan Sumber, adiknya.
Tiga dari delapan bersaudara tersebut mulanya mengenyam bangku sekolah menengah atas di daerah Kasongan, sebuah kabupaten di utara Katingan. Selepas lulus, Juli mencari peruntukan di perkebunan karet. Bambang memilih pulang ke Tampelas untuk membantu bapaknya di hutan, melakukan pembalakan liar. Sumber menyusul Bambang setelah lulus.
“Tiba-tiba adik saya Sumber kasih kabar, ‘wilayah hutan kita mau diambil alih orang, pulang aja kita lanjutin lahan bapak, Bang’ gitu,” kenang Juli menirukan ajakan Sumber saat itu (29/08).
Juli muda tak pikir panjang. Jebolan sekolah teknik menengah tersebut bergegas pulang untuk menjadi operator chainsaw dan teknisi dan penarik kayu keluar hutan dan nahkoda kapal pengantar kayu ke cukong.
“Kerja kayu itu capek,” ucap Juli pelan. “Uangnya banyak, tapi badannya juga rusak,” imbuh kepala Desa Tampelas periode 2016-2022 tersebut.
Tampelas Ramai ke Sepi
Tampelas berada di Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Dari Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah, untuk bisa mendaratkan kaki di Desa Tampelas perlu sekitar 4-5 jam perjalanan darat membelah Kasongan dan sekitar 2-3 jam perjalanan air menyusuri Sungai Katingan. Permukimannya berderet di sisi timur bibir Sungai Katingan.
Setelah razia pembalakan liar pada 2005 silam, zaman kayu—istilah untuk menyebut masa pembalakan liar—di Tampelas mati total. Warga tak berani lagi ke hutan untuk membalak. Kayu yang sebelum razia kadung ditebang dibiarkan tenggelam atau hanyut.
Mayoritas warga kemudian beralih menjadi nelayan tangkap. Aktivitas ini sebetulnya telah dilakukan masyarakat Tampelas jauh sebelum zaman kayu. Hanya saja peminatnya sedikit, karena dinilai kurang prestise. Sebagian yang lain memilih meninggalkan desa.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Katingan (2022), pada tahun 2021 Tampelas dihuni oleh 420 jiwa. Menjadi desa dengan penghuni paling sedikit nomor dua dibanding delapan desa lain di Kecamatan Kamipang.
“Dulu desanya ramai,” ucap Asbut, Ketua RT 01 Tampelas. ”Tapi setelah kerja kayu tutup pada pergi,” lanjut pria kelahiran 1969 saat ditemui di kediamannya (27/08).
Mantan pembalak liar tersebut menceritakan, bahwa saat zaman kayu dulu perputaran uangnya sangat besar. Hal itu diikuti pula dengan tingginya tingkat kriminalitas.
“Depan ini (dulu) ramai, judi hampir tiap malam,” aku Asbut, seraya menunjuk pelataran di depan rumahnya. “Prostitusi juga banyak. Itu [prostitusi] kadang sampai mengunjungi tempat penginapan kita di hutan saat membalak,” tambahnya.
Ia tak ikut beberapa rekannya yang memilih keluar desa. Ia memilih menjadi nelayan tangkap di sungai-sungai sekitar Tampelas setelah berhenti dari aktivitas pembalakan. “Uangnya beda, banyak zaman kayu. Tapi rasanya beda, sekarang justru punya tabungan, dulu cuma lewat,” tutur Asbut sembari mengepulkan asap rokok dari mulutnya.
Tampelas yang diberkati banyak ikan dan hasil alam membuat sebagian warga memilih bertahan di desa. Mereka percaya alam bisa menghidupi.
Eri Yadi (39), satu dari dua pengepul ikan di Tampelas menuturkan bahwa tangkapan warga Tampelas bisa dibilang banyak. “Jika bukan musim ikan (air pasang), mungkin sehari mereka [para nelayan] dapat puluhan sampai ratusan ribu. Tapi kalo musim ikan (air surut), itu bisa jutaan per hari,” tutur pria yang dahulu sempat menjadi pembalak liar tersebut.
Seakan tak ingin kembali ke zaman kayu. Lalu tak ingin pula bergantung pada ikan yang sewaktu-waktu bisa habis. Masyarakat Tampelas coba membangun kekuatan ekonomi di sektor lain. Budidaya madu hutan dan ternak sapi, misalnya.
Melalui BUMDes “Tampelas Sejahtera”, beberapa warga beternak sapi yang kandangnya disediakan oleh pihak BUMDes di seberang desa. Sari (43) merupakan salah satu warga yang mencoba ikhtiar beternak tersebut. Sepasang sapi miliknya telah beranak satu. “Ini tabungan saya,” ucapnya sembari memberi makan sapi-sapinya, perasaan sumringah turut terlihat di raut mukanya (27/08).
Menjaga Kepingan Paru-paru Dunia
Desa yang telah berdiri sejak tahun 1900 ini luasnya mencapai 57.727 ha, dengan 50.060 ha adalah areal hutan. Sisanya berupa pemukiman dan perkebunan. Letak desanya persis di sebelah barat Taman Nasional Sebangau, sebuah taman nasional terbesar ketiga di Pulau Kalimantan dengan luas 568.700 ha.
Dari total luasan kawasan hutan di Tampelas, pada 17 Desember 2017 masyarakat Tampelas mengajukan 8.404 ha hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan desa.
Hutan desa sendiri termasuk salah satu skema perhutanan sosial yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sebagai program prioritas nasional pada 2016 silam. Skema lain dari perhutanan sosial adalah hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Melalui program perhutanan sosial, masyarakat di sekitar hutan diberi kesempatan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui, maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari kawasan hutan tersebut.
Hingga 31 Oktober 2022, menurut laman GoKUPS milik Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan realisasi perhutanan sosial luasnya mencapai 5.087.754 ha melalui 7.694 surat keputusan. Angka tersebut masih jauh dari target yang dipatok Joko Widodo seluas 12,7 juta ha perhutanan sosial.
Dua tahun berselang pasca pengajuan, melalui surat keputusan bernomor SK. 10381/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/12/2019, akhirnya KLHK memberikan 6.303 ha hak kelola hutan desa ke masyarakat Tampelas.
Merujuk Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup Nomor 16/PSKL/SET/PSL/0/12/2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Desa, maka perlu dibuat suatu lembaga pengelolanya terlebih dahulu. Lembaga tersebut nantinya diperuntukan untuk menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Desa (RPHD), Rencana Kerja Tahunan (RKT), dan Rencana Kerja Usaha (RKU). Maka dibentuklah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tampelas. Sumber didapuk jadi ketuanya.
Luasan hak kelola hutan yang diberikan ke LPHD Tampelas menjadi yang paling luas dibanding hutan desa lain di Kabupaten Katingan. Dari luas total 19.107 ha hutan desa di seluruh Kabupaten Katingan, Tampelas menyumbang 32,99 persen. Jika dianalogikan, maka luasan hutan desa Tampelas hampir dua kali lipat luas wilayah Kota Yogyakarta.
“Butuh waktu dua tahun untuk mendapatkan SK (surat keputusan) menteri,” ucap Sumber. “Kami hampir menyerah,” lanjut ketua Forum Perhutanan Sosial Gambut Katingan-Sebangau tersebut.
Tertuang dalam surat keputusan, selain mendapatkan hak pemanfaatan, LPHD Tampelas juga berhak mendapatkan perlindungan dari gangguan perusakan dan pencemaran lingkungan atau pengambilalihan secara sepihak oleh pihak lain.
Maka bagi masyarakat Tampelas, diberikannya hak pengelolaan hutan desa berarti diberikannya keleluasaan memanfaatkan potensi hutan serta melindungi hutan dari ancaman kebakaran hingga serobotan kegiatan ekstraktif tambang maupun perkebunan sawit.
Pada 2020, Yayasan Puter Indonesia melakukan survei dan analisa keanekaragaman hayati di kawasan hutan desa Tampelas. Hasilnya, ditemukan 106 jenis tumbuhan yang terdiri dari 38 famili. Beragam habitus ditemukan mulai dari herba, pandan, epifit, liana, palem, dan paku-pakuan.
Sedangkan untuk satwa, ditemukan 82 satwa dari jenis mamalia, burung, dan reptil. Dari 82 satwa, sebanyak 18 satwa masuk dalam kategori dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Selain melalui PerMen LHK Nomor P.106 Tahun 2018, secara global status perlindungan satwa diatur juga dalam hukum internasional, yaitu International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Dalam IUCN Redlist of Threatened Species kelangkaan satwa dikategorikan menjadi 7 kategori. Yakni (1) Last Concern (LC) atau resiko rendah; (2) Near Threatened (NT) atau hampir terancam; (3) Vulnerable (VU) atau rentan; (4) Endangered (EN) atau terancam; (5) Critically Endangered (CR) atau sangat terancam; (6) Extinct in The Wild (EW) atau punah di alam liar; dan (7) Extinct (EX) atau punah.
Selain itu, perlindungan satwa diatur pula dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 1973. CITES merupakan perjanjian internasional untuk mengatur perdagangan flora dan fauna.
Kategori status perdagangan menurut CITES dibagi menjadi tiga jenis. Pertama Appendix I (App I), yakni perdagangan secara internasional dilarang. Lalu Appendix II (App II), dalam kategori ini perdagangan secara internasional diperbolehkan, tetapi dengan perizinan ekspor. Terakhir Appendix III (App III), yakni diperjualbelikan secara terbatas.
Selain memiliki keragaman hayati, hutan desa Tampelas juga memiliki tempat penyimpanan karbon yang besar. Disimpan di tanaman pohon dan tanah gambut.
Yayasan Puter Indonesia menghitung pendugaan rata-rata cadangan karbon dari tegakan pohon. Hasilnya, dari tutupan lahan hutan rawa sekunder berpotensi menyimpan karbon sekitar 111,37 ton/ha, sedang untuk kawasan belukar rawa sekitar 91,39 ton/ha.
Untuk lahan gambut, berdasarkan laporan kajian biofisik lahan gambut yang dilakukan Yayasan Puter Indonesia (2020) di kawasan hutan desa Tampelas, potensi cadangan karbon yang dapat diserap sebesar 25.515 ton/ha.
Dengan keanekaragaman hayati, potensi cadangan karbon yang tinggi, dan luasnya areal gambut di desanya, masyarakat Tampelas menyadari bahwa wilayah hutannya perlu dijaga. Apalagi, mayoritas masyarakat Tampelas memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil alam. Dari ekosistem lingkungan yang sehat.
Salah satunya menjaga dari ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang beberapa kali menghampiri wilayah Tampelas. Dalam ingatan masyarakat Tampelas setidaknya ada dua karhutla yang terjadi di wilayahnya dalam satu dekade terakhir, yakni karhutla pada 2015 dan 2019.
Peristiwa karhutla pada 2015 sendiri mengantarkan Indonesia menjadi penghasil karbon terbesar keenam di dunia pada tahun itu. Berdasarkan catatan KLHK, seluas 2,61 juta ha hutan dan lahan terbakar pada 2015 di seluruh wilayah Indonesia, 583 ribu ha di antaranya berada di Kalimantan Tengah.
Sedang pada 2019, di Kalimantan Tengah angka karhutla mencapai 317.749 ha, sebesar 26.906 ha berada di Katingan. Menurut pengakuan Sumber, kondisi karhutla di Tampelas lebih parah saat tahun 2015 dibanding 2019. “Seberang sungai itu sampai tidak kelihatan (karena asap),” terangnya sambil menunjuk Sungai Katingan di hadapannya.
Untuk mitigasi kejadian serupa, setidaknya pasca karhutla 2019 dan telah dikantonginya hak kelola hutan desa, masyarakat Tampelas rutin menggelar patroli hutan yang dikoordinir Masyarakat Peduli Api (MPA) Tampelas yang diketuai Asbut dan LPHD Tampelas yang diketuai Sumber.
Di musim kemarau, MPA dan LPHD sama-sama melakukan patroli setiap hari. Titik lokasinya yang dibedakan. Jika bukan musim kemarau, dalam sebulan MPA melakukan patroli sebanyak 6 kali, sedang LPHD 12 kali.
Selain ancaman kebakaran hutan dan lahan, kawasan hutan Tampelas juga terancam kegiatan ekstraktif tambang emas dan perkebunan kelapa sawit.
Bertahan dari Godaan Renyahnya Tambang Emas dan Sedapnya Kelapa Sawit
Juandi berjalan pelan. Celananya ia lipat setinggi betis. Sandalnya ia cangking untuk memudahkan langkahnya di atas lahan berair untuk menuju rakitan mesin lanting yang pernah ia gunakan untuk menambang emas.
Pria yang lebih akrab disapa Ugui tersebut merupakan salah satu masyarakat Tampelas yang tidak pernah mengambil jalan hidup sebagai pembalak liar. Pria dengan perawakan ramping itu mengambil jalan sebagai penambang emas ilegal sejak remaja.
“Badan saya kecil, tidak kuat [kerja kayu],” jawabnya singkat diikuti gelak tawa saat ditanya alasan tidak menjadi pembalak liar (28/08).
Berawal dari menjadi karyawan pada 2003, sejak tahun 2011 Ugui coba membuat unit pengeboran sendiri. Pada percobaan pertamanya, ia langsung meraup 32 juta dalam satu hari. Menggiurkan, mendorong ia membuat dua unit pengeboran lagi hingga memiliki karyawan hampir 20 orang. Tak sampai di situ, ia kemudian “membeli” lokasi tambang seluas 400 meter persegi dengan harga 50 juta di sekitar Sungai Klaru, Desa Telaga, sebuah desa di utara Tampelas.
Tak berselang lama razia kerap menghantui para pekerja tambang, tak terkecuali Ugui. “Waktu razia sembunyi, kerja berhenti, hati ini was-was, deg-degan, saya berfikir sampai kapan saya bekerja seperti ini,” tutur pria berumur 31 tahun tersebut.
Hingga pada 2016, ia memutuskan meninggalkan Sungai Klaru dan kembali ke Tampelas. Berniat membangun tambang emas di desanya. Ia percaya ada potensi emas di perut Tampelas. “Sudah coba gali, dan itu dapat [emas],” ungkapnya.
Kebetulan, di tahun yang sama terdapat pemilihan sekretaris desa. Ugui mencalonkan diri, dengan harapan jika ia terpilih akan memudahkan niatnya membuka tambang emas di desanya.
Ia terpilih. Namun rencananya dibatalkan. Ia sadar bahwa rencananya dapat merusak tanah kelahirannya sendiri. “Tambang itu kan mengeluarkan seluruh isi tanah, jadi setelahnya itu [lahannya] jadi rusak, tidak bisa ditanami lagi,” jelasnya dengan senyum bangga.
Gejolak ingin menambang tidak serta-merta hilang dari hati Ugui. Ia merupakan salah satu orang yang turut memperjuangkan hak pengelolaan hutan desa. Saat perizinannya tak kunjung turun, ia berniat kembali membuka tambang. “Namun Bang Juli melarang, dan menyuruh bersabar,” pungkasnya.
Pada 2017, delapan desa di Kecamatan Kamipang salah satunya Tampelas menagih janji lahan plasma ke PT Arjuna Utama Sawit (AUS). Menurut pengakuan camat Kamipang Sukarti Alijar waktu itu, “Sudah hampir 20 tahun janji perusahaan terhadap plasma tidak pernah terealisasi.” Dikutip dari PROKAL.co (07/11/2017).
Berbanding terbalik, saat ini masyarakat Tampelas justru secara perlahan menghindari lahan kelapa sawit berada di wilayahnya.
Di Tampelas, menurut laman Forest Watch Indonesia (FWI) PT AUS memiliki hak guna usaha (HGU) seluas 2.792 ha. Namun lahan itu belum kunjung ditanami sawit. “Kami sebetulnya juga berharap agar tidak jadi ditanami,” pinta Juli.
Menurut peta konsesi perusahaan dalam laman FWI, HGU sawit PT AUS di Tampelas berada di wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG). Lalu ditinjau dalam peta sebaran ketebalan gambut milik Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut (PRIMS Gambut), kedalaman gambut di areal HGU tersebut berkisar antara 2-3 meter. Maka, sebagian lahan gambut di HGU PT AUS masuk kategori gambut budidaya (kedalaman kurang dari 3 meter) dan gambut lindung (kedalaman 3 meter atau lebih).
Artinya, jika mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, maka sebagian areal HGU sawit PT AUS di Tampelas yang kedalaman gambutnya mencapai 3 meter hanya diperkenankan untuk (a) penelitian; (b) ilmu pengetahuan, (c) pendidikan, dan/atau (d) jasa lingkungan. Tidak untuk ditanami kelapa sawit.
Terbitnya HGU untuk perkebunan sawit tersebut seperti tak ingin diulangi lagi. Juli menceritakan, bahwa beberapa kali perusahaan sawit ingin masuk ke desanya. Namun, selalu mendapat penolakan.
“Dulu pernah ada perusahaan sawit datang, tiba-tiba melakukan survei setuju atau tidak soal tanaman sawit. Untungnya masyarakat yang hadir mengisi survei dengan menuliskan ‘tidak setuju’,” tutur Juli.
Tak hanya itu, cerita lain juga bersambut dari mulutnya. Warga pernah bergiliran membawa patok pengukuran yang didapat di areal hutan belakang kampung ke kediamannya. “Patoknya dianggap mencurigakan, warga membawa pulang patoknya,” tuturnya. “Takut kalau itu milik perusahaan sawit katanya,” imbuh Juli.
Kekhawatiran Juli soal ekspansi perkebunan sawit pun bukan tanpa dasar. Menurut laporan Statistik Perkebunan Indonesia 2019-2021 yang diterbitkan Kementerian Perkebunan, per 2021 luas lahan sawit di Kalimantan Tengah mencapai 1.922.083 ha. Luas tersebut mengalami pertumbuhan 1,54% dari tahun sebelumnya. Pulau Kalimantan dengan luas lahan sawit total mencapai 5.820.406 ha menempati urutan kedua soal luasan lahan sawit terbesar di Indonesia setelah Pulau Sumatera.
Penolakan dan harapan tidak adanya lahan sawit di Tampelas juga datang dari Sumber. Baginya, sikap tersebut adalah upaya menjaga hutan yang masih tersisa saat ini.
“Saya tidak bisa membangun hutan baru, setidaknya saya menjaga yang ada. Saya tidak dalam konteks tidak setuju dengan sawit, tapi saya pikir ya di daerah lain, untuk daerah saya berikan hak untuk mengelola hutan saja,” terang Sumber.
Permintaan Sumber soal hak mengelola hutan senada dengan laporan berjudul Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Auriga Nusantara pada September 2022 lalu. Laporan tersebut menunjukan ketimpangan hak kelola hutan yang diberikan negara ke korporasi dan rakyat.
Dari seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan di Indonesia, korporasi mengantongi izin seluas 36,8 juta ha. Terdiri dari konsesi logging, konsesi kebun kayu, izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan perkebunan sawit. Sedang yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta ha yang terdiri dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, kemitraan kehutanan, hutan tanaman rakyat, izin pemanfaatan perhutanan sosial, dan hutan adat. Artinya, 92% alokasinya diberikan kepada korporasi, sedang untuk rakyat hanya 8%.
Alokasi penguasaan pemanfaatan kawasan hutan oleh korporasi mayoritas berada di Pulau Kalimantan dengan persentase mencapai 46% dari total seluruh alokasi kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di Pulau Kalimantan, wilayah hutan yang dikelola korporasi angkanya mencapai 24.735.733 ha. Sangat timpang dengan hak kelola rakyat dengan luas hanya 1.070.350 ha.
Hal-hal tersebut yang pada akhirnya membuat Sumber dan masyarakat Tampelas memperjuangkan hak kelola hutan desa. Bukan semata-mata hanya menolak kegiatan ekstraktif, namun agar teritorial hutannya tidak rusak apalagi berkurang. Karena masyarakat Tampelas menyadari penuh sesaknya terkena asap kebakaran, ngerinya perubahan iklim, hingga manfaat hutan bagi dunia.
“Apabila benar Indonesia dinobatkan sebagai paru-paru dunia, saya berkomitmen Tampelas bagian dari paru-paru dunia itu. Lalu apa yang bisa dunia berikan untuk kami?” pungkas Sumber.
Reporter: Himmah/Pranoto
Visualisasi Data: Himmah/Pranoto
Editor: Nadia Tisha Nathania Putri
*Liputan ini dikerjakan saat reporter himmahonline.id menjalani program Pengabdian Masyarakat (PM)–seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN)–dari Laboratorium Mahasiswa (LabMa) Universitas Islam Indonesia (UII).