PENDIDIKAN merupakan proses dialektika manusia untuk mengembangkan kemampuan akal dan pikirannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan untuk menjawab problema sosial. Serta mencari hipotesa baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman. Namun, keberlangsungan pendidikan di Indonesia sejak masa kolonial Belanda sampai sekarang begitu menyedihkan.
Ketika kolonial Belanda berhasil menjalankan politik Cultuurstelsel, pendidikan diterapakan hanya untuk melahirkan tenaga-tenaga administrasi yang rendahan dan mengabdi pada penjajah. Para pribumi yang sadar akan diskriminasi tersebut, mulai mendirikan sekolah-sekolah swasta yang penerimaan siswanya lebih terbuka. Sebut saja Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, Muhammadiyah yang didirkan oleh Ahmad Dahlan, serta Sekolah Sarekat Islam yang didirikan oleh Tan Malaka.
Saat Jepang berhasil menduduki Indonesia pada 1942, kondisi dunia pendidikan di Indonesia semakin suram. Sekolah-sekolah, oleh Jepang diubah menjadi institusi militer yang dibangun dengan tujuan mendidik para pemuda untuk berperang. Seperti Pembela Tanah Air (Peta), Heiho, dan lain sebagainya.
Pasca kemerdekaan, beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia di bidang pendidikan. Seperti membangun perguruan-perguruan tinggi (PT) dan sekolah. Tapi agenda pendidikan di Indonesia kembali tersungkur saat Soeharto berkuasa.
Pada 1977, pemerintah menyusun kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kampus (NKK/BKK) dan pembekuan Dewan Mahasiswa dengan tujuan membungkam gerakan mahasiswa saat itu.
Pada 1989, manifestasi kebijakan pendidikan yang tidak ilmiah dan berorientasi pada rakyat diatur dalam perubahan yang tertuang dalam sistem pendidikan nasional dalam Undang-Undang (UU) No. 02 Tahun 1989. Rezim Soeharto pula yang menjadi peletak dasar liberalisasi pendidikan di Indonesia, yakni semenjak Indonesia masuk menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada 1994.
Kesepakatan itu dirangkum dalam The General Agreement on Trade in Services (GATS) yang menghasilkan keputusan kontroversial. Yaitu, pendidikan dimasukkan dalam bidang jasa yang layak diperjualbelikan.
Liberalisasi pendidikan juga tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 1999 tentang Peguruan Tinggi Berbadan Hukum Milik Negara (PT BHMN).
Saat masa Presiden Megawati Soekarnoputri, pemerintah melakukan penandatanganan Letter Of Intent bernilai 400 juta US dollar dengan International Monetary Fund (IMF) pada 2001. Ini membuat pemerintah merevisi berbagai kebijakan di sektor publik. Seperti alokasi anggaran/biaya pendidikan, kualitas pendidikan, sistem kurikulum, serta fasilitas pendidikan yang jauh dari kepentingan dan harapan rakyat Indonesia.
Pada masa Megawati juga, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sidiknas) terbit mengantikan UU No.02 Tahun 1989. Regulasi ini menjadi dasar hukum pendidikan di Indonesia yang semakin melegitimasi liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi.
PT BHMN diterapkan di berbagai kampus sebagai percontohan: Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan beberapa kampus lainnya. Dengan demikian, kampus menerapkan otonomi baik secara akademik dan non akademik yang bersifat kodrati bagi perguruan tinggi yang diatur pada PP nomor 26 tahun 2015.
Atas dasar tersebut, pendidikan saat ini tak ubahnya ladang bisnis dan mahasiswa diposisikan sebagai konsumennya. Salah satu contohnya adalah UI yang pendapatan terbesarnya didapatkan dari mahasiswa: sebesar 60 persen. Sisanya, 16 persen dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri dan 24 persen dari non Biaya Pendidikan.
Kampus saya sendiri, Universitas Diponegoro (Undip), telah ditetapkan sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) pada Januari 2017. Undip merupakan yang pertama di wilayah Jawa Tengah. Ironisya, pengesahan Rencana Kegiatan dan Anggaran Tahunan (RKAT) tahun 2017 menghasilkan sumber pendanaan non Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mencapai 56 persen sedangkan APBN 44 persen dari total anggaran Rp. 1.464.618.609.543
Hal itu terjadi karena pada Juni 2005, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran dana (utang) dari Bank Dunia sebesar 114,54 US dollar untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar.
Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot Anggaran Pendapatan Belanja Negara, sehingga subsidinya harus dipangkas. Bukti konkret perjanjian ini adalah ditetapkannya kampus sebagai Badan Layanan Umum (BLU).
Kebijakan ini ditetapkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla lewat UU No.1 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara dan PP nomor 23 tahun 2005 tentang Tata Kelola Badan Layanan Umum.
Pada 2009, dikeluarkan pula payung hukum dari amanat PT BHMN yakni UU No.9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang melegitimasi otonomi perguruan tinggi.
Akibatnya, biaya pendidikan dari tahun ke tahun semakin naik dan tidak terjangkau oleh rakyat Indonesia. Banyak kalangan yang secara konsisten memperjuangkan penolakan UU BHP, bahkan masih dalam RUU. Penolakan itu membuahkan hasil ketika Mahkamah Konstitusi mencabut UU BHP tahun 2010 karena bertentangan dengan UUD 1945—alinea ke-4.
Tepat pada 13 juli 2012, melalu DPR RI, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi lahir menggantikan UU BHP. Di pasal 88 UU tersebut, pemerintah memberikan kewenangan pada pendidikan tinggi untuk menetapkan satuan biaya operasional pendidikan tinggi (SBOP) yang dinamai uang kuliah tunggal (UKT) yang dihitung dari tahun ke tahun.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pendidikan saat ini hanya mementingkan uang pendaftaraan dan kuliah saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewabijan pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab Indonesia tak mampu berdaulat pada sektor manapun. Tak aneh jika pada 2013 The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia menempati urutan ke 69 dari 79 negara.[]
Penulis: Mahasiswa Sastra Jepang Universitas Diponegoro dan Ketua Front Mahasiswa Nasional Universitas Diponegoro.