Tentu kita sudah tak asing lagi dengan sosok Dahlan Iskan. Beliau adalah mantan Direktur PLN yang kini menjabat sebagai Menteri BUMN. Penampilan sehari-harinya sederhana, kemeja bercelana panjang dengan sepatu kets putih. Gayanya terkadang nyeleneh, seperti saat ia memilih naik ojek ke Istana Negara, menginap di rumah penduduk sewaktu kunjungan kerja ke Sragen, dan ketika ia dengan paksa membuka pintu gerbang tol yang terlambat dibuka.
Seorang penulis asal Makassar bernama Khrisna Pabichara mengarang sebuah novel yang terinspirasi dari kisah hidup Dahlan Iskan. Dari judulnya, dapat ditebak bahwa isinya bercerita tentang bagaimana tokoh utama berjuang untuk meraih impiannya memiliki sepasang sepatu. Dahlan kecil adalah seorang anak miskin yang tinggal di pedesaan. Saking miskinnya, ia kerap menahan lapar dengan melilitkan selendang di perut bersama adiknya. Dahlan kecil dikenal sebagai pribadi ceria, cerdas, dan banyak teman. Kemiskinan bukanlah halangan untuk tetap maju.
Suatu hari, ibu Dahlan sakit keras, lalu meninggal dunia. Semakin menderita lagi hidup Dahlan karena ditinggal kedua kakak perempuannya mengadu nasib ke kota. Tinggallah ia kini bersama adiknya, hidup bersama bapak yang terbilang keras dalam mendidik anak-anaknya. Tak segan-segan bapaknya memberi hukuman apabila ada anaknya melakukan kesalahan.
Sepulang sekolah, Dahlan tidak pernah menghabiskan waktunya untuk bersantai. Ia harus bekerja demi menghasilkan tambahan uang, seperti nguli nyeset dan nguli nandur. Keinginan Dahlan adalah punya sepasang sepatu. Selain bisa mengantarnya ke sekolah, sepatu itu ingin Dahlan pakai untuk menemaninya bermain voli. Pernah dalam satu kesempatan, ia terancam tidak bisa ikut berlomba voli untuk membela sekolahnya karena salah satu syarat mengharuskan peserta lomba memakai sepatu. Dengan terpaksa, Dahlan curi tabungan bapaknya untuk membeli sepatu di pasar.
Dahlan kecil memiliki kisah persahabatan dengan teman-temannya. Adalah Kadir, teman Dahlan yang berlatar belakang ekonomi sama. Rela berkorban dan rasa setia kawan merupakan pesan yang ingin ditunjukkan mereka berdua. Dahlan kecil juga memiliki kisah cinta. Adalah Maryati, anak saudagar tebu yang disukai Dahlan, namun akhirnya menjerumuskan Dahlan ke dalam konflik-konflik tak terduga.
Dahlan kecil pun sudah mulai unjuk bakat kepemimpinan. Ia dikenal tegas dan berwibawa ketika mendadak ditunjuk menjadi ketua tim voli di sekolah. Sikap tersebut juga dibawa Dahlan saat ia kerja sambilan dengan melatih tim voli anak-anak juragan tebu. Karena hidupnya miskin, terkadang Dahlan tidak dihormati oleh murid-muridnya. Meski demikian, hal itu bisa diatasi dengan cara-cara yang bijak.
Buku ini sarat akan pesan moral bahwa sebuah keinginan harus disertai dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, tak kenal putus asa, dan pantang menyerah. Ide cerita yang sederhana berhasil menarik pembaca dan mengantar buku ini pada label “best seller” sejak pertama kali terbit. Namun dengan tebal halaman, buku ini terlalu panjang dengan gaya bertutur yang bertele-tele. Penggunaan kata dalam kalimat terkesan monoton dan tak jarang membuat jenuh. Maka, buku ini terbilang best seller bisa jadi karena nama besar Dahlan Iskan sebagai sang inspirator.
Meski demikian, tidak ada salahnya menjadikan buku ini sebagai referensi bacaan kita. Tidak ada ruginya melengkapi koleksi perpustakaan kita atau menemani sore kita dengan membaca buku ini. Mari belajar untuk lebih memaknai hidup ini. (Maya Indah C. Putri)