Di Tengah Kekayaan Para Pejabat

Ada beberapa persamaan dari judul buku ini dengan judul-judul buku yang pernah ditulis oleh Eko Prasetyo, seperti “Orang Miskin Dilarang Sekolah”, “Orang Miskin Dilarang Sakit”, dan “Orang Miskin Tanpa Subsidi”.  Buku ini adalah sekuel keempat dari buku-buku yang ditulis oleh Eko Prasetyo, seorang aktivis di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII). Dari tiga buku sebelumnya, penulis tetap menggunakan judul “Orang Miskin” sebagai objek dalam buku ini.

Buku ini berkisah tentang ketidakadilan para penguasa di negeri ini terhadap rakyat miskin, seperti kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat miskin, penggusuran, perlakuan berbeda pada layanan birokrasi, dan gaya hidup mewah para pejabat pemerintahan. Perencanaan tata kota yang dilakukan pemerintah daerah menjadi perhatian lebih dari penulis. Di satu sisi, pemerintah memberikan izin untuk para pengusaha membangun pusat-pusat perbelanjaan, tetapi mengorbankan tanah milik rakyat miskin dengan cara menggusurnya.

Tak hanya pengusaha dan pejabat pemerintah yang dikritik oleh penulis, kaum rohaniwan juga termasuk. Mereka menjalankan bisnis yang “menjual dan memasarkan” firman Tuhan, tak jarang juga para rohaniwan ikut berpentas di dunia politik untuk mendapatkan pundi-pundi. Bisnis politik para rohaniwan pun dinamai “orang kaya dilarang bekerja” oleh penulis.

Kehidupan di zaman kerajaan dahulu juga diperhatikan oleh penulis, seperti kehidupan para raja dan para priyayi di masa itu yang merupakan gaya hidup penguasa kolonial. Penulis menjadikan tulisan H.J de Graff, seorang ahli sejarah Jawa yang sudah meninggal dunia, yang berisikan bagaimana upacara penunjukan sunan yang baru di daerah Kediri yang didesain mengikuti tata cara Eropa dengan bersulang minum bir.

Eko Prasetyo juga menyindir kekayaan para politisi di negeri ini, seperti Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, Eko kurang merinci secara detil daftar kekayaan para politisi tersebut, dalam artian, Eko hanya menulis jumlahnya saja tanpa merinci sumber harta tersebut. Hanya saja dalam buku ini, penulis tidak mencantumkan orang-orang kaya yang berasal dari dunia penulis sendiri sebagai seorang penulis, bukan aktivis. Misalnya, bagaimana orang-orang kaya yang mengumpulkan kekayaan dari menulis buku dan kehidupan penulis-penulis buku itu sendiri.

Sebuah kekayaan tentunya didapat dengan tidak mudah. Orang-orang yang saat ini sudah kaya membutuhkan perjuangan yang luar biasa hingga ia berada pada taraf hidup yang lebih baik daripada orang lain. Buku ini mengkritik gaya hidup orang kaya dari berbagai profesi, terutama pejabat publik dan para pengusaha. Buku ini seperti pembela bagi masyarakat miskin dalam memerangi orang kaya dengan gaya hidupnya. (Budi Armawan)

Skip to content