Televisi merupakan salah satu alat komunikasi media massa. Dimana memiliki peran sentral dalam menyebarkan arus informasi kepada khalayak media. Sebagai salah satu media komunikasi, televisi hadir dalam masyarakat melalui program-program yang berupa tayangan-tayangan untuk dikonsumsi. Program yang dihadirkan berupa; tayangan film, tayangan informasi/ berita, tayangan hiburan, tayangan reality show, dan lain sebagainya. Tayangan-tayangan ini hadir guna memenuhi kebutuhan publik akan media massa, dimana perantaranya adalah televisi tersebut.
Namun pada kenyataannya, kebutuhan khalayak akan media seakan dikesampingkan dengan adanya konvergensi media dan konglomerasi media. Konvergensi media ini merupakan suatu bentuk penggabungan beberapa perusahaan media menjadi satu dalam suatu induk perusahaan media. Sedangkan bentuk praktek lain terkait bidang ekonomi-politik menimbulkan adanya konglomerasi media. Adanya kepemilikan beberapa perusahaan media oleh kelompok atau individu, menjadikan suatu bentuk monopoli terhadap media yang dikuasai.
Kondisi perkembangan media massa televisi yang dihadapkan pada konvergensi media dan konglomerasi media ini mempengaruhi konteks dan isi yang disampaikan kepada khalayak. Program dan tayangan-tayangan televisi tidak lagi tertuju untuk memenuhi kepentingan khalayak sebagai penonton televisi. Apa yang disampaikan media mengarah kepada kegiatan pencarian profit dan tayangan berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok atau individu tertentu.
Contoh kasus yang mencuat ke publik adalah rekaman rapat politik kader Partai Hanura di Jawa Timur yang membicarakan rencana penyalahgunaan program jurnalistik RCTI untuk kepentingan politik pemilik atau kelompoknya (Mei 2013). (aji.or.id/Dampak-Konsentrasi-Kepemilikan-Intervensi-Pemilik-terhadap-isi-siaran-yang-merugikan-publik-dalam-pemilu).
Selain itu ada juga kasus lain, dikutip dari siaran pers KPI. Bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi penghentian sementara pada program sinetron Ganteng-Ganteng Serigala (GGS) yang tayang di SCTV setiap pukul 19.30. Sinetron GGS ini harus dihentikan sementara selama tiga hari berturut-turut yaitu mulai tanggal 21, 22, dan 23 Oktober 2014. Dalam siaran pers yang diterbitkan KPI pada Sabtu (11/10) dijelaskan, sanksi tersebut dijatuhkan oleh KPI, lantaran adanya pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) pada tayangan 16 Agustus 2014. “Pada episode tersebut sinetron ini menayangkan adegan seorang remaja perempuan melompat ke dalam api serta adegan remaja laki-laki dan remaja perempuan yang mengenakan seragam sekolah berpelukan di lingkungan sekolah. Padahal, adegan bermesraan dan berpelukan dengan menggunakan seragam sekolah di lingkungan sekolah ini sebelumnya ditemui di tanggal 30 Mei 2014,” demikian isi siaran pers tersebut.
Tayangan lain yaitu PESBUKER di ANTV, Menurut Sinansari Ecip, Ketua MUI Bidang Informasi dan komunikasi. “Ini komedi live yang antara lain dibintangi Olga Syahputra, Raffi Ahmad , dan Jessica Iskandar. Walaupun pernah ditegur keras dan diberhentikan sementara oleh KPI, tayangan pada Ramadan ini tidak ada perubahan berarti. Setiap episode diwarnai olok-olokan, ejekan, saling menghina, ucapan kasar dan kalimat yang mengarahkan kepada hal-hal yang mengandung vulgarism (mesum) walaupun dalam konteks maksud bergurau.” Dikutip dari (kapanlagi.com/showbiz/televisi/mui-sesalkan-ramadan-di-tv-jadi-festival-makian).
Banyak sekali stasiun-stasiun televisi swasta yang menampilkan tayangan yang tidak berkualitas. Tayangan-tayangan yang disajikan hadir guna mengejar profit dan rating acara saja. Tidak jarang dalam suatu tayangan menampilkan adegan tidak baik, seperti kegiatan bullying, adegan kekerasan, dialog yang merendahkan orang lain, tayangan vulgar yang merendahkan figur seorang perempuan, bahkan tayangan yang menampilkan kehidupan pribadi seorang artis yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan khalayak.
Dalam aturan yang berkaitan dengan televisi, ada undang-undang yang mengikatnya. Berdasar UU Penyiaran No. 32/2002 dijelaskan bahwa “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/ atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Kata penyiaran dalam kutipan pasal 1 (2) di atas, juga dijelaskan lagi ke dalam dua bentuk, penyiaran radio dan televisi. Pada Pasal 1 (4): “Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.”
Frekuensi yang digunakan dalam siaran televisi, adalah ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Karena hal ini, negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 6 ayat 2). Maka dari itu televisi yang memiliki izin penyiaran, sudah sepantasnya tunduk pada aturan yang mengikat. Berdasarkan aturan-aturan ini kita bisa menilai, mana konten, program acara yang layak dan tidak layak untuk ditayangkan. Disinilah kewenangan kita sebagai penonton, karena sudah jelas bahwa frekuensi pada siaran televisi merupakan ranah publik.
Lebih lanjut lagi jika dilihat dari segi ekonomi, sebenarnya untuk kepemilikan akan suatu perusahaan media itu sah-sah saja. Namun apabila kegiatan atau kepemilikan tersebut menyalahi aturan yang berlaku, bahkan melanggar hak publik maka hal itu perlu ditinjak lanjuti, baik ditindak lanjuti oleh pemerintah dan/ atau khalayak sebagai konsumen media. Khusus kepada khalayak sebenarnya mempunyai hak untuk mendapatkan tayangan yang mendidik dan berkualitas. Lalu bagaimana untuk mendapatkan itu semua? Langkah awal mungkin bisa dilakukan kita sebagai khalayak televisi adalah dengan menjadi masyarakat yang literate (masyarakat yang melek akan media).
Sebagai masyarakat yang bisa memahami media kita bisa belajar mengenai apa yang ada dalam media. Dalam media massa, informasi tersebar secara berlimpah, sudah seharusnya kita mempunyai kemampuan untuk mengambil sikap dan kritis. Hal ini dimaksudkan agar kita sebagai konsumen tidak terbawa oleh kepentingan televisi yang memiliki kemampuan untuk membohongi, mempengaruhi, dan menjadikan televisi sebagai sebuah pelarian dari kenyataan-kenyataan kehidupan. Lebih berbahayanya lagi televisi memiliki kemampuan memanipulasi guna menghibur penonton televisi. Kemampuan manipulasi televisi ini melebihi media-media massa lainnya. Sehingga tidak heran, pada kenyataanya, program-program tayangan televisi yang hadir, tidak memiliki kualitas memperoleh rating acara cukup tinggi. Perumpamaannya adalah “sampah” pun apabila digemari masyarakat dan mendapat rating yang cukup tinggi, maka media akan mempertahankannya.
Keberadaan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) juga perlu dipertegas. KPI sebagai pengelola sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus bekerja secara independen. Peran penting sebagai regulator penyiaran sekaligus gatekeeper juga harus sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Jangan sampai semakin banyak stasiun-stasiun tv yang tidak takut melanggar aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002.
Apabila masyarakat sudah mampu untuk bersikap dan memahami dengan apa yang disampaikan media. Kemudian juga, keberadaan regulator yang bekerja sebagaimana mestinya, keberadaan peraturan yang ditaati. Maka akan menjadikan isi program-program tayangan televisi lebih baik lagi. Paling tidak peran televisi sebagai media komunikasi massa bisa berjalan sebagaimana mestinya. Kebutuhan publik akan tayangan televisi pun bisa terpenuhi. (Aji Muhammad Said – Magang LPM Himmah UII/Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII 2012)