Tinggal di kota yang tidak tergolong besar, apalagi memiliki predikat Kota Pelajar. Berasal dari keluarga yang bukan aktivis lingkungan, apalagi menteri lingkungan hidup. Mempunyai pekerjaan yang tidak berpenghasilan tinggi, apalagi ada kesempatan untuk korupsi dengan segala bentuk lobi. Purworejo, kota tempat dia tinggal dengan segala aktivitas dari bangun sampai bangun lagi. Kota yang tak jarang disebut kota pensiunan yang menawarkan kenyamanan bagi para mantan pejuang hidup. Eko Wahyu Takari namanya, seorang pria dari keluarga sederhana. Bukan Eko Patrio yang bisa mengubah sedih menjadi tawa, bukan pula Eko Prasetyo yang bisa mengubah hasil kepekaan terhadap sekitar menjadi tulisan-tulisan yang menggerakkan para pemuda. Tetapi, Eko Wahyu Takari yang bisa mengubah sampah menjadi berbagai barang berguna.
Sampah plastik merupakan salah satu jenis sampah yang sulit diuraikan oleh bakteri sehingga pengolahan 3 R’s (Reduce, Reuse, Recycle) selalu dikampanyekan. Muncul pula inovasi untuk mendaur ulang sampah plastik sebagai barang-barang kerajinan seperti tas. Namun, proses kreatif kerajinan sampah plastik tadi jadi terkesan percuma karena animo pembeli kurang. Yah, memangnya siapa yang akan berminat memakai “tas sampah”? Padahal, setiap hari satu rumah dapat menghasilkan setengah kilogram sampah plastik, yang berarti dalam satu tahun sudah mencapai 180 kilogram. Itu baru satu rumah, bagaimana jika dikalikan dengan jumlah rumah yang ada di Indonesia? Tentu tinggal menunggu waktu sampai kita tinggal bersama sampah.
Mungkin alasan tersebut di atas yang menggugah Eko untuk menciptakan destilator, yaitu alat pengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. Eko yang juga merupakan motivator lingkungan hidup ini sering mempresentasikan destilator buatannya kepada orang lain. Mulai dari tetangga, siswa SMA, mahasiswa, pemerintah daerah, aktivis lingkungan sampai warga mancanegara. Destilator memiliki tiga bagian utama; pipa untuk memasukkan plastik, tabung untuk mengubah plastik menjadi uap, dan pipa pendinginan. Sampah plastik dibersihkan sebelum dimasukkan ke dalam destilator yang sudah dipanaskan dengan tungku api sehingga menghasilkan gas. Gas tersebut kemudian didinginkan pada pipa dengan kain basah agar mengembun dan dapat menetes ke wadah penampung minyak di ujung tabung. Proses pendinginan ini dapat menggunakan kain perca basah bekas konveksi atau pendingin lainnya.
Semua bahan berasal dari barang-barang bekas dan tidak terpakai. Maka, wajar saja apabila bahan bakar yang dihasilkan masih kotor karena tidak melalui tahap penyaringan. Tetapi walau belum sempurna, bahan bakar minyak hasil pengolahan destilator bisa digunakan untuk kompor, mesin penggiling padi, dan mesin-mesin dua tak lainnya.
Hal konkret seperti inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yang terlalu lama rapat dan studi banding luar negeri. Atau oleh kelompok peduli lingkungan yang sering melakukan aksi tapi terhenti saat sudah bisa selfie. Tak perlulah berkoar-koar bumi kita rusak, alam sudah tak bersahabat atau basmi perusak lingkungan kalau kita sendiri belum peka pada hal-hal simpel laksana membuang dan mengolah sampah yang ada di sekitar.
Ada baiknya kita belajar dari Eko yang bukan dari golongan pendidikan tinggi tapi bisa menciptakan alat untuk mengurangi peliknya permasalahan lingkungan. Hanya perlu langkah-langkah konkret, kecil pun tidak masalah, asalkan berdampak. Daripada muluk-muluk ingin mengatasi masalah yang besar tapi justru menambah masalah.
Jadi terpikir … seandainya ada destilator untuk mengubah pejabat yang korup dan tukang sekongkol perusak lingkungan Indonesia menjadi barang berguna, pasti alat itu tidak henti bekerja saking banyaknya yang perlu dimasukkan ke dalam destilator.