Eksistensi Nabi di Bumi Nusantara

Islam merupakan agama yang mengajarkan ketauhidan secara hakiki dibalut keindahan akhlak dalam berkehidupan. Bicara kuantitas, penganut Islam terbesar adalah Indonesia dengan ragam golongan umat di dalamnya. Kombinasi budaya dapat dilihat secara nyata di negeri ini. Contoh saja, begitu banyak bahasa dan sastra pembacaan kitab-kitab sejarah Nabi Muhammad seperti Ad-Diba’i, Simtudduror, Burdah, dan masih banyak lagi. Bahkan semarak maulid diselenggarakan dengan cara berbeda-beda untuk membangkitkan berbagai gerakan demi keberlangsungan hidup beragama dan bermasyarakat.

Memang, momentum hari kelahiran sang idola memiliki arti penting untuk tidak dilewatkan sebab kelahiran sang nabiyyil musthofa ini telah berhasil membawa Islam menuju agama rahmatan lil alamin, yang selalu mengedepankan ukhuwah dalam berkehidupan dan membalut hati dengan keyakinan spiritual akan Tuhan yang Esa.

Menurut konteks spiritual, perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad menjadi jalan tarbiyah atau pembelajaran tentang akhlakul karimah Nabi Muhammad semasa hidup. Bergemanya selawat kepada Nabi rasanya mampu menjadi pintu pertama untuk mendakwahkan ajaran Islam karena dapat menarik jutaan jamaah. Di samping itu pembacaan syair-syair sanjungan terhadap Nabi ini juga menjadi obat penenang di tengah kehidupan yang semakin serba negatif. Penghayatan syair tersebut tak jarang membawa jamaah meneteskan air mata kerinduan untuk menemukan syafaat yang sebenarnya.

Begitu pula hari lahir Nabi, ajang peringatan maulid Nabi menjadi wadah dilakukannya ibadah-ibadah lain secara bersamaan, di antaranya sedekah makanan, infaq, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi keberkahan tersendiri dan menjawab mengapa perayaan maulid sangat berarti di Indonesia.

Perayaan maulid di Indonesia menjadi modal paling ampuh untuk memperkuat barisan mempertahankan nilai-nilai kebudayaan bangsa di tengah pengaruh budaya luar. Indonesia patut bangga memiliki konsep Islam Nusantara di mana budaya menjadi ikon utama dalam syiar Islam dan Islam Indonesia memiliki ciri khas khusus yang tak bisa ditiru bangsa lain.

Sebagai contoh, kita mengenal sarung dan songkok. Keduanya merupakan produk kreativitas budaya yang digunakan untuk kelengkapan Ibadah dan menunjang syarat sahnya ibadah terutama solat. Di negara lain sarung dan songkok sangat sulit kita jumpai, bahkan jarang yang memakai selain orang Indonesia. Kelangkaan ini seharusnya mampu menguatkan mental generasi muslim saat ini untuk terus berbudaya, berilmu, bertauhid dan menjalankan ajaran Nabi. Bukan malah membiarkan hastag “kids jaman now’’semakin melekat dengan image memberikan dampak buruk, bahwa generasi emas terpuruk karena produk kemajuan jaman. Berjam-jam nonton film korea sehingga lupa dengan kewajibannya, update hate speech di sosial media, mengikuti aktivitas dunia malam, dan masih banyak penyimpangan lain.

Tataran kehidupan masyarakat menjadi poin utama diadakannya perayaan maulid di Indonesia sebab doktrin persatuan dalam peringatan maulid menjadi media ampuh untuk menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap tanah air. Seperti yang kita tahu, implementasi nilai-nilai pancasila di negara kita sangat erat dengan teriakan “NKRI harga mati”, mengagungkan untuk bersatu dalam suasana humanis. Lewat maulid, nilai toleransi dan persatuan dapat diruncingkan kembali karena muncul pernyataan yang sering diberikan kepada masyarakat melalui para pemuka agama bahwa Islam Indonesia memiliki saudara seiman dan saudara sebangsa.

Konstruksi ini menjadi kokoh karena figur utama umat Islam adalah Nabi Muhammad. Tiru saja pendekatan sosial yang diterapkan Nabi saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Nabi berhasil menyatukan kaum muslim dan non muslim saat itu. Sejarah membuktikan bahwa Nabi Muhammad berhasil menghapuskan sistem perbudakan dan mengajarkan sistem kesetaraan untuk setiap manusia.

Dogma ini seharusnya dapat menjadi bahan refleksi masyarakat kita apakah kehidupan sosial kita sudah selaras dengan Nabi atau malah sebaliknya. Padahal dalam rangka pembangunan nasional terkhusus pada aspek sosial dan mental bermasyarakat, ajakan persuasif seperti ini dapat menghilangkan kesenjangan sosial. Walaupun masih banyak ditemukan penindasan dan kesengsaraan di mana-mana, akan tetapi bangsa ini harus optimis untuk perubahan dengan belajar dari Nabi Muhammad.

Perhatian selanjutnya mengarah pada kehidupan politik bangsa pada momentum hari kelahiran Nabi. Negeri ini memiliki kebebasan berpolitik karena demokrasi menghalalkan demikian. Indonesia memiliki catatan sejarah luar biasa karena di bulan Rabiul Awal ini digelar semarak gerakan 2 Desember 2016 atau biasa disebut gerakan aksi 212. Tak lupa para aktivis aksi mengadakan reuni agar tidak kehilangan momentum akbar tersebut. Acara tersebut identik dengan muatan spiritual yang meruncing pada pembicaraan politik. Isu NKRI bersyariah, khilafah untuk NKRI, dan muatan politik lain menghiasi agenda akbar tersebut.

Menjadi sangat berbahaya ketika keinginan merubah ideologi bangsa seperti ini terjadi. Kita harus tahu bahwa Indonesia merupakan hasil politik ijtima’ para tokoh Islam yang akhirnya melahirkan pancasila. Akankah apabila khilafah ditegakkan, lalu ini akan menjamin Indonesia aman dan makmur? Atau akibat ketidaktahuan sejarah maka kita bebas berbuat demikan?

Belajar dari Nabi Muhammad, politik pada zamannya memimpin sangatlah terstruktur. Tidak mementingkan kekuasaan akan tetapi untuk kemajuan masyarakat. Politik Nabi terkait dengan penyebaran Islam, aturan dalam bermasyarakat, dan membuat standar hukum di Madinah, dan pada waktu itu memacu keberhasilan umat Islam dalam membangun dinamika politik bangsa Arab. Maka apabila para politisi kita belajar cara berpolitik Nabi, rasanya kemajuan politik bangsa ini akan terjamin dan kepentingan masyarakat menjadi tak terbengkalai.

(Maulana Arif Rahman Hakim – Alumni UII, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII 2012)

Baca juga

Terbaru

Skip to content