Guru dan Harapan Kemajuan Pendidikan Bangsa

Menjalani profesi sebagai seorang guru tentu bukanlah pekerjaan mudah bagi siapa pun. Karena ada banyak tuntutan yang harus dipenuhi, jika mendalami bidang profesi ini. Baik itu tuntutan kepribadian, ataupun sosial.  Seorang guru harus memiliki kepribadian yang baik karena ia akan menjadi contoh bagi siswa-siswanya.

Tidaklah heran jika ada sebuah peribahasa yang mengatakan ‘Guru kencing berdiri, murid kencing lari-lari,’ artinya jika guru sebagai pendidik sudah mencontohkan hal yang buruk, maka otomatis siswa sebagai yang terdidik akan sama buruknya juga atau bahkan lebih. 

Asumsi di atas selaras dengan salah satu semboyan pendidikan dalam konsep “Tri Loka” dari Ki Hadjar Dewantara yakni ‘Ing Ngarsa Sung Tuladha’  atau yang di depan memberi teladan. Poin penting dari konsep tersebut adalah guru harus mampu  memberi teladan. Karena terkadang, seorang siswa dalam kehidupan pribadinya lebih menaati apa yang dikatakan gurunya daripada orang lain, bahkan  orang tuanya sendiri. 

Di lain hal, seorang guru dituntut untuk memiliki keterampilan bersosial yang inklusif, yang mana ia mampu adaptif terhadap lingkungan yang menjadi tempat mengajar. Jangan sampai seorang guru memiliki sikap yang ekslusif, misal dengan menutup diri, terasing, atau terjarak  dari lingkungan sekitar. 

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seminimalnya guru wajib memiliki empat kompetensi, di antaranya: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. 

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengetahui keragaman kondisi atau latar belakang peserta didik serta kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan guru dalam bertingkah laku atau berakhlak secara baik. Sementara kompetensi sosial berkaitan dengan bagaimana guru berkomunikasi dan berinteraksi secara aktif terhadap siswa, rekan sesama guru, dan masyarakat sekitar.

Lalu, kompetensi profesional merupakan kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan guru dalam menguasai materi yang diajarkan secara mendalam, serta dapat mengaplikasikannya. 

Namun, jika dilihat dari capaian kualitas pendidikan nasional kita masih kalah jauh, bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Berdasarkan survei yang dilakukan UNESCO melalui Global Education Monitoring Report 2016 tahun 2016,  menunjukan bahwa kualitas guru di Indonesia berada pada peringkat ke 14 di antara 14 negara berkembang. 

Selain itu, melalui Program for International Student Assessment atau PISA Test 2018 untuk mengukur kualitas peserta didik usia 15 tahun antara negara–negara di dunia pada bidang literasi, sains, dan matematika. Terdapat 79 negara yang ikut sebagai partisipan. Dalam kategori membaca Indonesia berada pada peringkat 74, kategori kategori matematika di peringkat 73, dan kategori sains berada di peringkat 71.

Bayangkan, dari ketiga kategori mata ujian di atas negara kita berada di peringkat 10 terbawah dan masih jauh jika dilihat dengan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia yang dalam kategori membaca pada peringkat 46, matematika 47, dan sains pada peringkat 48. Sedangkan Singapura untuk kategori membaca di peringkat 2, matematika 2, dan sains pada peringkat 2 juga.

Melihat permasalahan ini, tentu tidak adil jika hanya menyalahkan guru saja. Mengingat dalam segi perangkat pendidikan bukan hanya guru melainkan ada siswa, lembaga pendidikan, pemerintah, dan lain-lain.  

Oleh sebab itu, perlu dicari tahu lebih jauh apa saja yang melatarbelakangi kualitas guru dan kualitas pendidikan kita belum bisa bersaing dengan negara-negara lain. 

Kali ini penulis akan mengangkat 3 persoalan, yang menjadi penghambat mengapa kualitas pendidikan dan kualitas guru di Indonesia belum terhitung maju. Persoalan pertama mengenai keterampilan guru dalam mengelola waktu, kedua tentang kesejahteraan guru, dan ketiga persoalan tentang pemberdayaan guru di sekolah. 

Persoalan pertama, yang menyebabkan kualitas pendidikan dan kualitas guru kita masih tergolong rendah adalah kebanyakan dari guru belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Jika seorang guru mengerti bahwa tugasnya banyak seharusnya ia bisa membagi waktu kapan ia harus menyelesaikan berkas administrasi belajar dan kapan waktu mengajar.

Sebaiknya administrasi pembelajaran seperti Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), atau instrumen penilaian belajar seperti berkas ulangan harian, soal ujian semester, disediakan dari jauh-jauh hari. Agar hal tersebut guna menunjang profesionalitas guru. Jangan sampai, karena beban administrasi membuat guru kurang fokus pada materi pembelajaran.

Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi telah membuat kebijakan dari segi administrasi pembelajaran. Misalnya dengan mengeluarkan kebijakan melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 tentang  Penyederhanaan terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang mana RPP tersebut memuat komponen pembelajaran yang cukup banyak, yakni 13 komponen.

Namun setelah dibuat kebijakan maka format RPP menjadi hanya selembar sampai dua lembar saja, dengan muatan komponen pembelajaran yang lebih sedikit, yakni hanya memuat tujuan pembelajaran, langkah pembelajaran, dan penilaian pembelajaran 

Kedua, persoalan minimnya kesejahteraan untuk guru khususnya tenaga honorer. Terdapat salah satu kritik para guru pada waktu peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019 yang menyatakan “Guru honorer hanya diakui saat mengajar, urusan kesejahteraan mereka terabaikan.” Biar bagaimanapun guru merupakan tenaga kerja dan mereka punya kebutuhan hidup yang harus dicukupi. 

Jika dilihat dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Agama, jumlah guru honorer dari jenjang SD sampai SMA di tahun 2020 mencapai jumlah 728.641 yang mana dengan jumlah sebanyak itu, artinya pemerintah harus bekerja lebih ekstra untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Ketiga, soal pemberdayaan guru di sekolah. Tidak bisa kita bohongi bahwa keberadaan dan peran guru di sekolah terkadang sangat overpower. Bagaimana tidak, selain dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran mereka juga sering dilibatkan dalam kegiatan non pembelajaran.

Misalnya dalam kegiatan pembelajaran, seorang guru dituntut  untuk mengajar selama 24-40 jam per minggu. Terlebih untuk guru yang statusnya Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka harus memenuhi kriteria tersebut jika ingin mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG).  

Sedangkan dalam urusan non pembelajaran, seorang guru juga dibebankan dengan pengembangan kompetensi, misalnya tuntutan untuk melakukan kegiatan penelitian atau pengayaan.

Adanya beberapa  tuntutan tambahan seperti itu, di satu sisi sebenarnya bagus untuk pengembangan kompetensi, namun di sisi lain mengakibatkan guru menjadi terjarak dengan siswa. Dan bahkan paling buruknya bisa jadi mereka rela meninggalkan jatah wajib mengajar demi menunjang kompetensi.

Padahal tugas utama guru menurut Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005 ialah mendidik, mengajar, membimbing, memberi arahan, memberi pelatihan, memberi penilaian, dan memberikan evaluasi kepada peserta didik. Bagaimana mungkin mereka memahami kondisi peserta didik satu per satu secara lebih intens, jika dalam urusan administrasi keprofesian saja belum selesai. 

Kondisi yang sangat mekanistik dan formalistik seperti inilah yang membuat wajar jika tokoh pendidikan dunia seperti Paulo Freire menganggap bahwa praktek pendidikan khususnya di negara berkembang itu  sifatnya sangat “Banking Education.” 

Guru menganggap peserta didik sebagai objek   dikarenakan mereka dituntutkan akan banyak hal. Alih–alih orientasi pendidikan membentuk kesadaran malah justru melanggengkan status quo

Oleh karenanya, dari serangkaian masalah di atas perlu kesadaran bersama dalam membangun pendidikan bangsa. Pemerintah sebagai government atau pelayan masyarakat perlu terus-menerus membangun kualitas pendidikan bangsa. Misalnya dimulai dengan meningkatkan kualitas guru secara lebih holistik, salah satunya dengan memperbanyak program pelatihan secara nasional untuk guru-guru agar peningkatan kualitasnya nanti lebih merata. 

Pemerintah juga bisa menaikkan standar mengenai Uji Kompetensi Guru (UKG). Dengan begitu tiap guru di seluruh Indonesia punya kesadaran dan semangat juang yang tinggi untuk memperbaiki kualitas diri dan profesinya. Ketika kualitas guru membaik maka kualitas pendidikan bangsa akan membaik. 

Dari segi urusan kesejahteraan tenaga honorer pemerintah dalam hal ini Kemendikbud Ristek Dikti perlu membangun kerja sama dengan berbagai lembaga terkait, baik itu lembaga nasional maupun internasional.

Di lain hal, khusus untuk lembaga pendidikan dalam urusan recruitment nanti diharapkan tiap-tiap lembaga pendidikan di Indonesia dari tingkat dasar sampai menengah, bisa lebih selektif merekrut tenaga pendidik baru dengan memperhatikan kondisi pendidik, peserta didik, dan kondisi sekolah.

Lembaga pendidikan juga harus bisa dalam pembuatan kebijakan lembaganya dengan melibatkan seluruh stakeholder yang berkaitan dengan perbaikan kualitas pendidikan. Misalnya siswa, orang tua atau wali murid, dan masyarakat sekitar. Agar mereka sadar bahwa ikhtiar memajukan pendidikan bangsa adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya pada guru, dan lembaga pendidikan saja  karena hal itu sejalan dengan tujuan kita berbangsa. 

Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa alasan mengapa republik ini berdiri salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, atau dengan kata lain upaya memajukan pendidikan sama saja upaya memajukan bangsa.

*Naskah Sudut Pandang atau Retorika ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi himmahonline.id.

Baca juga

Terbaru

Skip to content