Hilangnya Koperasi di Ranah Kurikulum Universitas

Koperasi merupakan sokoguru ekonomi Indonesia, itulah yang digaungkan Bung Hatta. Sejatinya ideologilah yang mempengaruhi tatanan kenegaraan, termasuk tatanan ekonomi. Ketika Indonesia menempatkan Pancasila sebagai Ideologi bangsanya, maka dari sana pula tatanan ekonomi harus dijalankan. Koperasi dijalankan tidak hanya dari segi operasionalisasi saja, tetapi juga dari sisi pendidikan, mahasiswa mempunyai andil besar sebagai penggerak tatanan perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, sudah lama koperasi sebagai bagian dari pendidikan hilang, khususnya dari ranah kurikulum di universitas.

Padahal, jika meruntut pada pasal 33 UUD 1945 jelas bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar pada asas kekeluargaan. Penjelasan dari pasal ini menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perseorangan. Dari pasal 33 UUD 1945 ini secara tersirat menyatakan bahwa badan usaha atau perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia adalah koperasi. Maka timbul pertanyaan, kenapa koperasi hilang dari ranah kurikulum di tingkat universitas? dan apa urgensi dari dihilangkannya koperasi pada kurikulum di tingkat universitas? inilah yang kemudian patut kita sadari secara bersama. Sangat disayangkan apabila hilangnya kurikulum koperasi ini karena permintaan pasar semata, tanpa memikirkan aspek ideologis, dan tanpa adanya alasan yang lebih filosofis.

Pembina Koperasi Pemuda Indonesia (Kopindo) Muhammad Suaimi berpendapat bahwa dengan hilangnya koperasi dari kurikulum di sekolah-sekolah termasuk tingkat universitas, maka sedikit pula SDM yang paham akan sistem ekonomi Indonesia yang berkeadilan seperti koperasi, dan sistem pasarlah yang akan merajalela. Ini juga yang kemudian menjadi dampak dari hilangnya koperasi dari kurikulum di universitas.

Ketika Presiden Joko Widodo menempatkan koperasi sebagai aspek penting dalam pelaksanaan perekonomian yang sesuai dengan kehendak rakyat, maka disana pulalah pendidikan akan koperasi harus menjadi instrumen penting. Universitas juga hendaknya harus menempatkan diri dalam membuka kerangka berfikir mahasiswanya untuk bisa memahami akan pentingnya koperasi sebagai tatanan perekonomian di Indonesia.

Pada umumnya silabus yang disusun oleh para pengajar dan dosen mata kuliah koperasi tidak mampu menandingi pemikiran mainstream yang didominasi oleh sistem ekonomi pasar (liberalisme-kapitalisme), tidak pula mampu mensejajarkan peran ekonomi berwacana “kerjasama” atau co-operativism dengan peran ekonomi yang berwacana “persaingan” atau competitionism. Hal ini seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Sri Edi Swasono. Jangan sampai universitas mengabaikan pendidikan koperasi dan menghilangkannya karena tuntutan pasar dan melihat realitas akan tumbuhnya sistem ekonomi pasar yang jauh dari tatanan perekonomian yang sudah dibentuk berdasarkan undang-undang. Ini pula yang mulai nampak, dengan mulai rontoknya ideologi Pancasila di lingkungan akademik. Patut dikehendaki jika ini menjadi suatu tugas bagi civitas akademik maupun mahasiswanya untuk kemudian kembali berfikir akan pentingnya suatu ideologi.

Setiap tahun kurikulum di universitas ditentukan berdasarkan dewan dosen yang kemudian dibuat tatanannya dan menghasilkan beberapa mata kuliah. Dewan dosen inilah yang kemudian menyadari beberapa aspek dan alasan kenapa memasukan beberapa mata kuliah di tiap-tiap jurusan.

Universitas Islam Indonesia mempunyai jurusan yang sangat dekat dengan tatanan koperasi secara akademik, yaitu jurusan Ilmu Ekonomi. Namun, di kurikulum maupun mata kuliah, koperasi sama sekali tak tersentuh. Sebagai mata kuliah, koperasi sudah lama di hilangkan. “Memang Koperasi sudah lama hilang dari kurikulum Ilmu Ekonomi di UII ini, di UGM pun tidak ada,” ujar Akhasyim Afandi, selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi UII.

Mahasiswa sebagai agent of change hendaknya mulai berfikir kritis dan menyadari akan adanya kekuatan kapitalis yang mulai menggerogoti sendi perekonomian Indonesia. Mahasiswa UII kemudian harus mempunyai pandangannya akan suatu tatanan perekonomian ini. Disinilah kemudian kita bersikap, apakah layak koperasi dianggap sebagai suatu tatanan perekonomian dan kemudian diwujudkan dalam kurikulum di universitas? Jika memang jelas urgensi dari koperasi ini, maka patutlah kita berani bergerak dan menentukan sikap. (Fahmi Ahmad Burhan – Magang LPM Himmah UII/Mahasiswa Ilmu Ekonomi UII 2013)

Skip to content