“Kaum Islam tak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula!” – Soekarno (Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme)
Seperti yang kita ketahui bersama, perbincangan seputar Islam tentulah sangat banyak di UII. Pembicaraan seputar Islam di UII tersebut terwujud dalam diskusi dan kajian rutin lembaga dakwah serta takmir masjid yang biasanya lebih menyasar kepada peningkatan ketakwaan-keimanan mahasiswanya. Tak jarang, mereka juga membahas Islam dalam kaitannya seputar jodoh dan menikah di usia muda. Selain itu perbincangan Islam dalam keterkaitannya dengan situasi kebangsaan dan mancanegara pun tak sedikit kita temui.
Di tengah keramaian diskursus perbincangan Islam yang ada di UII tersebut, membahas Marxisme – ideologi yang menurut orang banyak sudah usang ini – apalagi jika dikaitkan dengan agama seperti Islam, adalah sebuah upaya tuk menempuh “jalan yang sunyi”.
Menyesuaikan Islam dan Marxisme
Jalan sunyi itu juga ditempuh Nurcholis Ainul R.T ketika membahas Benarkah Marxisme Menentang Konsep Tuhan? Oktober tahun lalu. Seperti yang diketahui tulisan tersebut memaparkan kepada kita salah satu propaganda Orde Baru yang sampai sekarang masih terus direproduksi. Ainul menulis, “satu dari sekian banyak omong kosong tentang Marxisme yang digaungkan sejak bertahun-tahun lamanya adalah soal Marxisme yang menegasikan peran agama dan anti-Tuhan”.
Ainul berangkat dari kritik Karl Marx terhadap Bruno Bauer dan Feurbach yang kemudian, pada akhirnya, tidak menemukan sama sekali tesis Marx yang menuduh agama adalah sumber dari alienasi terhadap manusia. Kesimpulannya, Marxisme sejatinya tidak anti agama dan tuhan. Pada titik ini Islam dan Marxisme mendapatkan basis argumentasi atas penyesuaiannya.
Seperti yang diketahui, Islam dan Marxisme adalah dua ihwal yang berbeda. Islam merupakan ajaran agama yang mendasarkan dirinya pada nilai-nilai keimanan dan ketauhidan. Sementara Marxisme adalah teori ilmiah yang mendasarkan dirinya pada penalaran objektif lagi rasional. Namun, mungkinkah Islam dan Marxisme bisa disesuaikan dan disatukan?
KH. Abdurrahman Wahid dalam tulisannya yang berjudul Pandangan Islam tentang Marxisme-Leninisme berpendapat bahwa secara ideologis Marxisme dalam hal ini Marxisme-Leninisme tidak mungkin dipertemukan dengan Islam.
Hal itu didasarkan karena Marxisme adalah doktrin politik yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam adalah sebuah agama yang masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan kepercayaan akan sesuatu, yang secara empiris tidak dapat dibuktikan dan melekat dengan konteks metafisika seperti pewahyuan dari Tuhan.
Marxisme juga menyatakan bahwa basis struktur – yang merupakan corak produksi masyarakat – adalah satu-satunya yang mampu mengkondisikan suprastruktur (politik, ideologi, hukum, agama, budaya dll). Determinisme basis struktur tersebut kemudian meletakkan Islam sebagai agama yang masuk dalam suprastruktur. Dengan begitu Islam dianggap menjadi bagian dari jaringan kekuasaan yang menunjang kapitalisme, meskipun pada dirinya mengandung unsur-unsur antikapitalisme.
Namun yang membuat heran adalah hubungan diametral antara Islam dan Marxisme itu tidak membuat kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam lingkungan bangsa muslim kemudian tidak berkembang. Di negara yang mayoritas penduduknya bukan beragama Islam, seperti Sri Lanka dan Filipina, kata Gus Dur, “Marxis-Leninis juga berkembang”.
Di Indonesia pada rentang 1920 sampai lengsernya Soekarno, kita tahu bahwa kelompok Marxis terlembagakan secara politik melalui Partai Komunis Indonesia, Partai Murba, dan Partai Sosialis Indonesia. Belum lagi jika kita sedikit menilik ke belakang, yakni pada zaman bergerak, munculnya Sarekat Islam Merah menunjukan kecenderungan pertautan antara Islam dan Marxisme. SI Merah kemudian kita ketahui bersama menjadi cikal-bakal PKI.
Tumbuh suburnya faham Marxisme di negara yang belum berkembang atau negara terjajah bisa dipastikan diakibatkan oleh kesenjangan yang tinggi antara idealita dan realita kemasyarakatan: Kemiskinan melanda, sementara sebagian orang kaya raya; penindasan terjadi dimana-mana, sementara sebagian orang hidupnya sangat enak.
Marxisme, bagi negeri-negeri itu, ibarat wahyu yang turun dan membuka jalan pembebasan bagi masyarakat tersebut. Hal itu karena, bisa dipastikan, tak ada ideologi selain Marxisme yang bisa menjelaskan akar penindasan masyarakat kecil dan kemudian berpihak pada kaum-kaum – meminjam istilah Bung Karno – “Marhaen” itu!
Bagi Gus Dur, salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan antara Islam dan Marxisme Leninisme adalah menggunakan pendekatan yang disebut sebagai vocabularies of motive (keragaman motif) yang digagas oleh Bryan Turner. Pendekatan ini menjelaskan bahwa tidak ada motif tunggal yang dapat diaplikasikan bagi keseluruhan perilaku kaum muslimin sepanjang sejarah mereka.
Gus Dur menjelaskan, “Beberapa contoh seperti tasawuf (mistisisme), syariat (legal-formalisme), dan akhlak (etika sosial), dalam hubungannya dengan kecenderungan “ekonomis”, justru menampilkan banyak kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin itu.”
Selain itu pendekatan ini dapat mengungkapkan kesamaan orientasi antara pandangan kemasyarakatan Marxisme – yang bersumber pada kolektivisme – serta tradisi kesederhanaan dalam masyarakat Islam pertama di Madinah zaman Nabi Muhammad SAW.
Pandangan Marxisme yang sangat jelas menelanjangi struktur kekuasaan kapitalisme yang eksploitatif – yang kemudian mengarah pada penumpukan kekayaan ditangan segelintir orang ini – serta tindakan perjuangan untuk mewujudkan struktur masyarakat yang adil, pada kecenderungannya, bisa saja menghubungkannya dengan Islam. Dua orientasi yang sama yakni egalitarianisme dan populisme bisa dijadikan basis argumentasi dalam melihat kesesuaian antara kedua sistem tersebut.
Menggelorakan Persatuan
56 tahun sebelum Gus Dur mengeluarkan tulisannya, Soekarno muda sejatinya telah melakukan upaya agar Islam dan Marxisme (juga Nasionalisme) tidak berbenturan pada level pergerakannya. Upaya itu disistematisasikan dan dituangkan dalam sebuah tulisannya di Suluh Indonesia Muda yang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
Seperti yang diketahui ketiga golongan gerakan ini sangat besar dan begitu mendominasi pergerakan prakemerdekaan saat itu. Namun, sayangnya, pada praktiknya kelompok ini belum sadar akan pentingnya kesatuan dan persatuan dalam gerakan. Soekarno pun mendapati bahwa kelompok Islam dan Marxist tidak memiliki hubungan yang baik dan kadangkala berselisih faham.
Berangkat dari hubungan yang kurang baik tersebut Bung Karno mengatakan, “tidaklah semestinya kaum muslim dan kaum Marxist itu saling membelakangi, karena Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis, Islam yang sejati itu justru mengandung tabiat-tabiat sosialistis.”
Dari sini Ia mengingatkan akan pentingnya kaum Islam dalam melihat realitas penindasan yang sebenarnya. Yakni dimana penindasan itu berakar dari suatu nafsu ekonomi dan politik untuk menguasai tanah dan bangsa Hindia.
Bisa dibilang, ketertarikan Bung Karno dengan Marxisme berpangkal dari salah satu perangkat filsafat Marxisme yakni materialisme-historis yang dia anggap mampu menerangkan kejadian di dunia ini, terlebihnya terkait nafsu ekopol dari penjajah. Maka dari itu ia mengatakan, “Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula!”
Sistem ekonomi kapitalisme sendiri mengarahkan penumpukan uang di satu kelompok saja, seperti halnya kaum pemodal. Sedangkan kaum buruh yang sejatinya telah mencurahkan tenaga untuk memproduksi kebutuhan itu, justru hidupnya tak berkecukupan. Disatu sisi yang lain, sistem ekonomi ini memungkinkan munculnya riba dan memungut bunga. Akumulasi dan sentralisasi kekayaan di tangan segelintir orang tersebut seharusnya bertentangan dengan konsep dan ajaran Islam.
Beberapa Catatan
Meskipun pada level ideologis Gus dur menyatakan, bahwa Islam dan Marxisme tak akan mungkin bertemu. Namun, pada kecendrungannya Gus Dur menginginkan agar kajian yang lebih mendalam diperlukan untuk mencari kesesuaian antara Islam dan Marxisme.
Roy Murtadho dalam tulisannya di Indoprogress berjudul Gus Dur dan Marxisme-Leninisme mengatakan bahwa Gus Dur melihat adanya peluang terjadinya penguatan ajaran-ajaran Islam melalui penyerapan Marxisme sebagai alat analisis.
Selain itu Gus Dur juga menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat Al-Qur’an, hadits dan penjelasan ulama dalam karyanya untuk diperiksa kembali, “wawasan kelas-nya”. Berangkat dari hal tersebut, hal itu ditujukan agar dimungkinkannya, “Penafsiran kembali atas ‘pemahaman salah’ akan sumber ajaran agama yang selama ini ditafsir.”
Yang terbaik dari sikap Gus Dur adalah ia sadar akan pentingnya pendekatan struktural dalam menafsirkan ajaran agama. Pendekatan struktrulal itu, dijelaskan Murtadho, akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar adil dalam pandangan Islam.
Sikap terbuka Gus Dur terhadap Marxisme tersebut tentunya menjadi teladan kita untuk tetap menggunakan pendekatan-pendekatan ideologis dan kritis dalam menjelaskan fenomena dan bersikap atasnya. Gus Dur sendiri bisa dibilang sangat menyayangkan sikap kaum muslim Indonesia dalam melihat Marxisme. Sikap ini, jelas Gus Dur, menunjukkan bahwa kaum muslimin Indonesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi individual di bidang ideologi.
Sementara itu, dari pemikiran Bung Karno kita bisa mendapati bahwa ada beberapa kesesuaian yang semestinya mampu menyatukan pergerakan Islam dan Marxisme. Upaya penyesuaian antara Islam dan Marxisme tersebut ditawarkan Bung Karno dengan menggali nilai-nilai moral yang ada dalam ajaran Islam. Nilai moral dan perjuangan lainnya juga yakni kemerdekaan, persamaan, persaudaraan kemudian menjadi justifikasi untuk mengakurkan hubungan keduanya.
Pendekatan Islam dan Marxisme ala Bung Karno, yang walaupun bercorak pragmatis, saya kira masih akan tetap relevan mengingat kapitalisme akhir ini semakin menunjukkan wajahnya yang mapan dan semakin mengakibatkan ketimpangan yang menganga lebar. Hal ini menjadi problem krusial. Perkembangan kapitalisme tersebut tentunya menuntut kita, kaum muslim, untuk tetap menjaga kewarasan sehingga tidak mudah untuk digerakkan kepada persoalan-persoalan dangkal yang tidak substansial. Hal tersebut tentunya perlu didukung dengan menempatkan Islam sebagai agama pembebasan dengan Marxisme sebagai metode analisanya sedangkan perjuangan kelas sebagai metode perjuangannya. (Mufli Muthaher – Pegiat di komunitas Pantik Geni/Mahasiswa UII Angkatan 2012)
Referensi:
[1] Nurcholis Ainul R.T, Benarkah Marxisme Menentang Konsep Tuhan?. Himmah Online [2] Soekarno. “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Sebelumnya dimuat di Suluh Indonesia Muda (1926). Kini dibukukan dalam Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1 [3] Abdurrahman Wahid, “Pandangan Islam Terhadap Marxisme dan Leninisme”, dalam Aula, September (1988). Sebelumnya pernah dimuat dalam Persepsi, No. 1, (1982). Dan dimuat dalam website NU Online [4] Roy Murtadho, Gus Dur dan Marxisme-Leninisme. Indoprogress.com