Misal saja kita kembali ke masa kecil. Di sana dunia diperlihatkan kepada kita begitu manis, empuk, dan lembut untuk dikunyah. Bila kita belajar dengan rajin dan giat, kita bisa mendapatkan nilai yang bagus di rapot kita. Lalu masuk perguruan tinggi, dan mendapatkan pekerjaan yang layak dengan kerja keras, dan merasa aman, terjamin. Lalu kita bertemu dengan pasangan kita, menikah dan bercinta. Begitu mudah kita memahami bahwa hal-hal tersebut adalah kebaikan.
Kita bisa makan pizza, burger, sushi, steak, cumi, lobster dan berbagai macam ragam kuliner lain yang telah begitu berlimpah di pasaran. Kita bisa makan ayam setiap hari. Minum susu setiap hari. Membeli pakaian model terbaru setiap minggu. Membesarkan massa otot. Dan menyaksikan sajian hiburan yang sudah begitu banyak dan mengantri di daftar putar. Atau kita bisa pergi berwisata ke tempat-tempat yang jauh, yang belum pernah kita injakan kaki di sana sebelumnya dan kita akan merasa bahagia, seperti tidak ada yang salah dengan semua itu.
Kita telah menempuh pendidikan dengan baik. Mematuhi hukum. Mencoblos calon pemimpin setiap kali ada pemilihan umum. Tidak telat membayar pajak. Serta berkontribusi meningkatkan perekonomian nasional. Instruksi yang begitu jelas dan mudah. Di ujung sana, kita akan sukses bila mematuhi aturan-aturan dan norma-norma sosial yang berlaku tersebut.
Namun, narasi-narasi tersebut tampaknya hanya jelas dan masuk akal dalam satu gelembung dominan itu saja. Ketika pengetahuan-pengetahuan lain di luar gelembung itu meletus dan sampai kepada kita, lalu kita menyadari bahwa narasi-narasi kebaikan tadi sebagian banyak mengandung ilusi.
Ulrich Brand dan Markus Wissen, sosiolog dari Jerman, menulis buku yang berjudul Imperiale Lebensweise: Zur Ausbeutung von Mensch und Natur im Globalen Kapitalismus (2017), atau Gaya Hidup Imperial: Tentang Eksploitasi Manusia dan Alam dalam Kapitalisme Global.
Apa yang dimaksud Brand dan Wissen dari gaya hidup imperial adalah mengacu pada masyarakat global north yang bergantung pada produksi dan konsumsi skala besar yang didapatkan dari ekstraksi energi, sumber daya alam, dan para buruh dari global south. Atau dalam kata lain, kenikmatan dan kemudahan yang mereka alami dalam hidupnya itu ditopang oleh penderitaan-penderitaan masyarakat lain di Selatan. Persis seperti menari di atas penderitaan orang lain.
Seperti fast fashion, aktivitas berbelanja pakaian bisa nyaris setiap bulan—untuk tidak mengatakan nyaris setiap minggu. Di satu sisi, terkesan baik, dengan membeli barang-barang tersebut kita seperti mendukung para penjual dan pengrajin, meningkatkan perekonomian. Namun, bila kita lihat bagaimana barang-barang tersebut diproduksi, kita akan melihat sesuatu yang lain.
Contoh skala global, Bangladesh, adalah salah-satu produsen besar dalam industri garmen, fast fashion yang kita butuhkan—atau seolah-olah menjadi kebutuhan—dibikin dalam kondisi kerja yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2013 di Rana Plaza di Dhaka, sebuah bangunan besar yang menampung lima pabrik garmen runtuh, mengakibatkan lebih dari seribu nyawa melayang.
Tidak hanya dari sisi buruh yang harus bekerja terus menerus untuk memenuhi permintaan yang begitu tinggi, lebih jauh, kapas yang digunakan untuk produksi pakaian di Bangladesh dibudidayakan oleh petani miskin di India yang harus bekerja di bawah suhu 40°C yang begitu panas.
Bahkan para petani itu tidak memiliki kedaulatan atas tanaman kapasnya. Dari permintaan yang terus meningkat di industri mode itu menyebabkan penggunaan tanaman kapas dimodifikasi secara genetik dan dipatenkan oleh perusahaan-perusahaan besar. Para petani kehilangan kepemilikan atas benih yang dimodifikasi secara genetik itu, bersama dengan pupuk kimia dan pestisida. Bila mereka gagal panen, para petani bakal semakin banyak hutang untuk membayar modal benih, pupuk, dan pestisida yang sudah mereka beli sebelumnya.
Lingkaran penderitaan ini seperti sulit ditemukan ujungnya. Semakin meluasnya cakrawala pandangan, kita menyaksikan keganjilan-keganjilan yang begitu kentara. Kita mengetahui bahwa banyak rumah kosong yang tidak berpenghuni. Banyak apartemen yang tak terisi. Sementara itu di seberang gedung apartemen atau rumah-rumah kosong itu, berjejalan di trotoar para gelandangan yang tak memiliki rumah. Artinya bukan semata-mata ketiadaan rumah, melainkan ketiadaan akses untuk menempatinya.
Keganjilan-keganjilan tersebut telah mencemari pandangan masa kecil kita tentang dunia yang dikelilingi cerita bahwa semuanya baik-baik saja. Dunia berjalan pada koridor yang tepat dalam menyongsong kemajuan. Bahwa semuanya berjuang untuk hidup dengan mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku.
Adapun masalah-masalah yang ada hanyalah sekadar masalah yang terpisah-pisah yang bisa dipecahkan dan ditangani, atau dianggap sebagai masalah tabu, yang tak terselesaikan, dan baiknya diabaikan begitu saja. Pandangan masa kecil kita itu telah tercemari dan mulai berbisik lirih, dunia yang kita tinggali ternyata tidak baik-baik saja.
Setelah kita merasakan bahwa banyak hal berjalan secara ganjil, lalu kita merasa harus terlibat dalam melakukan perubahan bagi perbaikan kehidupan. Mungkin setelah lulus kuliah, kita tidak mengikuti petunjuk konvensional untuk bekerja dalam tujuan memperkaya diri atau mendapat kekuasaan, yang juga telah bercumbu dengan hasrat dasar untuk mengakumulasi dan mempertahankan kekayaan.
Alih-alih, kita lalu mencari alternatif lain seperti bekerja di dunia pendidikan, sebab melihat bahwa pendidikan adalah dasar awal untuk perubahan itu. Sembari kita juga aktif di NGO, misalnya, mengerjakan proyek-proyek sosial yang berupaya menyelesaikan masalah-masalah tadi secara langsung. Atau kita bekerja di laboratorium-laboratorium, melakukan riset-riset yang bisa dengan efektif menyelesaikan masalah-masalah tadi.
Namun, setelah masuk di sana kita menyadari, lembaga-lembaga tersebut pun telah tercengkeram kuat oleh sistem tak terlihat yang melanggengkan keganjilan-keganjilan yang mengganjal pikiran kita. Pendidikan melanggengkan narasi dan cara pandang dunia yang terpisah-pisah, yang berupaya menaklukan alam dengan tangan-tangan besi teknologi. Pun demikian NGO, lembaga ini bergerak, sebagian banyak, oleh uang dari donor korporasi-korporasi besar yang ekstraktif dan destruktif, baik pada alam maupun pada buruh-buruhnya yang secara tidak langsung turut serta melanggengkannya. Menyadari ini, seakan-akan tidak ada tempat bagi kita untuk pergi.
Misal saja kita membuka jalan baru lewat upaya-upaya revolusi atau setidaknya terlibat aktif dalam aktivisme untuk reformasi. Namun, gerakan-gerakan sosial yang terfragmentasi tak memiliki dampak yang cukup, semisal untuk menghentikan kerusakan lingkungan atau krisis sosial. Konon menurut kalimat masyhur, seperti yang dikutip Charles Eisenstein, “you cannot change one thing without changing everything.”
Misal saja dulu, industri bergantung sepenuhnya pada alam, seperti kertas yang berasal dari kayu. Kertas memang mudah dibentuk dan ringan, namun tidak kuat, tidak tahan lama, dan menghabiskan persediaan kayu yang penting bagi ketersediaan oksigen dan lingkungan. Lalu polimer sintetik atau lebih dikenal dengan plastik ditemukan dan berkembang pesat. Demikian plastik pada mulanya diciptakan, salah-satunya, sebagai solusi untuk menjaga ketersediaan sumber daya alami di bumi.
Upaya-upaya yang dilakukan dengan mengembangkan plastik, baik dengan alasan ekonomis maupun ekologis, sebagai solusi ternyata menjadi persoalan lain. Sampah plastik kini menjadi persoalan yang serius. Demikianlah, sebab plastik hanya mengubah satu hal, ia tidak mengubah semuanya.
Misal saja sekarang, upaya untuk beralih pada energi terbarukan tanpa mengubah sistem ekonomi yang menopangnya tidak akan merubah apa-apa. Peningkatan investasi dalam energi terbarukan terjadi di seluruh dunia. Namun, konsumsi bahan bakar fosil tetaplah sama untuk tidak menyebutnya meningkat. Sebab energi terbarukan tidak dikonsumsi untuk menjadi pengganti bahan bakar fosil. Energi terbarukan digunakan bersamaan dengan bahan bakar fosil demi memenuhi permintaan energi secara keseluruhan yang meningkat terus menerus karena pertumbuhan ekonomi.
Artinya untuk mengharapkan perubahan berarti adalah dengan merubah segalanya, termasuk gaya hidup kita hari ini. Gaya hidup yang telah begitu menubuh ini, yang telah menjadi kebiasaan dan sulit dilepaskan dalam kehidupan keseharian kita. Demikian di hadapan perubahan drastis tersebut kita dikepung oleh ketakutan. Ketakutan hilangnya segala yang telah akrab dengan kehidupan keseharian kita. Konsumsi energi, makanan, pakaian, dan segala sumber daya yang kita pakai dalam keseharian tentu perlu dievaluasi. Seakan kebahagiaan yang kita gantungkan pada konsumsi-konsumsi tersebut akan direnggut, dan kita takut untuk berubah.
Dalam sebuah wawancara Anja Steinbauer bersama Slavoj Žižek di Philosophy Now, filsuf asal Slovenia yang jenaka itu berbicara bahwa mungkin hari ini bukan saat yang tepat untuk mengubah dunia. Seperti seruan masyhur Karl Marx beberapa abad yang lalu “para filsuf sampai sekarang hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara; intinya, bagaimana pun, adalah mengubahnya,” tetapi sebaliknya, bagi Žižek masa sekarang adalah saat yang tepat untuk mundur beberapa langkah, tepatnya untuk berpikir ulang.
Dalam kalimat yang lebih lugas Žižek menyeru “Don’t act. Just think.” Žižek seperti melihat bahwa upaya-upaya yang kita lakukan tak cukup. Apa yang kita lakukan dengan bersikap aktif dan ingin berpartisipasi, hanya sekadar untuk menutupi kehampaan saja dari apa yang terjadi. Pseudo-activity. Žižek melihat orang-orang selalu ingin campur tangan, untuk melakukan sesuatu, membuat langkah-langkah kecil, akademisi yang berpartisipasi dalam ‘debat’ yang tidak berarti, dsb; namun hal yang benar-benar sulit adalah untuk mundur, dan menarik diri dari semua keganjilan ini.
Seturut dengan semangat itu, Bayo Akomolafe, filsuf dari Nigeria yang sangat puitis itu menguji dan menantang cara berpikir tradisional kita tentang aktivisme. Misal saja cara-cara umum dalam aktivisme seperti protes, reformasi kebijakan, atau menumbangkan orang-orang jahat. Bayo bertanya bagaimana jika metode-metode yang biasa kita lakukan dalam aktivisme itu berakar pada pola pikir yang sama, yakni kontrol, urgensi, biner, yang menjadi akar awal dari krisis-krisis yang ada?
Kita perlu terus menerus bertanya, seperti halnya pertanyaan Bayo Akomolafe. Ia membayangkan bahwa kerja-kerja aktivisme seperti halnya sebuah palu, yang tentu berguna pada situasi-situasi tertentu. Tapi Bayo bertanya, apakah kita salah mengira kalau setiap masalah itu seperti paku yang perlu dipalu? Bagaimana jika dunia lebih seperti hutan daripada mesin yang rusak?
Bayo Akomolafe mengingatkan kita untuk lebih pelan, slow down. Sebagaimana Žižek, kita perlu memikirkan kembali apakah kita telah tepat dalam mendefinisikan dan merumuskan masalah. Agar kita tidak kembali menyusun solusi yang kelak berganti wajah di kemudian hari, menjadi krisis baru.
Bayo Akomolafe membuat istilah yang ia namakan dengan post-activism. Alih-alih dengan jawaban dan solusi, post-activism, menekankan kita untuk mampu bertanya, dalam nada yang lembut dan intim, tentang horison-horison yang mungkin luput dan terabaikan.
Bagi Bayo Akomolafe, post-activism ini tidak ditujukan sebagai bentuk baru yang lebih unggul yang menjamin solusi. Bukan pula post-dalam arti menjadi narasi penerus, kebenaran yang lebih dalam, jalur yang lebih pasti menuju dunia utopis atau formula tepat untuk menyelamatkan dunia.
Sebaliknya, post-activism alih-alih berusaha mendominasi atau mengatasi masalah yang kita hadapi. Kita harus belajar mendengarkan dengan seksama berbagai suara dan merangkul kompleksitas, ketidakpastian, dan berbagai perspektif.
Ketidakpastian yang begitu ditakutkan oleh kita mungkin adalah kepastian yang lain. Post-activism tidak mendorong untuk sekadar mengandalkan fakta-fakta dan logika, yang sepertinya bukan alat yang cukup untuk mengurai kompleksitas. Ia melangkah lebih jauh, untuk kita mulai menggunakan kembali perangkat-perangkat seperti mitos, ritual, mimpi dan cerita, hal-hal yang telah dikubur dalam-dalam oleh modernitas.
Dalam sejarah panjang cara kita berpikir, setidaknya ada dua cara berpikir, berbicara, untuk menjelaskan tentang dunia, yakni mitos dan logos. Walau mitos mulai tersisihkan sebagai metode untuk memahami dan menjelaskan realitas, namun keduanya merupakan modus-modus yang saling melengkapi. Bila logika berkenaan dengan hal-hal praktis. Maka mitos berkenaan dengan makna, memberi arti dan nilai.
Menurut Karen Amstrong dalam buku Sacred Nature, mitos adalah sebentuk psikologi kuno. Lewat cerita-cerita yang tak masuk akal itu, mitos sebenarnya sedang mengungkapkan perasaan-perasaan, seperti takut dan hasrat. Yaitu wilayah-wilayah gelap pikiran bawah sadar, yang tidak dapat dijangkau oleh penyelidikan logis murni, tetapi memiliki efek mendalam bagi pengalaman dan perilaku kita.
Lebih lanjut Karen menekankan bahwa mitos tidak bisa disampaikan sekadar melalui bukti rasional; sebab wawasannya bersifat intuitif, seperti halnya seni. Mitos hanya menjadi realitas jika diwujudkan dalam ritual dan upacara.
Seperti halnya mitos yang masih diimani oleh masyarakat adat, bahwa alam adalah sosok Ibu, atau entitas yang perlu dihormati dan diselubungi kesucian, yang-sakral. Mitos bukan sekadar kisah atau cerita, mitos harus diungkapkan dalam tindakan, dalam ritual. Ritual tidak hanya semata-mata urusan spiritual, ia melibatkan pula tubuh, dan melalui tubuh, melibatkan emosi. Membentuk cara-pandang dan sikap terhadap dunia. Membentuk tata aturan yang melaraskan kepentingan berbagai cerita, melalui pamali dan pantangan-pantangan lainnya, yang menubuh dan tertaut secara batiniah.
Pengalaman estetis dan spiritual melalui ritual-ritual, mitos maupun seni, lebih optimal dalam memunculkan perasaan empati terhadap krisis lingkungan, atau krisis-krisis yang lain. Para ahli neurofisika mengatakan bahwa pengalaman estetis lebih efektif untuk membangkitkan apresiasi terhadap penderitaan daripada pendekatan kognitif yang lebih objektif.
Upaya-upaya tradisional dalam aktivisme, seperti protes dan kampanye isu-isu, walau sering mengalami kebuntuan, tentu tetap penting untuk dilakukan. Namun, kita perlu menyusun alat-alat dan perangkat lain. Misal saja, seni yang secara tradisional digunakan untuk memberi pesan, kritik, dan propaganda, kita lambungkan lebih jauh, seperti seni sebagai portal untuk memasuki dunia baru, yang diisi oleh mitos-mitos baik.
Yang merekatkan kembali keterpisahan kita sebagai individu-individu yang tercerai-berai, kembali menjadi masyarakat yang terikat dan saling terlibat. Yang mendorong manusia kembali masuk pada lantai dansa semesta, bahwa kita adalah bagian dari alam, yang perlu terus menyesuaikan ritme ketukan dalam tarian semesta. Bukan makhluk yang terpisah dari semesta.
Mendasarkan ikatan relasional antara manusia dan manusia, antara manusia dan alam, secara etis, resiprokal dan bertanggungjawab. Jauh dalam hati kita tahu bahwa hal-hal itu sangat mungkin. Kita akan ke sana.