Apabila bukan karena aplikasi transportasi online yang minta di-update, sementara memori smartphone yang tidak mencukupi, mungkin sampai sekarang aku belum pernah merasakan naik bus Trans Jogja. Ini tahun ke delapanku sejak tinggal di Jogja untuk kuliah pada tahun 2012. Dan ya, baru tahun ke delapan aku mencoba Trans Jogja, salah satu alat transportasi publik vital di Jogja.
***
Setelah urusan mengirim barang melalui kargo bandara Adisutjipto selesai, aku menuju halte Trans Jogja (selanjutnya disebut Trans saja biar gampang). Pengiriman barang yang terlampau banyak membuatku meninggalkan motor di daerah jalan Urip Sumoharjo dan menggunakan transportasi online.
Sialnya, setelah memesan mobil, aplikasi untuk memesan transportasi online itu minta untuk di-upgrade. Kenapa sial? Karena aku tahu smartphone-ku sudah tidak memiliki cukup memori untuk upgrade. Maka terpikirlah untuk mencoba Trans untuk pertama kalinya.
“Tiga ribu lima ratus, Mas,” kata petugas di dalam halte setelah aku mengucapkan tujuanku ke halte jalan Urip Sumoharjo. Tidak ada sapaan pertemuan apalagi senyum yang membuat nyaman. Hanya kalimat terkait tarif saja yang keluar.
Kondisi halte yang lebarnya kira-kira 10 x 2,5 meter itu cukup lengang. Sepertinya karena bukan jam kerja atau sekolah. Kala itu pukul 17.55 WIB. Masih ada beberapa kursi yang kosong. Semua orang tampak lelah dan tidak saling berbincang.
Pelayanan ini mengingatkanku pada pelayanan di kampus tempatku kuliah atau kampus tempatku kursus. Pelayanan terkait akademik berisi orang-orang tua yang senantiasa cemberut. Apabila bertanya sesuatu, dia balik bertanya dengan nada seolah kesal.
“Coba kamu ke sana, coba kamu situ, temui bapak ini, temui ibu itu.” Seakan kita pengganggu yang harus segera dilenyapkan. Belum lagi jam kerja yang disambi sarapan.
Bukankah bekerja di pelayanan ada kriteria yang setidaknya dicukupi. Tidak perlu seramah pelayanan di kedai pizza, tapi juga jangan segalak saat kita bikin SIM (Surat Izin Mengemudi) dong.
Setidaknya saling bekerja sama dengan menjalankan tugas dengan senyum, memberi informasi yang lengkap, dan tidak perlu marah-marah. Itu di kampus ya, bukan di Trans.
Trans pertama lewat, ada dua petugas yang berdiri. Satu petugas membacakan rute yang dilewati Trans dengan sangat cepat. Ya mirip-mirip lah sama battle rap. Misal Rich Brian di situ, mungkin dia akan tertantang dan langsung melawan si petugas halte.
Merasa bingung harus naik atau tidak, aku memutuskan bertanya pada petugas lain yang membawa semacam catatan. “Ini ke jalan Urip Sumoharjo, Mbak?” Kataku. “Bukan Mas,” jawabnya.
Ada dua tujuan dari pertanyaan itu. Pertama untuk menanyakan arah Trans, kedua sebagai tanda apabila sudah ada Trans yang perlu aku naiki, aku akan diingatkan, kan dia sudah tahu tujuanku. Sayangnya tidak. Beberapa kali Trans lewat, tidak ada pengarahan sama sekali. Nama-nama rute juga membuatku cukup bingung.
Setelah pengamatan beberapa menit, ternyata memang tidak ada halte Urip Sumoharjo. Patokan rute tidak menggunakan nama jalan, tapi mayoritas menggunakan nama gedung di belakang halte. Misal kamu ingin menuju halte jalan si Urip itu, maka dengarkan baik-baik kalimat “halte LPP”, merujuk gedung Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) di belakang halte.
Belum sampai mendapatkan Trans, waktu salat maghrib tiba. Aku memutuskan untuk keluar halte dan menuju ke masjid. Bukan sok alim atau tepat waktu dalam salat, tapi kita tidak tahu kan sampai alamat butuh waktu berapa lama.
Sekadar informasi, apabila menggunakan motor, dari bandara Adisutjipto ke jalan Urip sekitar 20 menit. Kita lihat nanti berapa lama perjalanan menggunakan Trans, tentu termasuk proses menunggu dan serangkaiannya.
***
Aku kembali duduk di salah satu kursi halte bandara. Penumpang yang menunggu sudah berkurang dan lebih sedikit dari sebelumnya. Trans masih sering lewat. Namun rute-rute yang disebutkan masih terasa asing.
Beberapa menit kemudian baru lah rute yang agak familiar terdengar. Entah benar atau tidak aku langsung naik. Misalpun salah, setidaknya tidak terlalu jauh dari tujuan awal.
“Tidak usah pegangan, langsung masuk saja,” kata petugas di dalam Trans. Entah apa maksudnya. Yang jelas aku tidak jadi pegangan besi dekat pintu lantaran agak terguncang. Hanya ada sekitar sepuluh orang di dalam bus. Masih ada beberapa kursi yang kosong. Bisalah tiduran kalau kamu tidak tahu malu. Posisi kursi melingkar, mengikuti tepian bus.
Salah satu temanku pernah bilang, kalau suasana di dalam Trans cocok untuk melamun dan merenung. Dia suka melihat pergantian pemandangan dari jendela sembari mendengarkan musik. Apabila ramai, masih kata temanku, kita akan melihat orang-orang yang saling tolong-menolong, misalnya menawarkan tempat duduk.
Sebuah ikatan sementara yang membuatnya merasa “awesome” katanya. Namun temanku yang lain membagikan pengalaman naik Trans dari Malioboro ke Condong Catur. Katanya ada jaminan kamu akan mabuk kendaraan.
Benar juga sih. Bagi orang yang punya hobi melamun sepertiku, suasana malam Jogja dari dalam Trans memberikan perasaan yang berbeda. Seakan kita berada di dimensi lain dan merasakan semacam rindu. Entah rindu pada siapa dan di mana. Pernah dengar sebuah ungkapan apabila kamu merasa rindu tapi tidak jelas rindu kepada siapa, maka kamu sedang kesepian.
Trans melewati beberapa halte yang tidak memberikan penumpang tambahan. Seringkali, setiap bus melewati halte, dan tidak ada penumpang yang hendak naik, maka petugas halte akan membuat tanda nol menggunakan tangannya (ya mirip lah seperti tanda okre ocre).
Sebaliknya, petugas di dalam bus juga akan memberikan tanda pada petugas halte. Kala itu, petugas Trans menunjukan sepuluh jari tangannya. Sepertinya tanda apabila ada sepuluh orang di dalam Trans.
Apabila diperhatikan, tidak semua tempat terjangkau oleh Trans, atau setidaknya titiknya tidak merata. Sebut saja jalan Kaliurang yang sebenarnya sudah cukup ramai, ada kampus pula di jalan itu. Namun tidak ada rute Trans menuju jalan itu. Atau daerah Condong Catur yang cukup masuk.
Hal ini menjadi penghambat bagi orang yang ingin menggunakan transportasi publik. Dia akan berjalan jauh (jauh banget sebenarnya) untuk sampai halte terdekat. Halte terdekat yang sangat jauh.
Belum lagi jam operasional Trans dari pukul 05.30 sampai pukul 21.30 WIB. Mengingat Jogja merupakan kota pendidikan dan hampir 24 jam ada aktivitas masyarakatnya, sistem jam kerja Trans tentu tidak relevan untuk menjadi pilihan utama.
Itulah salah satu alasan transportasi online bak dewa yang bisa memecahkan salah satu masalah terkait transportasi di kota Jogja. Dia bisa datang sampai tempat penjemputan dan harganya jelas. Bandingkan dengan taksi konvensional, ojek pangkalan atau transportasi lain. Selain harga yang sering berubah (terutama hari liburan), perasaan aman dan nyaman juga jarang muncul.
***
Perjalanan berlanjut menyusuri kota Jogja. Jalan-jalan yang dilewati searah dengan rute yang aku tuju. Perasaan lega mulai muncul, “Berarti tidak salah Trans.” Saat Trans sedang melambat, misal hendak berhenti atau awal berjalan setelah lampu lalu lintas, supir Trans kadang memainkan smartphone-nya.
Saat diperhatikan lebih detail, dia sedang membuka aplikasi chat. Saat bus sudah mulai berjalan perlahan, dia masih sempat-sempatnya membalas chat. Kala itu entah chat pribadi atau obrolan dalam grup. Mencekam juga perjalananku.
Trans hampir sampai di halte tujuanku. “Halte LPP, halte LPP,” kata petugas di dalam bus yang senantiasa berdiri sepanjang perjalanan. Sesekali dia melakukan gerakan yang aneh. Meliuk ke kanan, meliuk ke kiri.
Sepertinya semacam peregangan atas tubuh yang mulai pegal. Aku mendekat menuju pintu bus. Trans berhenti dan aku keluar dengan senang hati. “Pantesan orang jarang pakai Trans,” kataku di dalam hati sembari keluar.
Melihat jam di smartphone, waktu menunjukan sekitar pukul tujuh malam. Perjalanan yang seharusnya hanya ditempuh dalam 20 menit menjadi hampir satu jam. Tentu dengan serangkaian ditinggal salat, menunggu dan lainnya. Itu dalam keadaan yang sedang sepi, tidak terbayang saat sedang jam-jam sibuk, mungkin bisa lebih lama lagi.
Cobalah kamu sesekali naik Trans. Kamu akan tahu alasan orang jarang menggunakan transportasi publik di Jogja. Kecil kemungkinan apabila para otoritas yang berwenang tidak mampu untuk memperbaiki sistem. Di Jogja banyak orang cerdas atau konsen dalam hal transportasi publik.
Apalagi banyak kampus kan. Banyak pihak yang bisa diajak berdiskusi atau semacamnya. Sepertinya bukan tidak mampu memperbaiki sistem, tapi tidak mau. Apabila pelayanan publik tidak efisien waktu, ramah, murah, dan mudah, tidak perlu banyak berharap masyarakat akan berpindah. Eh tapi kalau bagian murah si udah ya.